Ketika membicarakan konflik di Papua, mengapa akar masalah konflik tersebut masih sering luput dari perhatian kita? Mungkin ada banyak faktor, tetapi salah satu jawabannya adalah keterbatasan informasi yang didapat. Akhirnya, tak sedikit obrolan hanya berujung pada frasa siapa-salah-siapa-benar tanpa melihat konteks yang lebih luas.
Selama bertahun-tahun, kebebasan pers tidak pernah hadir di Papua. Selama itu pula, kita tidak pernah mendapat informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di sana. Meski pada 2015 pemerintah mengumumkan akan mencabut pembatasan akses bagi wartawan asing untuk mencari informasi di Papua, hal itu tidak benar-benar menyelesaikan masalah keterbatasan akses informasi di sana.
Pada 2019, saya bertemu dengan Filep Karma, salah satu aktivis kemerdekaan Papua, dalam sebuah agenda wawancara di Jakarta Barat. Dalam pertemuan itu, kami berbicara banyak tentang perjuangannya membela hak-hak rakyat Papua: menginisiasi perjuangan damai, menjalani hidup dengan keluar-masuk penjara, mendapat perlakuan rasis serta diskriminasi, dan lainnya.
Kami berbicara kurang lebih selama dua jam. Di ujung obrolan, ada satu perkataannya yang menohok dan selalu membekas di kepala saya. Sebagaimana saya mendengarnya, perkataan itu semacam ungkapan bahwa kondisi kebebasan berekspresi di Papua masih menyimpan banyak masalah. Oleh sebab itu, saya dianggap beruntung bisa bertemu dan melakukan wawancara dengannya di Jakarta, tanpa perlu khawatir akan adanya intimidasi.
“Kalau kamu ke Papua, sudah diikuti tentara, kamu. Bisa ditembak,” ujarnya.
Entah ia berkelakar atau tidak, yang pasti apa yang ia ucapkan terdengar begitu serius. Dan ironisnya, perkataan itu saya dengar empat tahun setelah adanya kebijakan dari pemerintah untuk mencabut pembatasan akses informasi di Papua. Melalui perkataan itu, saya bisa menafsirkan bahwa kondisi kebebasan pers di Papua sebenarnya tak pernah berubah. Kalaupun ada, perubahan itu tak lebih dari upaya mempertahankan cara-cara lama melalui bentuk-bentuk yang baru.
Penguasa Membatasi Informasi
Tentunya hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Keterbatasan untuk mendapat informasi tersebut, dalam banyak hal ditengarai oleh hegemoni kekuasaan: pembelokan sejarah, pemblokiran akses internet di Papua yang dilakukan oleh pemerintah, hingga banyaknya intimidasi yang dialami oleh jurnalis maupun peneliti dalam proses pencarian informasi di Papua.
Dalam laporan riset Human Right Watch yang berjudul Sesuatu yang Disembunyikan: Pembatasan Indonesia terhadap Kebebasan Media dan Pemantauan Hak Asasi Manusia di Papua ditemukan beberapa fakta tentang kondisi pembatasan akses pencarian informasi di Papua dalam beberapa tahun terakhir. Pembatasan itu ditujukan kepada wartawan asing, pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa, LSM internasional, dan setiap orang yang ingin mencari informasi di Papua. Laporan itu menunjukkan bagaimana hegemoni kekuasaan berpengaruh terhadap pengendalian penyebaran informasi.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia berperan besar dalam mengatur arus informasi melalui berbagai cara. Seperti misalnya, pada masa pemerintahan presiden Sukarno, medio 1945-1966, pembatasan akses terhadap pencarian informasi di Papua mulai dilakukan dengan mensyaratkan wartawan asing untuk memiliki visa sebelum masuk ke wilayah Indonesia. Di luar urusan administratif, syarat tersebut secara tidak langsung adalah upaya mempersulit wartawan asing untuk masuk ke wilayah Indonesia, khususnya Papua.
Demikian pula pada era Orde Baru, pembatasan akses semakin menjadi-jadi ketika wartawan asing yang bertugas di Indonesia dan ingin meliput ke Papua diharuskan melewati serangkaian pengecekan, mulai dari tema liputan, waktu liputan, hingga pihak yang akan menjadi narasumber. Pengecekan itu diberi nama “clearing house”.
Prosesnya dilakukan oleh lintas lembaga, diawasi oleh Kementerian Luar Negeri dan melibatkan 18 unit kerja dari 12 kementerian, termasuk Polri dan Badan Intelijen Negara. Proses itu semacam pemeriksaan terhadap wartawan untuk menjelaskan secara rinci perihal rencana peliputan mereka. Keadaan seperti itu belum termasuk persoalan intimidasi militer terhadap wartawan-wartawan yang hendak mencari informasi di Papua. Hal itu membuat persoalan akses informasi menjadi kian rumit.
Baca juga:
Dalam kasus lain, misalnya, tindakan kriminalisasi secara terang-terangan dilakukan oleh pemerintah kepada siapa saja yang memberikan informasi tentang Papua dalam sudut pandang yang berbeda. Tidak sedikit orang-orang yang diproses hukum ketika mencoba membongkar mengenai apa yang terjadi di Papua. Tidak jarang juga aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat Papua berujung dengan tembakan dan berbagai bentuk kekerasan aparat.
Dari sekian banyak kasus, salah satu yang terjadi baru-baru ini adalah kasus kriminalisasi yang dialami oleh dua aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Keduanya dilaporkan dan dijadikan tersangka karena membicarakan hasil riset tentang keterlibatan pejabat Indonesia dalam bisnis pertambangan di Papua.
Hal demikian menjadi preseden buruk bagi iklim kebebasan berekspresi di Indonesia. Masalahnya, jika hasil riset yang berbasis data dan prosesnya melalui metodologi akademis saja dapat dikriminalisasi, bagaimana dengan nasib orang-orang Papua yang mencoba membicarakan masalahnya melalui aksi-aksi demonstrasi.
Melalui jejak-jejak tersebut, kita dapat melihat bahwa pembatasan akses untuk mencari informasi di Papua telah dilakukan sejak lama oleh pemerintah Indonesia dan bertahan hingga hari ini dalam berbagai bentuk. Hegemoni kekuasaan yang membatasi informasi aktual serta kelayakan informasi yang dikonsumsi publik, pada akhirnya berpengaruh terhadap bagaimana publik, khususnya orang-orang non-Papua, memahami konflik di Papua.
Dalam konteks yang lebih luas, pembatasan tersebut merupakan cara pemerintah untuk melakukan reproduksi pengetahuan yang sifatnya politis: narasi tentang Papua hanya ditulis berdasarkan sudut pandang penguasa. Hal tersebut secara perlahan-lahan membentuk kuasa pengetahuan terhadap pemahaman tentang apa dan bagaimana Papua.
Pereduksian Persoalan di Papua
Di titik inilah pemerintah mampu memonopoli informasi yang pada akhirnya dianggap dan berperan sebagai satu-satunya sumber informasi tunggal. Pada saat yang sama, pemerintah memberikan label hoaks bagi siapa saja yang memiliki narasi berseberangan. Dengan begitu, narasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terus berkembang, dan tidak sedikit informasi menjadi tereduksi dan membuat persoalan di Papua dipahami hanya secara sempit.
Hasil riset panjang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 2004, yang dituang dalam buku berjudul Papua Road Map (2009), menunjukkan bahwa konflik di Papua dipetakan menjadi beberapa hal: problem sejarah dan status politik, kekerasan dan pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan, serta diskriminasi dan marjinalisasi terhadap orang asli Papua (OAP). Namun, persoalannya adalah bagaimana banyak orang bisa memahami permasalahan yang sedemikian kompleks ketika akses informasi tentang hal tersebut dibatasi.
Hal tersebut menjadi paradoks, sebab kebebasan pers seharusnya menjadi sarana untuk mencerahkan publik. Dalam hal ini, kebebasan pers bukan hanya soal bagaimana kebebasan media melakukan kerja-kerja mencari dan menyiarkan informasi. Lebih dari itu, kebebasan pers merupakan kondisi yang menjamin hak publik untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan.
Hak mendapatkan informasi berdasarkan data-data yang faktual merupakan hak bagi setiap orang, yang juga merupakan bentuk dari hak asasi manusia. Terlebih, fakta-fakta tersebut nantinya dapat membuka pandangan dalam menentukan keberpihakan kita terhadap permasalahan yang terjadi di Papua.
Baca juga:
Penjerumusan Logika
Di tengah kuasa pemerintah dalam mengatur arus informasi, keberpihakan media yang digerakan oleh kepentingan pemiliknya, juga berbagai intimidasi aparat kepada wartawan yang mencari informasi di Papua, hampir mustahil berharap untuk mendapat informasi yang berimbang tentang konflik di Papua berdasarkan sudut pandang orang Papua. Dalam keadaan seperti itu, keterbatasan informasi rentan menjerumuskan orang-orang ke dalam pemahaman dan pandangan yang berwatak kolonial dan rasis.
Implikasinya berdimensi luas bagi orang-orang Papua. Pandangan dan pemahaman tentang orang-orang Papua pada akhirnya dibentuk oleh konstruksi yang negatif: terbelakang, erat dengan kemiskinan, dan lainnya. Karena itu, mereka dianggap belum mampu untuk mengurus, atau lebih parahnya, memimpin dirinya sendiri. Akibatnya, timbul pemahaman bahwa dalam hal apapun, orang-orang Papua harus menerima, tunduk, dan mau diperintah oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Jakarta–meski dalam kacamata orang asli Papua, kebijakan-kebijakan itu justru banyak menindas mereka.
Unsur-unsur rasisme dan kolonial dalam pandangan seperti itu seolah menihilkan masalah-masalah lain yang dialami oleh orang-orang Papua. Kondisi demikian hampir pasti membuat pemerintah abai ketika ada banyak kasus pembunuhan, kejahatan terhadap kemanusiaan, perampasan lahan, dan pelanggaran HAM yang dialami oleh orang Papua. Dan sebaliknya, gagasan soal nasionalisme akan selalu direproduksi, dan pemahaman yang pragmatis soal konflik di Papua masih akan terus berkembang.
Akibat kendali informasi oleh penguasa, keterbatasan informasi yang layak atau tidak layak untuk dikonsumsi publik pun terjadi. Tak heran mengapa kita sulit mendengar suara-suara orang Papua. Kita memang tidak memiliki banyak pilihan, tetapi ketidakmauan kita untuk memberikan ruang-ruang berbicara, dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang Papua justru hanya akan membuat kita terus-terusan terjerumus dalam logika kekuasaan.
Karena alasan itulah, mengapa banyak dari kita, khususnya orang-orang non-Papua, tidak banyak mengerti tentang apa yang terjadi dan dialami orang Papua. Banyak dari kita yang hanya berkutat pada frasa siapa-salah-siapa benar bila membicarakan Papua.
Banyak dari kita yang sama sekali tidak peduli mengapa orang-orang Papua menolak keras berbagai kebijakan yang dibuat oleh Jakarta. Dan yang terpenting, banyak dari kita pula yang akhirnya tidak mampu–atau tidak mau–memahami mengapa orang-orang Papua memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dan berpisah dengan Indonesia.
Tidak ada jalan tunggal untuk menyelesaikan persoalan yang kompleks ini. Namun, kita bisa memulainya dengan memberi ruang kepada orang-orang Papua untuk bersuara, dan belajar mendengar tentang apa yang mereka katakan.
Editor: Prihandini N