Sampai sekarang saya masih suka tertawa jika melihat orang-orang yang memelototi saya dan suami jika kami sedang berada di suatu tempat. Warna kulit yang kontras, mata sipit dan mata belo, memang menjadi perbedaan kami yang cukup mencolok dan menimbulkan tanda tanya bagi mata yang memandang. Banyak orang yang khusus menoleh, ada yang sambil melotot, bahkan ada yang juga sampai kepo dengan pembicaraan kami. Yang paling seru menurut saya kalau ada yang langsung berbisik kepada yang lain dan yang lainnya ikut menoleh ramai-ramai. Seperti selebritas, kata suami saya.
Entah di Makassar, kota asal saya atau di Magetan, tempat suami saya lahir, sampai sekarang saya masih sering menerima pertanyaan; apakah saya seorang Tionghoa tulen atau apakah saya kebetulan berkulit dan berwajah mirip suku Tionghoa. Juga sebaliknya, apakah suami saya seorang Tionghoa yang kebetulan berkulit gelap dan kebetulan tidak berwajah oriental atau pribumi tulen.
Baca juga:
Saya tidak pernah menyesali keputusan saya untuk menikah dengan suami yang sangat berbeda latar belakang suku dengan saya. Kawin campur istilah kerennya. Kawin campur juga masih menjadi kontroversi di dalam suku Tionghoa sendiri. Banyak yang setuju dan juga banyak yang tidak setuju. Banyak yang mau, tapi tidak bisa, banyak yang bisa tapi tidak mau.
Budaya dan adat istiadat serta prinsip dan masalah keyakinan yang sangat jauh berbeda biasanya menjadi halangan terbesar. Latar belakang penduduk Tionghoa Makassar yang masih kental dengan budaya nenek moyang dari negeri Tiongkok, sangat mempengaruhi adat istiadat, budaya, prinsip, gaya hidup dan perilaku sosial kami sehari-hari.
Beruntungnya, orangtua saya sangat moderat dalam hal ini. Seperti yang pernah diucapkan almarhum mertua saya; jodoh, rejeki, dan maut semuanya di tangan Allah. Meskipun waktu itu keluarga besar Papa saya sempat ragu, Papa saya tetap memberi restu.
Menjadi Tacik
Jika di Makassar saya sudah terbiasa dipanggil cece atau ayi, di Magetan saya mempunyai panggilan khusus, yaitu tacik. Awalnya saya cukup risih karena tacik dalam bahasa Mandarin berarti nyonya besar, dan juga karena ini bukan merupakan panggilan yang umum di Makassar. Tapi setelah beberapa lama saya perhatikan ternyata panggilan ini adalah panggilan yang sangat umum untuk wanita yang sudah menikah dalam suku Tionghoa di pulau Jawa. Makanya setelah beberapa lama, saya tidak lagi merasa risih atau sensitif, apalagi tersinggung.
Bahkan di rumah saya di Magetan, tacik ini sering menjadi bahan ledekan atau bahan candaan kami bersaudara, apalagi jika saya berbicara lewat ponsel dan menggunakan bahasa Mandarin secara lantang. Sambil mencuri dengar, saudara-saudara saya akan tertawa atau menirukan aksen atau logat dari bahasa Mandarin yang saya gunakan, kadang sambil bertanya arti kata tertentu yang sempat ditangkap oleh mereka.
Seiring bertambahnya usia pernikahan dan dengan seringnya saya ke Magetan – apalagi selama pandemi kami memutuskan tinggal sementara di Magetan – pengetahuan saya akan budaya, toleransi, dan filosofi kehidupan serta bahasa menjadi jauh lebih kaya. Semakin saya mengenal budaya Jawa, semakin saya tahu banyak hal yang mirip dengan budaya Tionghoa.
Saya mulai menyadari itu saat menggelar selapanan putri saya. Jika adat Jawa memakai hitungan 35 hari, kami di suku Tionghoa memakai hitungan 30 hari, di mana rambut bayi akan dicukur dan orangtua membagi-bagikan telur dan misoa sebagai penanda kehidupan baru dan agar umur panjang. Tedak siten pun persis dengan tradisi ulang tahun pertama yang membiarkan anak memilih benda yang diidentikkan dengan ramalan masa depan seorang anak.
Tapi, dari semuanya yang paling identik menurut saya adalah penerapan weton dan pasaran Jawa dalam kehidupan sehari-hari yang sama persis dengan penerapan shio dan kalender Nongli dalam keseharian masyarakat Tionghoa. Hal ini mencakup mulai dari hari kelahiran, membuka usaha, hari sial, perjodohan, hari kawin, ziarah kubur, hingga penguburan. Semua dapat terbaca di kalender Cina.
Penanggalan ini pun berdampak langsung pada saya dan suami saat menikah. Karena weton suami dan weton saya bertentangan dan dari sisi shio, shio suami dan shio saya yang bertentangan dengan tanggal cantik yang kami pilih. Akhirnya kami pun terpaksa mengubah tanggal pernikahan mengikuti perhitungan weton dan shio.
Juga di saat bulan Suro, yang bertepatan dengan bulan di mana dalam istilah Tionghoa adalah Chit Ngiat Pan (bulan arwah) sehingga tidak dapat melangsungkan acara yang berbau kebahagiaan terutama pernikahan karena dapat berakibat duka (suram).
Dari sisi bahasa, jika dulu saya merasa sangat asing dengan bahasa Jawa, sekarang bahasa Jawa Ngoko maupun Kromo sudah menjadi bahasa keseharian saya. Meskipun bahasa Kromo saya masih jauh dari fasih karena saking susahnya, tapi saya masih belajar dan terus belajar. Dari yang saya pelajari, ternyata banyak sekali kata-kata dalam bahasa Indonesia yang mengadaptasi bahasa Jawa Kromo. Ada lagi kelebihan yang saya dapatkan setelah bisa berbahasa Jawa, saya jadi bisa bernyanyi dengan luwes lagu-lagu favorit saya, mulai dari koleksi Didi Kempot hingga Nella Kharisma.
Intonasi bahasa Jawa dan juga tutur kata orang Jawa yang terkenal halus, dan juga kearifan – kearifan pepatah Jawa, telah banyak mempengaruhi cara berbicara dan berpikir saya. Jika sebelumnya cara berbicara saya yang cukup meledak-ledak dan berintonasi tinggi serta tidak berbasa basi, sekarang berubah total yang membuat saya sering dikira pendatang jika saya kebetulan lagi berada di kota Makassar.
Saya selalu senang kalau ikut rewang; membantu masak keluarga atau tetangga yang mengadakan hajat. Mulai dari acara selapanan, tedak siten, yasinan, brokohan, pendak dan lain-lainya. Sesuatu yang sudah tidak bisa kita dapatkan di kota besar, dan juga tidak ada dalam budaya saya.
Cukup sering saya menjadi pusat perhatian pada kegiatan rewang. Pertanyaannya bisa mulai dari seputaran anak, keluarga, budaya Tionghoa hingga budaya di Makassar. Jika dulu mereka masih memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan saya, sekarang sudah semakin jarang yang bicara bahasa Indonesia dengan saya. Saya sudah dianggap bagian keluarga Jawa.
Kue Keranjang dan Wedang Ronde
Dulu saya merasa, makanan Jawa tak akan pernah cocok dengan lidah saya. Semuanya berubah total setelah saya mencicipi tepo lodeh diberi sambal pecel yang pedas khas Magetan. Menu favorit saya adalah daging krengsengan yang dimakan beserta sambal urap lengkap dengan kulupan sayuran tak lupa sambal korek.
Persamaan budaya pun juga tampak dalam urusan makanan. Ketika saya membeli beberapa biji kue keranjang di sebuah minimarket dekat desa saya, ipar saya menjelaskan jika di Jawa kue keranjang biasa juga disebut sebagai dodol Cina. dodol Cina juga dipercaya erat kaitan dengan jenang manten yang menjadi menu ikonik dan wajib pernikahan di Jawa Timur. Teksturnya yang lengket dan manis diibaratkan bahwa keluarga akan harmonis, manis hingga seterusnya.
Jika saya sedang berada di Magetan, kegiatan saya setiap sore di Magetan selain menengok kegiatan orang-orang di kebun belakang, saya juga akan berolahraga jogging sambil berkeliling desa, menikmati pemandangan sawah, dan kebun – kebun yang berada di sekeliling desa kami. Setelah itu saya pasti akan mampir ke tetangga sebelah rumah yang kebetulan berjualan salah satu jajanan favorit saya yaitu wedang ronde.
Wedang ronde ini mempunyai kesamaan dengan salah satu menu khas jajanan suku Tionghoa yaitu tang yuan (bola ketan). Dimasak dengan sup gula merah, diberi sedikit wijen, dan sedikit cita rasa jahe jika suka.
Bedanya, jika di Jawa wedang ronde bisa dinikmati setiap saat, tang yuan merupakan menu yang harus dinikmati setahun sekali yaitu pada saat memasuki musim dingin pada kalender Tiongkok yang selalu jatuh pada tanggal 22 Desember setiap tahun.
Saya teringat ada mitos yang konon mengikuti hari makan tang yuan ini. Katanya, jika pada tanggal 22 Desember turun hujan, maka bisa dipastikan pada hari Imlek mendatang , hujan pasti turun. Entah benar atau tidak, hal itu terbukti cukup akurat setiap tahunnya.
Selain menikmati wedang ronde, biasanya di situ menjadi markas saya jaduman dengan gank saya. Keanggotaannya cukup aneh, tiga mbah-mbah yang masih entrokan, dan satu ta cik bermata sipit, yaitu saya. Suami saya pun mafhum dengan geng ini yang menurutnya agar saya bisa melihat perspektif hidup yang berbeda dari mereka yang tidak pernah menginjakkan kakinya di mall perbelanjaan. Hidup mereka sehari-hari hanya seputaran pawon, kebun, sawah, ngarit dan nyombor.
Tidak ada yang luar biasa dari pembicaraan kami. Semuanya sederhana, sesederhana kehidupan kami. Satu yang saya pelajari dari para sesepuh di Jawa, di sela-sela ucapan mereka, mereka pasti akan menyelipkan doa. Terlebih jika mereka menerima berkat dalam bentuk apa pun itu. Bunyinya standar; semoga sehat, selalu diberkahi dan diiringi berkat Gusti Allah. Sederhana, standar, tapi tulus.
Sambil mengamati garis-garis keriput para sesepuh itu, saya sering menertawakan diri saya sendiri, apa yang sedang saya lakukan di sini, atau, kenapa saya bisa ada di tempat ini, hidup di desa yang berbeda 180 derajat dengan kehidupan perkotaan saya, mengobrol dan cekakakan dengan mbah-mbah tua ini yang hanya mengenal ayam panggang sebagai menu termewah mereka, dibandingkan dengan saya yang menyukai steak wagyu.
Jika saya tidak kelihatan beberapa hari, mereka akan menyamperi saya ke rumah sambil membawakan makanan yang tidak pernah saya liat sebelumnya, seperti botok sembukan, botok tawon, atau botok teri.
Imlek ala Jawa
Malam Imlek tahun ini terasa sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini kali pertama saya jauh dari rumah Makassar di hari Imlek. Tahun ini saya juga tidak boleh merayakan Imlek, karena masih dalam keadaan berkabung atas kepergian Mama. Dalam adat Tionghoa, kami tak boleh merayakan Imlek karena Imlek identik dengan perayaan bersuka cita. Jika dulu larangannya diharuskan selama 3 tahun, di masa sekarang disederhanakan menjadi 1 tahun saja. Meskipun saya tidak bisa merayakannya, tapi nasihat Papa saya untuk tetap melanjutkan dengan makan malam bersama keluarga di malam Imlek harus tetap diadakan, ini untuk memperingati rasa syukur atas kesehatan, berkat, kebersamaan dan penyertaan Tuhan atau Langit kepada kita.
Biasanya kami akan menyalakan semua lampu yang ada di dalam rumah yang mengibaratkan agar rejeki terang, menyiapkan 2 pohon tebu di depan pintu mengibaratkan tebu yang manis semoga kehidupan pun manis seterusnya, dan tentu saja bungkus membungkus angpao/hongpao yang akan dibagikan ke anak-anak kecil.
Jika setiap tahun di meja makan kami terhidang teripang laut dan menu Chinese food lainnya, malam ini saya sudah sangat puas dengan panggang ayam bumbu bawang beserta urap-urap, ditambah dengan oseng kikil mercon lengkap dengan sambal korek.
Sambil berebut ceker ayam dengan cucu saya, saya bersyukur mempunyai keluarga yang selalu adem ayem dan menerima saya dengan segala kekurangan dan kelebihan saya. Termasuk dengan segala perbedaannya.
~~Nany Tjan~~
Nice Story….
Kata salah satu tokoh dalam kisah diatas, bagi siapa saja yang reply… akan dapat angpao gopay… hiks hiks
Dear Om Rudy,
wah berat nih urusannya kalau gopay 😉
Mbak Nany, saya suka sekali baca tulisan ini. Alangkah damainya dunia kalau semua rukun dan memahami perbedaan seperti ini💖
Dear Mbak Mega,
glad to know that, Mbak,
Jangan berhenti berharap yuk. Buat anak cucu kita nanti :).
Enak tulisannya Tacik…ringan dan inspiratif😀 sehat selalu sekeluarga, salam buat Coach Daru🤗
Ditunggu tulisan2 berikutnya
Xie xie ya Ko Irawan.
Salam sehat selalu.