Yogyakarta terkenal sebagai kota yang mengagungkan budaya, terlihat dari antiknya Toragan. Beraneka ragam kesenian ditampilkan di sana pada malam tirakatan. Kota ini punya puluhan universitas Serani, hampir setara dengan jumlah universitas non Serani. Jutaan studen dari berbagai pulau belajar di sini. Banyak orang kulit putih yang berkeliaran sekadar dolan melihat ukiran batu yang tak bernyawa. Toleransi sangat dijunjung tinggi di sini.
Kenapa Zelfbesturende Landschappen satu ini terkenal sebagai kota multikultural? Itu berkat misi-misi wali Joseph dan Julius. Siapa sebenarnya mereka ini?
Baca juga:
Sosok Wali Kembar
Bapak Tulus pernah mengatakan, ‘’Wali hari ini bukan cuman duduk, menahan lapar menunggu rezeki, tukang dungo. Bahkan, studen UIN tidak mempunyai girah dakwah. Namun, wali abad modern harus kaya sehingga mampu mendanai dakwah, membeli lahan untuk pembangunan pusat kegiatan ibadah, dan bagi-bagi beras setiap minggu.”
Keluarga Schmutzer menjadi pemilik Pabrik Gula Gondanglipuro pada 1912. Bahan baku pabrik besar ini disuplai oleh kebun-kebun tebunya yang masih bisa kita lihat di daerah Bambanglipuro. Namun, pabriknya sudah beralih fungsi jadi museum. Pabrik ini pernah dihancurkan oleh gerilyawan pribumi yang takut londo-londo ini datang kembali dan menjajah masyarakat Bambanglipuro. Ketakutan lain para nasionalis taat ada pada kewalian Joseph Schmutzer dan Julius Schmutzer yang membuat buruh terlena.
Wali kembar Joseph Schmutzer dan Julius Schmutzer awalnya menimba ilmu di Politeknik Delft, Belanda. Kemudian, mereka mengamalkan ilmunya di Bambanglipuro. Di Bambanglipuro, Joseph dan Julius sekaligus meneruskan usaha pabrik gula miliki ayah tiri mereka yang bernama Stefanus Barends.
Pabrik Gula Gondanglipuro yang telah berdiri sejak 1862 mengalami kemajuan ketika dikelola oleh Wali Kembar pada awal abad 20. Menurut Aritonang dan Steenbirk, “Sebagai penganut Katolik yang taat, Schmutzer bersaudara berusaha mendalami ajaran sosial Serani. Mereka bertekad untuk menerapkannya bukan di Eropa, melainkan di Bambanglipuro.”
Bermodal pabrik gula itulah mereka bisa menjalankan misi-misi sebagai wali. Joseph dan Julius menyebarkan misinya dengan mendirikan dua belas sekolah, irigasi, dan rumah sakit. Puluhan universitas Serani, Rumah Sakit Elizabeth, dan Museum Pabrik Gula Gondanglipuro adalah segelintir peninggalan Wali Kembar yang masih beroperasi hingga sekarang.
Joseph aktif di Indische Katholieke Partij (IKP) yang sekarang lebih dikenal dengan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta. Perhimpunan ini diprakarsai oleh St. PK. Hardjasudirdja pada 1951. Joseph memiliki hubungan erat dengan gereja-gereja londo. Dari situ, Joseph fokus membangun relasi sosial untuk melahirkan generasi Serani yang kuat.
Tahun 1920, Julius menikah dengan Caroline van Rijkkevorsel, seorang penganut Serani yang taat. Sang istrilah yang mendorong Julius mengembangkan misinya hingga ke kota. Menurut Caroline, cara memperbaiki dunia adalah dengan menciptakan kedamaian, keamanan, kesehatan, dan kebahagian. Prinsip utama Caroline adalah membela yang miskin daripada yang kaya. Caroline menginspirasi Julius untuk membahagiakan kaum buruh. Alhasil, tercipta loyalitas yang tinggi terhadap Wali Kembar di kalangan buruh pabrik.
Banyak pribumi, khusunya buruh, yang lantas beralih kepercayaan. Kewalian Julius yang damai sejalan dengan hati dan pikiran mereka. Beberapa kebijakan ketenagakerjaan Julius meliputi pembuatan kontrak kerja yang sifatnya progresif bersama serikat buruh Tjipto Oetomo, peningkatan gaji sebesar 5% setiap tahun, serta dana pensiunan bagi janda perempuan.
Kebijakan Julius lainnya yakni penyediaan fasilitas rumah dinas, libur tiga hari pada bulan Ramadan, libur dua hari ketika perayaan Idul Adha, dan libur dua hari untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Siasat inilah yang digunakan Julius dan Caroline untuk zendeling. Sampai-sampai, kalau kita menelusuri riwayat delpher, tidak ditemukan riwayat keluarga Schmutzer. Nama mereka sengaja tidak dimasukkan dalam Nederlands-Indische Suiker Syindikat agar dapat mengembangkan misi. Alhasil, terdapat tiga cabang pabrik mereka di Kecamatan Kretek, Sanden, dan Pandak.
Tahun 1930, keluarga Schmutzer membangun poliklinik yang sekarang bernama Rumah Sakit Elizabeth. Julius menggandeng HB VIII dalam pembukaan polikliniknya dan menggratiskan layanan bagi masyarakat pribumi yang berobat di sana. Strategi zendeling inilah yang digunakan oleh londo untuk mengembangkan pengaruhnya di tanah Nusantara. Tak hanya itu, Julius menggandeng pengusaha lain untuk membangun Rumah Sakit Onderbogen yang sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Panti Rapih.
Pada 16 April 1924, keluarga Schmutzer membangun pusat keimanan, yakni Gereja Hati Kudus di Bambanglipuro. Arsiteknya adalah Th. van Oyen. Pemberkatan gereja dihelat oleh Mgr. A. van Velsen. Julius tahu bahwa mengubah pribumi konservatif tidak bisa secara langsung, melainkan melalui akulturasi. Untuk itu, Gereja Hati Kudus dibangun dengan corak Jawa.
Keluarga Schmutzer juga mengupayakan akulturasi dengan cara membagi-bagikan beras kepada masyarakat pribumi. Tak cuma itu, pendidikan gereja diarahkan untuk berkontribusi di bidang kesadaran lingkungan guna membangun generasi Serani yang bisa menciptakan perdamaian di lingkungan sekitar. Atas kiprah kewaliannya, Wali Kembar dapat kita sebut sebagai pendeta. Secara finansial, Wali Kembar punya. Secara amal, Wali Kembar kerjakan.
Baca juga:
Salah satu respons terhadap kiprah Wali Kembar adalah pendirian Pondok Azzakiyah sebagai tameng untuk menangkal penyebaran ajaran Katolik di kalangan penganut Islam di Yogyakarta. Respons lain datang dari faksi keraton, yakni HB VIII hingga HB X yang mengakuisisi harta peninggalan para londo. Keraton hendak menunjukkan kegagahan sebagai satu-satunya kesultanan di Indonesia yang masih berkuasa secara efektif hingga kini.
Editor: Emma Amelia