Salah Kaprah Pelestarian Ondel-Ondel

Abdurrahman Asmawi

1 min read

Setiap hari saat berangkat atau pulang kerja, saya sering menjumpai ondel-ondel yang sedang mengamen. Kadang berpasangan ondel-ondel laki-laki dan perempuan, kadang juga hanya salah satu di antara keduanya. Boneka besar khas Betawi itu keliling menyusuri jalan, asyik menari mengikuti alunan musik sambil berharap saweran seikhlasnya dari pengguna jalan yang mereka lewati.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, pengamen ondel-ondel bukan sesuatu yang baru untuk saya. Sejak saya kecil, pengamen ondel-ondel pun bisa ditemukan berkeliling masuk-keluar kampung; berjalan dari satu pintu rumah ke pintu rumah yang lain sambil diarak bocah-bocah kecil yang kegirangan bercampur takut melihat boneka berbadan besar dan bermata membelalak itu.

Ada dua perbedaan yang kentara antara ondel-ondel di tahun 90-an dengan ondel-ondel masa kini. Perbedaan pertama ada pada musik iringan. Dahulu, alat musik tehyan dan gendang dibawa keliling untuk mengiringi ondel-ondel. Seiring waktu, penggunaan alat musik tehyan dan gendang mulai ditinggalkan. Demi efisiensi, pengiring ondel-ondel masa kini lebih memilih menggunakan pemutar musik elektronik dan pengeras suara.

Perbedaan kedua ada pada jumlah pengamen ondel-ondel yang semakin lama semakin banyak. Waktu saya kecil, pengamen ondel-ondel yang lewat di depan rumah tidak lebih dari dua kelompok dalam satu hari. Sekarang, rasanya bisa hampir setiap jam rekaman musik gambang kromong—lagu khas pengiring ondel-ondel—terdengar dalam satu hari. Bahkan, antar ondel-ondel sering berpapasan saat sedang mengamen.

Oleh pemerintah daerah, khususnya DKI Jakarta dan sekitarnya, peningkatan jumlah pengamen ondel-ondel itu dipandang sebagai masalah. Alasannya, pertama, terkait dengan ketertiban umum. Mengamen di jalan, baik itu ondel-ondel, orkes keliling, badut jalanan, atau manusia silver, adalah aktivitas yang dianggap mengganggu kelancaran aktivitas masyarakat umum, terutama pengguna jalan.

Pembingkaian bahwa penggunaan ondel-ondel untuk mengamen adalah masalah sehingga harus dilarang diperkuat oleh marwahnya sebagai ikon budaya Betawi yang adiluhung. Oleh pejabat daerah terkait, jalanan dianggap bukan tempat yang pantas dan layak untuk menjaga ikon budaya itu bisa tetap terus lestari sebagai kebudayaan.

Pemerintah daerah menghendaki upaya pelestarian yang lebih layak. Ondel-ondel harus ditampilkan di tempat yang spesial. Tempat yang memang dibuat khusus untuk penampilannya bersama dengan berbagai kesenian khas masyarakat Betawi lain; dipandang dan dikagumi oleh wisatawan sebagai produk kebudayaan yang bernilai tinggi, bukan terlantar di jalan.

Baca juga:

Namun, apakah upaya pelestarian dengan model yang ditertibkan seperti itu tepat? Senyatanya, sejarah berkata lain. Menurut sejarawan Betawi, JJ Rizal, dari sisi sejarah maupun tradisi, ondel-ondel memang diciptakan oleh masyarakat Betawi untuk mengamen. Ondel-ondel diarak keliling sebagai manifestasi kekuatan pelindung kampung untuk menolak bala atau penyakit. Warga yang rumahnya dilewati ondel-ondel kemudian memberi uang sebagai imbalan. Dengan kata lain, fenomena ondel-ondel mengamen memiliki landasan sejarah dan tradisi sehingga justru lebih tepat disebut sebagai upaya pelestarian.

Kebudayaan meliputi keseluruhan sistem gagasan, sistem tindakan, dan benda hasil karya milik manusia. Kebudayaan lestari ketika keberadaannya dekat masyarakat penciptanya, membaur dalam laku hidup sehari-hari masyarakat sebagai bentuk pengejawantahan nilai-nilai tradisi. Kebudayaan, terlebih yang sifatnya merakyat, tidak mungkin bisa lestari hanya karena dipajang atau ditampilkan di tempat atau suasana yang sifatnya seremonial belaka.

Ondel-ondel adalah milik masyarakat Betawi, selaku penciptanya, sehingga pelestarian dan kelestariannya harus dilihat berdasarkan relasi dengan mereka. Keberadaan ondel-ondel di panggung kesenian; berlenggak-lenggok di atasnya, serta dipandangi dan dikagumi oleh wisatawan di bangku penonton bukan tolok ukur ondel-ondel bisa dikatakan hidup sebagai kebudayaan.

 

Editor: Emma Amelia

Abdurrahman Asmawi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email