Menapaki Falsafah Semar

Muhammad Syaiful arief

4 min read

Menyusur jalan trotoar, berfoto bersama pohon beringin yang tidak ada di negeri subtropis. Mochtar Lubis menyebutnya Si Takhayul baru keluar dari hostel; keherenan ingin berpose dengan kulit putih, justru mereka berpotret bersama akar belukar yang tak bernyawa. Siapa pun pasti ingin rihlah melewati rute Candi Borobudur, Monumen Yogya Kembali, Tebing Breksi, Pantai Parangtritis, Malioboro Street satu paket. Mereka melihat pemandangan asing di depan tempat istirahatnya: dua patung tidak berpakaian dengan perut buncit, pribumi sana menyebutnya semar.

Kaki demi kaki melewati indahnya konstruksi klasik yang masih kokoh. Lesu, lemas, lapar—mereka singgah membeli martabak Semar. Bak sultan yang melihat Semar gold langsung beli, berjejer menyilaukan mata. Langkah kaki mereka ini hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Padahal, kemuliaan orang Jawa tidak terletak di sana. Kalau Jokowi bilang, “kita orang timur yang penuh dengan kesantunan.”

Baca juga:

Persebaran kanca mereka banyak, hingga menjadi student di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. ISIY memiliki media bernama Semar (Surat Elektronik Media Rekam). Semar didirikan 21 Oktober 1993 dengan wewenang melaksanakan pendidikan strata satu Fotografi dan Televisi. Kalau sudah menyeni itu jangan sampai larut. Dua belas semester kebanyakan mengabdi hingga lupa diri beralih menjadi proofreading di Radiobook. Studen jurusan teknik ITS Surabaya yang kini menjadi mentornya ikut menyeni juga.

Rasanya tidak rihlah kalau tidak membeli oleh-oleh batik khas: batik Semar yang didirikan 1947 oleh Somadi dan Niniek Elia Kasigit. Mereka bercerita, awalnya bernama Bodronoyo, wujud dari kebijaksanaan dan ketulusan dalam melayani masyarakat. Semar diyakini sebagai perwujudan bagi pertumbuhan dan kemakmuran yang ugahari. Nama yang mengartikan dan mengilhami masyarakat dengan tradisi batik Jawa. Batik inilah yang mengajarkan keragaman; tidak membeda-bedakan identitas golongan mana pun.

Banyak perusahaan, bus travel, bahkan angkringan disandingkan satu frasa dengan Semar. Mereka dari pelosok yang setiap harinya mendapat doktrin pembaruan tidak percaya Si Takhayul. Angkringan Semar di atas pintu masuknya terpampang keris dengan gagang Semar, ada wayang Semar juga. Lantas, siapa Semar ini? Kenapa banyak Semar-Semar yang bertebaran?

Di Ganjuran, ada masjid wakaf bernama Kalimosodo, sebagai penafsiran syahadat oleh Sunan Kalijaga yang didasari cerita induk dari pewayangan Mahabarata. Abad ke-15, raja terakhir Majapahit, yakni Raja Prabu Brawijaya V masuk agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga dengan prinsip agama ageming aji. Ibarat pohon besar yang sudah mengakar, sulit untuk dicabut. Islam hadir berakulturasi, kemudian menyebut dirinya Islam Kejawen. Sunan Kalijaga menggunakan Semar untuk memasukkan sisi keislaman dengan begitu mudah. Sebab, roh dan semangat ajarannya sama belaka; yang beda fisik dan lahiriah penyembahannya.

Orang Jawa menggambarkan Semar sebagai Tuhan dengan segala sifatnya; semacam personifikasi Tuhan. Disebut anak kecil tidak, orang tua tidak, antara nangis dan ketawa pun tidak; itulah semar. Semar digunakan di Jawa Kuno, Hindu, Islam. Syaikh Siti Jenar di beberapa suluk menemui Semar (Dang Hyang) untuk membedah Jawa. Walisongo generasi pertama, Syaikh Muhammad Bakir Al-Farisi, orang Jawa mengenalnya sebagai Syaikh Syubakir, membedah tanah Islam atas restu Dang Hyang Semar.

Dang Hyang itu leluhur yang suci. Maka, ada istilah Sang Hyang, Rah Hyang. Ketika kamu mengabdi kepada Sang Suci, kamu sedang sembahyang. Langgar itu plesetan dari sanggar dan tokohnya, Dah Hyang Semar. Filsafat ketuhanan Semar membuat orang Jawa terbuka terhadap tradisi apa pun, di antaranya Islam, Buddha, Hindu, Kristen, Tantrisme. Itulah filosofi ketuhanan gaya Semar. Serat Sidomoro, cerita yang melahirkan tradisi ruwatan; Semar di sana muncul sebagai yang momong Sadewa.

Dari segi fisiknya, Semar itu bukan laki-laki dan perempuan. Tangan kanannya ke atas, tangan kirinya ke belakang. Simbol bahwa kalau kita sudah dapat anugerah dari atas, maka kita harus bagi ke bawah. Semar itu anak-anak sekaligus orang tua. Anak-anak itu jernih, sedangkan orang tua itu matang. Semar sosok yang paradoks; dilihat ketawa juga tidak, berduka juga tidak. Itulah mengapa hostel dapat dimasuki oleh semua usia. Semar memiliki perut buncit karena berlomba dengan dua saudaranya, Togog dan Batara Guru dalam hal makan gunung.

Batik semar warnanya hitam, patung semar warnanya hitam; itu bukanlah satir untuk orang Jawa yang kulitnya hitam. Para Wali punya filosofi sendiri: api, angin, air, bumi. Bumilah yang paling spesial. Bumi itu hitam. Dan memiliki unsur yang paling tinggi. Tanah itu sifatnya diam dan teguh. Semar itu lebih sakti dari dewa mana pun, tetapi tidak menunjukkan kehebatannya. Ia memendamnya; tidak sombong walaupun banyak ilmu dan pengetahuan.

Semar memiliki delapan Daya Kuncung (kesaktian), di antaranya tidak pernah lapar, mengantuk, jatuh cinta, bersedih, capek, sakit, kepanasan, dan kedinginan. Orang Jawa lebih suka dewa yang memanusia daripada manusia yang mendewakan diri. Dia yang mengaku dewa, maka bukan dewa. Begitu pula dengan yang mengaku ustaz, bukan ustaz, mengaku gus, bukan gus, mengaku wali, bukan wali karena mereka hanya mengaku. Secara sufistik, apakah seorang wali itu tahu bahwa dirinya itu wali? Kalau tahu, maka kewaliannya diragukan. Semakin kamu klaim diri kamu dekat dengan Allah—alamat, kamu belum dekat!

Semar juga seorang Punokawan yang artinya teman jernih. Jadilah kalian semua itu Punokawan; teman yang bisa ngasih solusi dengan jernih. Teman yang bisa diajak diskusi. Ada makna tersirat yang biasa dalang bawakan ketika memainkan Semar, “mbregegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak ndulit, langgeng.” Daripada diam, berusahalah lepas mencari makan walaupun hasilnya sedikit. Jadi, hidup ini harus aktif, jangan pasif. Lebih baik menikmati karya sendiri.

Ada tiga ajaran Semar. Pertama, ojo dumeh, mengajarkan jangan mentang-mentang. Jangan larut atas apa yang dimiliki karena ukuran sesuatu bukan materi, melainkan sifat batinnya. Kedua, eling, mengajarkan untuk selalu menghadirkan Tuhan dalam hidupmu. Allah selalu berpengaruh dalam hidupmu; selalu ingat kesalahan dan mintalah ampunan kepada-Nya supaya punya budi pekerti. Terakhir, waspodo, mengajarkan untuk selalu hati-hati dan teliti dalam menjalani hidup.

Pelajaran berikutnya dari Semar mengenai manunggaling kawula gusti. Hulul berarti Halah bermakna Tuhan yang masuk dalam diri manusia. Artinya, ketika kamu melakukan sesuatu, maka Allah meridhai tidak dengan apa yang kamu lakukan. Allah itu manjing dalam dirimu, bertempat dalam dirimu seperti buruh mengerjakan kepentingan juragannya.

Pelajaran selanjutnya, sangkan paraning dumadi. Semar mengajarkan adanya manusia itu dari mana dan mau kemana. Alam Purwo sebelum kita dilahirkan, setelah lahir masuk Alam Madyo, dan di masa depan ada Alam Wusana. Ruh memiliki perjalanan yang panjang seperti seseorang mampir minum untuk melanjutkan perjalanan kembali. Orang Kejawen mengatakan, “Dunia biarkanlah berjalan, ambil secukupnya untuk bekalmu.”

Kemudian, pelajaran kasedan jati. Lenyapkan egomu, ganti dengan Allah. Kebijakan hidup harus dilandasi dengan kekuatan batin yang ingin menyatu kepada Tuhan. Dalam hidup, harus diperhatikan sesuatu yang baik akan dibalas dengan baik, begitu pun sebaliknya. Ajaran Hindu menyebutnya karma. Masih ada pelajaran memayu hayuning bawana yang mengajarkan untuk memperindah dunia, memberi makna hidup; mengendapkan nafsu agar dunia terkendali dan terarah.

Baca juga:

Media Semar yang digunakan Sunan Kalijaga ini menjadi simbol kemakmuran. Islam berakulturasi dengannya. Mereka meyakini bahwa Tuhan menjelma Semar untuk menjaga mereka. Setiap penjagaan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan yang terarah. Setiap manusia akan memanusiakan manusia, tidak saling menyakiti.

 

Editor: Emma Amelia

Muhammad Syaiful arief

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email