Asumsi awam terkait praktik pendidikan sekurang-kurangnya tergambar seperti kendaraan. Guru diasumsikan sebagai pengemudi dan murid sebagai penumpang. Asumsi inilah yang melandasi para orang tua mempercayai guru untuk menjadi sopir dengan berbagai keahlian yang bisa mengantarkan anak-anak mereka kepada titik-titik pemberhentian yang dicita-citakan.
Namun, peraih Nobel Fisika kenamaan dunia, Albert Einstein, tidak menyetujui hal tersebut. Dalam pidatonya ketika menerima Nobel, ia menyampaikan bahwa pendidikan yang menanamkan sentimen waras, ketulusan, dan kepercayaan diri murid—sebagaimana tergambar dalam asumsi awam—hanya akan menghasilkan subjek patuh.
Dididik dengan cara seperti itu, para murid tidak mungkin dapat melakukan apa-apa untuk menentukan tujuannya. Untuk seterusnya, mereka hanya bisa bersikap patuh mengekor arah yang ditentukan oleh guru sebagai pengemudi. Model pendidikan yang dibayangkan banyak orang ini akan cenderung memberi warna hitam-putih. Murid hanya akan tahu soal mana boleh dan mana tidak boleh.
Einstein berpendapat bahwa pendidikan sejatinya akan berjalan maksimal dengan pendekatan imajinatif. Kewajiban dan tugas guru bukanlah sebagai sopir yang mengendalikan tujuan murid, melainkan memfasilitasi dan membantu murid-muridnya untuk mengetahui cara menyalakan kendaraan yang baik dan benar.
Akan ke mana tujuan murid-murid? Itu terserah sang murid. Sebab, berkendara merupakan hak, keputusan, dan kebebasan yang mesti diambil dan diputuskan berdasarkan apa yang diimajinasikan oleh para murid itu sendiri.
Baca juga: Berharap Adanya Komnas Perlindungan Guru
Praktik pendidikan di Indonesia, setidaknya dalam lima tahun belakangan, dapat dikatakan masih berjalan menggunakan kerangka asumsi awam. Pendidikan dilaksanakan dengan mengedepankan sentimen waras guna menghasilkan subjek patuh.
Dalam artikel yang terbit dalam jurnal Al-Madrasah: Jurnal Ilmiah Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Vol. 6 No. 2 (April-Juni 2022), didapati bahwa indikator keberhasilan dalam pembelajaran adalah “murid patuh” kepada guru, meskipun sebenarnya tujuan akhir dari pembelajaran adalah patuh kepada ajaran agama. Dengan demikian, hasil riset ini jelas mengonfirmasi bahwa subjek patuh masih menjadi sasaran output dari praktik pendidikan di Indonesia.
Kepatuhan murid sebagai indikator keberhasilan pembelajaran tentu bukan aspek, unsur, apalagi sikap yang hanya dapat dibentuk melalui pendidikan. Sebab, jika mengacu dari hasil survei yang menunjukkan bahwa per 2002-2022, angka anak didik atau orang dewasa yang tidak tamat dari sebuah institusi pendidikan, tetapi memiliki kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik selayaknya penilaian di sekolah mencapai jutaan.
Fenomena terkait pembelajaran dalam pendidikan yang hanya bertujuan menghasilkan subjek patuh dan hasil survei yang menunjukkan bahwa jutaan orang tidak tamat sekolah, tetapi memiliki kemampuan yang setara dengan penilaian sekolah memang tidak dapat dipukul rata. Namun, apabila berpikir secara materialis, sebagian orang tua yang sudah membayar mahal agar anaknya mendapatkan pendidikan layak, tetapi hasilnya hanya menjadi individu yang memiliki subjek patuh, tentu saja akan merasa dirugikan.
Baca juga: Bahaya Neoliberalisme di Perguruan Tinggi
Kalau boleh memberi penilaian, segala aspek kehidupan di Indonesia tidak mungkin dapat berjalan baik kalau digerakkan oleh SDM hasil pendidikan berorientasi subjek patuh. Bagaimana generasi selanjutnya dapat memperbaiki kualitas penegakan hukum kejahatan korupsi, pengembangan dan pembangunan ekonomi, dan lain sebagainya kalau mereka hanya bisa “patuh”?
Oleh karena itu, ide soal pendidikan yang berorientasi mengembangkan subjek mandiri yang imajinatif yang ditawarkan Einstein puluhan tahun lalu akan terus relevan dan penting untuk diimplementasikan. Murid tak bisa terus dituntun. Murid harus dibebaskan untuk membawa kendaraan masing-masing dengan mengetahui penuh hak dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara, umat beragama, dan manusia yang berdikari.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Pendidikan Imajinatif ala Einstein”