Introvert garis keras. Tinggal di Lamongan

Kurikulum Berubah, Simsalabim Semuanya Beres?

Afiqul Adib

2 min read

Akhir-akhir ini perbincangan soal isu pendidikan memang selalu ramai di khalayak, khususnya menyoal pergantian kurikulum. Jika diamati, banyak keluhan seputar Kurikulum Merdeka yang dianggap sebagai “biang kerok” masalah pendidikan di Indonesia. Khususnya soal zonasi, anak SMA belum bisa membaca, sampai keinginan untuk mengadakan UN lagi.

Semua perbincangan itu menimbulkan satu pertanyaan sederhana di benak saya, “Memangnya pendidikan di era sebelum Pak Nadiem ini sudah bagus?”

Saya paham kurikulum Merdeka memang banyak kurangnya, tapi bukankah mengganti kurikulum dengan serampangan justru makin membuat pendidikan kita makin bobrok? Maksud saya, sampai hari ini saja masih banyak sekolah yang baru belajar apa itu Kurikulum Merdeka, masak iya udah mau diganti lagi? Lantas kapan seorang guru benar-benar fokus mengajar tanpa dibebani soal kebaruan kurikulum yang tiap 5 tahun itu?

Baca juga:

Di negara lain, umumnya kurikulum itu diganti 10-15 tahun sekali agar pemetaan hasilnya terlihat jelas. Iya, buat yang belum tahu, dampak penerapan kurikulum itu memang baru terasa sekitar 10-15 tahun. Artinya kalau pendidikan hari ini kok dianggap bobrok, maka itu adalah hasil dari penerapan kurikulum 10 tahun sebelumnya.

Ironisnya, mengubah kurikulum di Indonesia dalam praktiknya hanya mengubah administrasinya. Tidak banyak yang berubah dari cara guru mengajar meski kurikulumnya berubah. Sebab, ketika kurikulum berganti, guru-guru ini baru ikut pelatihan penyesuaian kurikulum. Mereka baru mempelajari kurikulum baru, eh nggak lama, ganti lagi kurikulumya. Gimana mau berubah cara mengajarnya?

Bagi saya, Kurikulum Merdeka juga bukan sepenuhnya bobrok. Ada banyak hal yang setidaknya bagi saya cukup bagus. Misal, pembelajaran yang menuntut keaktifan, adanya P5 yang membuat siswa tidak hanya belajar materi saja, melainkan juga ada project based learning.

Kemudian, di Kurikulum Merdeka fokusnya adalah kualitas pemahaman, bukan kuantitas. Misal anak belum paham materi Bab 1. Maka pertemuan berikutnya ya tetap mempelajari Bab 1, bukan seperti kurikulum lama yang memaksa tetap mempelajari bab selanjutnya hanya karena tuntutan menuntaskan semua materi. Bukankah ini baik?

Ini bukan berarti saya setuju sepenuhya dengan Kurikulum Merdeka. Tentu ada hal yang saya kurang setuju. Hanya saja, perlu juga saya sampaikan sisi positifnya agar tidak ada anggapan bahwa semua hal yang ada dalam Kurikulum Merdeka adalah “sampah”.

Selain itu, saya setuju kalau ada perbaikan dalam kurikulum. Tapi, kalau diganti sepenuhnya sih, kayaknya kok nggak pas deh. Dan kalau diperhatikan, dalam tiap evaluasi kurikulum problemnya selalu sama, yakni kekurangsiapan guru-guru dalam menerapkannya. Nah, dari sana bukankah lebih baik jika fokusnya adalah memperbaiki kualitas guru terlebih dahulu?

Tentu sekalian menambah tunjangannya agar mereka bisa hidup sejahtera. Setidaknya tiap bulan bisa belanja buku tanpa khawatir saldo rekeningnya habis. Atau bisa mengikuti pelatihan pengembangan diri lainnya tanpa takut besok makan apa.

Oh iya, sedikit menyoal Ujian Nasional (UN). Apakah Anda kira dengan adanya UN maka pendidikan akan menjadi bagus? Apakah Anda lupa betapa banyaknya praktik kecurangan dalam pelaksanaan UN, bahkan pelakunya adalah pihak sekolah? Apakah Anda melupakan betapa stres seorang anak yang hendak mengikuti UN, sampai ada juga kasus bunuh diri yang terjadi?

“Tapi anak sekolah memang harus ada tekanan agar mau belajar”.

Duh, memangnya mau seperti Jepang, yang pendidikannya penuh tuntutan itu? Yang dampaknya angka bunuh dirinya sangat tinggi itu? Yakin?

Baca juga:

Yah, pada intinya kita memang harus lebih sabar. Pendidikan itu proses panjang. Tidak bisa sekali diubah kurikulum maka peserta didik langsung cerdas, jenius, mendapat hadiah Nobel. Duh, ya mustahil.

Dan ini, manusia itu dinamis. Sebagai pendidik, saya juga sering meyaksikkan seorang anak yang dulunya ketika sekolah gitu-gitu aja, tapi setelah lulus, ia dapat hidup dengan lebih baik. Teman saya misalnya. Ia pernah mendapat ranking 3 paling bawah ketika sekolah. Tapi akhirnya ia berhasil lulus kuliah sampai jenjang S2.

Jadi kita nggak bisa sembrono menghakimi masa depan seorang anak hanya dari pencapaiannya ketika masih sekolah. Sebab, kita pernah tahu perubahan apa yang akan terjadi pada seorang anak.

Satu lagi, saya kira sudah sangat lama pendidikan ini dibebankan pada sekolah saja. Seakan masyarakat dan orang tua ini lepas tangan akan kebobrokan sistem pendidikan di era sekarang yang berimbas pada murid. Pokoknya kalau ada salah, yang menjadi samsak adalah guru, sekolah, dan kurikulum.

Padahal ada istilahnya Tri Pusat Pendidikan, kata Ki Hajar Dewantara. Artinya pendidikan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga melibatkan keluarga dan masyarakat.

Saya kira ketimbang tiap lima tahun ganti kurikulum, mending mulai dulu memperbaiki gaji guru dan pemerataan fasilitas sekolah. Sebab, meski pakai kurikulum Cambridge, kalau gaji guru cuma 200 ribu sebulan dan gedung sekolahnya mau rubuh, apa yang mau diharapkan? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Afiqul Adib
Afiqul Adib Introvert garis keras. Tinggal di Lamongan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email