Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Suporter Jepang dan Kesadaran Kolektif Menjaga Kebersihan

Kukuh Basuki

3 min read

Ada pemandangan menarik di tribun penonton seusai pertandingan Jepang versus Jerman yang dimenangkan oleh Jepang dengan skor 2-1. Beberapa suporter Jepang terlihat tidak lekas meninggalkan stadion. Mereka merelakan tenaga dan waktu untuk mengumpulkan sampah dan memasukannya dalam kantong plastik besar. Tidak hanya di bangku stadion suporter Jepang, mereka juga membersihkan hampir semua ruas tempat duduk yang masih bisa mereka akses.

Apabila kita mencurigai itu hanyalah selebrasi dari euforia kemenangan fenomenal Jepang dari Jerman, hal itu bisa ditepis dengan fakta yang terjadi beberapa hari berikutnya. Pada saat Jepang kalah 0-1 dari Kosta Rika, mereka tetap melakukan aksi bersih-bersih sampah sisa makanan, minuman, dan properti suporter. Dan satu lagi, tidak ada satu pun di antara suporter Jepang menyalakan kamera untuk merekam aksi bersih-bersih mereka. Jelas mereka melakukan pembersihan sampah itu bukan untuk membuat konten.

Tak hanya suporter dewasa yang melakukan aksi bersih-bersih sampah. Suporter anak-anak yang turut hadir di stadion juga terlihat sibuk memunguti sampah yang berserakan di tribun.

Dari fenomena itu kita mungkin bertanya, mengapa orang-orang Jepang rela membantu petugas kebersihan stadion tanpa diminta? Bagaimana bisa mereka mau melakukan ‘kerja bakti’ bersih-bersih sampah di saat mereka bisa seperti suporter lainnya yang melenggang pulang atau jalan-jalan dan mencari tempat makan? Hal apakah yang menggerakkan mereka mengerjakan pekerjaan ‘kasar’ di stadion dan negara lain di luar negerinya?

Pelajaran Bersih-Bersih

Jawaban yang paling memungkinkan dan paling jelas adalah karena pendidikan. Dalam pendidikan formal di sekolah, Jepang punya mata pelajaran yang salah satu aspek di dalamnya adalah pembelajaran tentang bersih-bersih. Mata pelajaran itu bernama Tokkatsu. Menurut Tsoneyoshi dkk (2016) Tokkatsu adalah singkatan dari tokubetsu katsudo yang jika diartikan secara harfiah adalah periode yang mencaku aktivitas non kognitif. Mata pelajaran Tokkatsu ditempatkan di kurikulum resmi, berlaku secara nasional, dan masuk ke dalam penilaian rapor.

Menurut Tsoneyoshi dkk (2016) di dalam mata pelajaran Tokkatsu ada kegiatan yang bernama Toban. Di dalam Toban siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Kelompok kecil tersebut mempunyai tugas bergiliran untuk menyajikan makan siang, mencuci piring, dan membersihkan kelas. Untuk menguatkan kerjasama antar kelompok ada juga pada kegiatan Kakari.

Baca juga:

Siswa-siswi dapat memilih jenis Kakari yang diminatinya. Pelaksanaannya tetap dalam kelompok kecil namun aktivitasnya lebih beragam. Dari kegiatan Kakari ini siswa-siswi dilatih mengorganisasikan kelompok untuk melakukan tugas-tugas yang berbeda dalam mencapai satu tujuan utama sehingga menumbuhkan kekompakan dan jiwa kolektivitas yang tinggi.

Dalam lingkup keluarga, masyarakat Jepang juga sudah memulai pendidikan tentang peduli kebersihan sejak dini. Anak-anak Jepang dilatih orang tuanya untuk setidaknya bertanggung jawab dengan sampah yang dihasilkan dari dirinya sendiri, misalnya orang tua melatih anak-anaknya untuk membuang popoknya sendiri ke tempat sampah.

Dalam lanskap sosial, masyarakat Jepang juga sangat disiplin dalam membuang sampah pada tempatnya. Setiap orang yang menghasilkan sampah tidak akan meletakkan sampahnya di sembarang tempat. Mereka akan mengantongi sampahnya sampai menemukan tempat sampah yang sesuai bagi sampah yang dihasilkannya. Hal ini juga menjadi pendidikan sosial bagi anak-anak Jepang di mana orang-orang yang lebih tua menjadi role model dalam kesehariannya. Anak akan mudah melakukan sesuatu jika itu juga dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya.

Kesadaran iklim kolektif

Semangat bersih-bersih Jepang yang ditanamkan di setiap tahapan usia baik melalui pendidikan formal, pendidikan nonformal, ataupun pendidikan sosial membentuk karakter masyarakat Jepang untuk mau bersih-bersih di manapun mereka berada. Hal itu sangat selaras dengan semangat kepedulian terhadap perubahan iklim bumi.

Seperti kita ketahui, pengelolaan sampah adalah masalah yang sangat serius bagi kelangsungan ekosistem yang sehat dan aman bagi semua makhluk hidup di bumi. Keberadaan sampah yang menumpuk bisa mengakibatkan banjir, pencemaran air, percepatan pemanasan global, juga menjadi sarang penyakit. Hal itu bisa terjadi karena pembusukan sampah bisa menghasilkan gas metana yang menyumbang prosentase efek rumah kaca sehingga bumi semakin panas.

Dalam bukunya yang berjudul Collapse, Jared Diamond menekankan pentingnya kerjasama warga dunia untuk menjaga alam dan lingkungan agar bumi tetap menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk ditinggali. Semangat ini bukan lagi semagat regional ataupun nasional, tapi semangat global. Hal itu didasarkan dari fakta bahwa kerusakan lingkungan di suatu daerah atau negara akan berdampak pada negara lainnya juga.

Pemanasan suhu bumi yang diakibatkan penumpukan sampah yang tidak tertangani dengan baik misalnya, akan memberi sumbangsih panas bumi dan mempercepat pencairan lapisan es di Kutub Utara dan Selatan. Jika itu terjadi, volume air laut dunia akan naik. Pulau-pulau kecil dengan dataran rendah di seluruh dunia terancam tenggelam. Curah hujan di setiap negara juga semakin tinggi yang dapat meningkatkan risiko banjir besar.

Baca juga:

Dari pemaparan di atas, usaha revitalisasi lingkungan tidak bisa lagi menggunakan perspektif regional, namun harus menggunakan perspektif global. Alih-alih individual dan egoistik, kelestarian lingkungan bumi hanya bisa dilakukan secara komunal. Semua orang harus sadar bahwa mereka punya satu identitas yang sama, yaitu warga dunia. Kita harus peduli dengan alam, khususnya pengelolaan sampah, di manapun kita berada.

Kesadaran komunal sebagai warga dunia yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan itu sudah tertanam dalam masyarakat Jepang. Kerja-kerja sosial seperti yang dilakukan suporter Jepang pada Piala Dunia 2022 di Qatar mungkin tampak istimewa, tetapi bagi orang-orang Jepang itu merupakan hal yang biasa saja. Mereka melakukan itu hanya karena sudah terbiasa dan memang sudah selayaknya dilakukan.

Kesadaran akan kebersihan bukanlah keterampilan yang secara natural dimiliki manusia. Seperti keterampilan lainnya, perilaku membersihkan sampah itu haruslah dilatihkan secara komprehensif dan berkelanjutan melalui pendidikan formal ataupun nonformal. Semakin banyak dilatih maka keterampilan itu akan semakin meningkat dan menjadi perilaku spontan dalam kehidupan.

Harus ada kurikulum pendidikan secara nasional tentang kebersihan. Memang hal ini akan lebih rumit dan menghabiskan banyak waktu juga tenaga dibandingkan sekadar memasang spanduk atau menyebar himbauan berisi slogan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Meski demikian, hasilnya akan jauh terlihat lebih efektif dan nyata.

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email