mahasiswa biasa

Terpenjara Feodalisme Jawa

Nurfikri Muharram

3 min read

Meskipun terlahir sebagai seorang lelaki, Pramoedya Ananta Toer, tidak ragu menulis novel dengan memakai sudut pandang perempuan seperti pada salah satu novelnya yang berjudul Gadis Pantai. Gadis Pantai sebenarnya adalah karya yang tidak berhasil diselesaikan oleh Pram. Novel yang seharusnya merupakan sebuah trilogi ini pada akhirnya gagal terbit lengkap karena dua lainnya dibumihanguskan oleh kekuasaan.

Secara garis besar, novel ini mengkritik tajam feodalisme Jawa yang adab dan kemanusiaannya tidak lebih baik dari sifat-sifat kolonial Belanda. Gambaran feodal tersebut dicerminkan melalui tokoh pembesar Jawa yang hanya menjadikan perempuan muda dari kalangan jelata sebagai pemuas berahi semata dan kemudian dicampakannya ketika menemukan perempuan yang setara.

Baca juga: 

Perkawinan

Perempuan muda itu dinamakan Gadis Pantai. Usianya masih empat belas tahun saat utusan dari pembesar Jawa itu mendatangi rumah kedua orang tuanya. Beberapa hari setelah pertemuan itu, dia telah dibawa ke Kota dan dinikahkan dengan seorang Bendoro. Dia tahu kehidupannya di kampung nelayan berakhir saat itu juga.

Berbeda dengan Gadis Pantai yang bersedih, kedua orang tuanya justru berbahagia karena anaknya menikah dengan orang terhormat. Ibunya bercerita bahwa Bendoro adalah orang yang alim, sudah dua kali naik haji dan sudah pasti khatam Al-Quran. Selain itu, dia juga dekat dengan Bupati dan Tuan Besar Residen saat itu.

Pada malam pertama di rumah Bendoro, Gadis Pantai mendapat nama baru yaitu Mas Nganten. Untuk pertama kalinya juga dia memakai selop, disentuh pria lain selain keluarganya, dan mengambil air wudhu untuk salat subuh. Bendoro ingin Gadis Pantai rajin beribadah. Dia juga menyebut bahwa kampung Gadis Pantai sebagai tempat yang kotor, miskin, dan dipenuhi oleh orang yang tidak beribadah.

Gadis Pantai yang selama di kampung selalu bekerja membantu orang tuanya mulai merasa bosan dan kesepian di rumah Bendoro. Apalagi Bendoro terbilang jarang pulang ke rumah. Dia pun akhirnya mulai belajar membatik, menyulam, dan menjahit untuk mengisi kekosongan.

Setahun setelah pernikahan, Gadis Pantai mulai menyadari banyak larangan-larangan yang tidak hanya membatasinya, namun juga membatasi para Bujang. Dia dibatasi berbicara dengan orang-orang, yang diketahuinya tugasnya hanya satu yaitu mengabdi pada Bendoro. Para Bujang juga tidak dibolehkan tersenyum dan tertawa dengannya. Larangan-larangan ini menyiksanya bersamaan dengan rasa penasarannya tentang kemana sebenarnya Bendoro pergi selama tidak di rumah. Dalam lubuk hatinya, dia mulai takut tergantikan.

Meskipun dirinya adalah istri dari Bendoro, dia merasa tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Semua suara dimiliki oleh suaminya, dia hanya ditugaskan untuk belajar segalanya kecuali mempelajari suaminya. Berbeda dengan di kampung nelayan, para istri berani untuk mengkritik suaminya kalau diperlukan. Perbedaan kondisi inilah yang membuatnya bertanya tentang bagaimana hubungan suami-istri di perkotaan kepada si Bujang.

“Apakah di kota suami-istri tidak pernah berbicara?”

“Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali semua kota-dunia kepunyaan lelaki. Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota, perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki, Mas Nganten.”

“Lantas apa yang dipunyai perempuan kota?”

“Tak punya apa-apa, Mas Nganten kecuali…”

“Ya?”

“Kewajiban menjaga setiap milik lelaki.”

“Lantas milik perempuan itu sendiri apa?”

“Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri hak milik lelaki.”-(Hal. 87-88)

Suatu hari, Bujang yang sering menemani Gadis Pantai dipecat dan digantikan oleh Mardinah, gadis 14 tahun asal Semarang. Gadis Pantai curiga Mardinah datang untuk menggantikannya. Apalagi, Mardinah pernah berkata bahwa Bendoro tidak layak beristrikan orang kampung. Hubungan keduanya tidak pernah baik sedari awal. Belakangan, Gadis Pantai akhirnya tahu bahwa Mardinah adalah suruhan keluarga Bendoro dari Demak yang malu karena Bendoro tidak kunjung menikahi wanita yang sederajat.

Terbuang

Setelah dua tahun, Gadis Pantai pulang ke kampung nelayan. Dia meminta izin kepada Bendoro untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Bendoro mengizinkan dengan syarat harus ditemani oleh Mardinah. Meskipun merasa tidak senang, Gadis Pantai tetap berangkat ditemani Mardinah mengendarai dokar.

Sesampainya di kampung nelayan, Gadis Pantai merasa diperlakukan berbeda oleh masyarakat bahkan kedua orang tuanya sekali pun. Dia merasa ada jarak yang terlalu lebar antara dirinya dan orang-orang kampung. Padahal, dia sangat merindukan kehidupan yang dulu sebelum diperistri oleh Bendoro. Dia serasa dipenjara dengan statusnya sekarang.

Gadis Pantai mendapatkan banyak masalah selama di kampung nelayan. Bahkan, Mardinah dan orang-orang pengiringnya diperintah oleh Bendoro Demak untuk menyingkirkan Gadis Pantai. Mardinah diberikan uang seratus rupiah dan dijanjikan menjadi istri kelima Bendoro Demak jika berhasil melaksanakan tugasnya. Sayangnya, niat itu digagalkan warga kampung yang berhasil memojokkan Mardinah untuk mengakui perbuatannya. Sebagai hukumannya, Mardinah dikawinkan dengan Dul si pendongeng, satu-satunya lelaki di kampung yang takut melaut dan gemar melantunkan syair-syair sembari memukul rebana.

Gadis Pantai akhirnya kembali ke kota setelah beberapa lama tinggal di Kampung Nelayan. Tidak ada yang berubah, perlakukan Bendoro tetap dingin seperti biasanya. Bahkan setelah dia melahirkan seorang anak perempuan, Bendoro sama sekali tidak mempedulikannya.

Seolah belum cukup, Bendoro mengusir Gadis Pantai dan memisahkannya dengan buah hatinya sendiri. Dia melarang Gadis Pantai membawa anaknya pulang ke Kampung Nelayan. Gadis Pantai juga dipukuli oleh suruhan Bendoro saat ingin membawa kabur anaknya.

Meskipun diusir, Gadis Pantai menolak ajakan pulang ayahnya ke Kampung Nelayan. Dia tetap tinggal di kota. Selama satu bulan semenjak terusir, orang-orang sering melihat sebuah wajah  mengintip dari jendela dokar yang berhenti di depan pintu pekarangan Bendoro.

Bendoro adalah wujud seseorang yang alim di hadapan Tuhan, namun, zalim di hadapan manusia. Salah satu syair Dul si pendongeng tepat untuk menggambarkan watak dari Bendoro.

Memang gede-gedenya beduk

Obral amanat muluk-muluk

Di depan khalayak beralim-alim

Di belakang-belakang paling lalim-(Hal. 201)

Nurfikri Muharram
Nurfikri Muharram mahasiswa biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email