Manusia biasa yang suka cokelat

Dapatkah Kaum Anarkis Hidup Tanpa Negara?

Abdullah Azzam Al Mujahid

4 min read

Anarkisme sebagai pandangan yang acap kali disalahartikan sebagai kekacauan oleh sebab tidak menghendaki adanya negara, telah banyak membuat orang bingung. Bagaimana bisa kaum anarkis hidup tanpa negara? Alih-alih memberi alasan yang tidak “rasional” untuk menambal retak yang sering diselubungi kritik, sebagian para pemikir anarkisme justru menjawabnya dengan sangat rasional dan cukup memuaskan.

Dari sekian banyak corak pemikiran anarkisme yang ada, jawaban paling rasional yang memungkinkan terwujudnya kehidupan tanpa negara berasal dari corak pemikiran Anarkisme organisasi. Anarkisme organisasi percaya pada pembentukan komunitas terdesentralisasi dengan sistem swakelola yang berakar dari munisipalisme libertarian.

Jika diperhadapkan antara dua pemikiran individu yang saling menghantam—anarkis dan nasionalis misalnya—maka bukan tidak mungkin akan timbul suatu pertanyaan kembali, “Bukankah anarkisme menolak segala bentuk otoritas yang di mana sebuah organisasi juga memiliki unsur otoritas yakni menciptakan pemimpin? Jika demikian, maka anarkisme menentang dasar pemikirannya sendiri, bukan?”

Menghadapi pertanyaan itu, saya meminjam penggalan tulisan Errico Malatesta dalam Anarkisme & Organisasi, “Jika ada anarkisme yang percaya bahwa organisasi menciptakan pemimpin; bahwa para anarkis tidak dapat berasosiasi dan bersepakat tanpa tunduk pada otoritas, ini berarti bahwa mereka belumlah anarkis yang baik, dan sebelum memikirkan bagaimana membangun masyarakat anarkis di dunia, mereka harus memikirkan cara yang membuat mereka dapat hidup secara anarkis.”

Baca juga:

Penggalan tulisan Malatesta tentu menusuk dan tidak dapat dimungkiri akan selalu melahirkan polemik di antara para pemikir anarkisme—khususnya anarkisme individualis. Namun, pada kenyataannya hanya dengan berasosiasi dan bersepakatlah kaum anarkis dapat hidup tanpa negara. Bagi mereka, satu-satunya jalan setelah melenyapkan negara-bangsa adalah membangun komunitas dan konfederalisme, kumpulan dari berbagai komunitas yang membentuk sistem jaringan swakelola berlandaskan munisipalisme libertarian.

Sekilas Tentang Munisipalisme Libertarian

Munisipalisme libertarian, teori politik yang dicetuskan oleh Murray Bookchin yang berfokus pada prinsip dan praktik demokrasi—identik dengan demokrasi langsung ala polis Yunani Kuno. Meskipun identik, munisipalisme libertarian tidak mengambil seluruh unsur yang ada dalam kerangka demokrasi langsung polis Yunani kuno. Karena kentalnya unsur budaya patriarki dan maraknya perbudakan di Yunani kuno pada masa kejayaannya itu, munisipalisme libertarian menghindari dua unsur itu dan hanya mengambil unsur-unsur yang positif.

Munisipalisme libertarian menyerukan sebuah demokrasi langsung (face to face) di mana setiap warga di dalam sebuah komunitas mempunyai hak untuk dengan bebas mengemukakan pendapatnya dan mengatur rapat secara reguler. Komunitas dalam munisipalisme libertarian inilah yang disebut sebagai munisipalitas (Janet Biehl, 2016). Logika kekuasaannya adalah dari bawah ke atas, yang mana artinya kebijakan dibentuk melalui penyerapan suara partisipan, lalu diputuskan oleh majelis warga (anggota majelis komunitas adalah warga komunitas yang dipilih secara demokratis; umumnya menggunakan sistem undian atau voting), dan diserahkan kepada delegasi (utusan komunitas, bukan wakil rakyat).

Baca juga:

Delegasi yang diutus oleh komunitas kemudian menyampaikan mandat yang telah diputuskan oleh majelis warga pada tingkat konfederasi; jaringan antar pelbagai komunitas yang terdesentralisasi. Bila mana delegasi yang diamanatkan tidak menyampaikan atau menyimpang dari mandat, mereka boleh dan harus diberhentikan atau ditarik kembali oleh komunitas (Ibid, 2016). Logika kekuasaan semacam ini tentu sangat bertentangan dengan logika kekuasaan umum di era kontemporer, di mana negara-negara republik menggunakan kekuatan demokrasi perwakilan sebagai alat untuk mengupayakan demokratisasi (Logika kekuasaan dari atas ke bawah).

Dalam munisipalisme libertarian, gagasan konvensional yang membicarakan negara dan sistem pemerintahan yang dianut oleh banyak negara di era kontemporer ini tidaklah dapat diterima karena tidak cukup demokratis. Struktur dominasi negara-negara republik yang mengharuskan kekuasaan didistribusikan secara tidak merata dan alat koersif seperti militer yang menjadi simbol kekerasan dan pembungkaman, membangun demokrasi menjadi hal yang mustahil (Ibid, 2016).

Munisipalisme libertarian menjadi teori politik yang digunakan oleh banyak para pemikir anarkisme organisasi karena tujuan utama dari munisipalisme libertarian adalah mengeliminasi negara-bangsa dan kapitalisme, serta berfokus pada keseimbangan antara kehidupan ekologi dan manusia (ekologi sosial) dengan mengupayakan demokrasi langsung (face to face) guna mewujudkan masyarakat ekologis yang lebih demokratis. Untuk dapat menjalankan prosesnya yang panjang, maka kaum anarkis membutuhkan sebuah konfederasi.

Konfederalisme Demokrasi

Konfederalisme ialah kumpulan dari pelbagai komunitas politik (munisipalitas) untuk menentukan arah dan tujuan yang telah disepakati bersama. Dalam konfederalisme demokrasi khususnya, secara sederhana dapat kita artikan sebagai sebuah kerangka sosial demokrasi tanpa negara, di mana proses pengambilan keputusan yang demokratis didasarkan atas kesepakatan kolektif yang bertumpu pada partisipasi sukarela (swakelola).

Prinsip luas organisasi politik dan sosial yang dapat melembagakan interdependensi (saling ketergantungan) tanpa melibatkan negara dan pada saat yang sama juga mempertahankan kuasa majelis munisipal adalah konfederalisme. Konfederasi akan melembagakan interdependensi antar komunitas yang sudah menjadi sifatnya, tanpa mencabutnya dari kebebasan dan kedaulatannya (Ibid, 2016).

Dalam sebuah konfederasi, majelis warga setiap komunitas akan mengirimkan delegasi untuk menyampaikan keputusan yang sudah diambil berdasarkan rapat majelis warga dan warga komunitas. Dalam hal ini, bisa dikatakan jika fungsi delegasi ialah menyampaikan suara komunitas pada tingkat konfederal.

Kumpulan dari delegasi terpilih disebut dalam munisipalisme libertarian sebagai dewan konfederal, di mana delegasi yang berkumpul dengan delegasi dari komunitas lain, akan mengkoordinasikan kebijakan yang telah diputuskan pada tingkat sebelumnya. Dewan konfederal tidak dapat mengambil keputusan atas kebijakan yang akan diambil berdasarkan haknya sendiri (pengambilan keputusan berdasarkan keinginan pribadi) karena mereka memiliki tanggung jawab kepada majelis yang telah mengamanatkan mereka sebagai agen. Menyalahi mandat yang ada konsekuensinya adalah dipanggil kembali ke majelis warga atau diberhentikan.

Dengan demikian, struktur konfederalisme demokrasi tidaklah dapat disamakan dengan struktur konfederasi klasik yang bergantung pada negara. Konfederalisme hanya bergantung pada masyarakat atau komunitas yang membuat kebijakan.

Polemik

Membicarakan munisipalisme libertarian dalam konteks anarkisme pastilah tidak dapat dipisahkan dengan kritik dan polemik yang menyangkal. Mungkin Errico Malatesta dapat menjawab kritik dan polemik yang ada, dan mungkin juga Abdullah Ocallan dari Rojava (wilayah non-negara) dapat mengatasinya dengan membuktikan langsung adanya sebuah wilayah non-negara, Rojava. Tetapi, baik dari kalangan anarkis maupun non-anarkis, kritik dan perbedaan pandangan terhadap munisipalisme libertarian akan selalu hadir.

Kritik dan perbedaan pandangan dari anarkisme individualis misalnya. Kepercayaan mereka terhadap penghapusan segala bentuk otoritas termasuk organisasi maupun konfederasi adalah hal yang mutlak. Lalu tentu ada pula dari kalangan realis dan konservatif yang menganggap negara sebagai alat untuk menertibkan tatanan sosial dan mengagungkan negara sebagai bentuk berkah untuk kemajuan peradaban manusia.

Semua kritik dan perbedaan pandangan tentu menciptakan polemik panjang. Kritik serta perbedaan pandangan itu tidak bisa ditolak bahkan diabaikan. Memang harus diakui, munisipalisme libertarian bukanlah bentuk sistem demokrasi yang sempurna, tetapi kita juga mesti mengakui pula bahwa munisipalisme libertarian telah mengenyahkan narasi-narasi distopia tentang kehidupan warga tanpa negara di era kontemporer ini (Di Rojava misalnya).

Kelemahan munisipalisme libertarian dalam sepengetahuan saya adalah kekuatan mayoritas dapat dilihat sebagai pemaksaan kehendak atas minoritas. Di mana akan selalu ada minoritas yang tidak sepakat terhadap kebijakan yang ditentukan oleh majelis warga dari hasil rapat bersama. Kelemahan ini ternyata dapat dijawab oleh munisipalisme libertarian. Memang mereka mengakui kalau ini adalah masalah yang selalu hadir dalam sistem demokrasi langsung.

Untuk mengatasi hal itu, maka akan muncul alternatif lain, yakni konsesus. Di mana hasil rapat tidak ditentukan oleh kekuatan mayoritas. Selama adanya pihak yang tidak sepakat, sekalipun itu hanya satu orang, keputusan tidak dapat diambil. Jalan satu-satunya untuk mencapai kesepakatan adalah semua warga yang berpartisipasi dalam rapat harus bersepakat seratus persen. Jika tidak? Ya keputusan tetap tidak dapat diambil oleh majelis warga.

Namun, seperti yang kita tahu, setiap ide maupun gagasan apapun itu yang tampak sempurna dan demokratis pasti akan tetap kembali menimbulkan polemik. Dalam soal mayoritas dan minoritas masyarakat munisipalisme libertarian, kecenderungan adanya manipulasi terhadap minoritas untuk dipaksa menyepakati sebuah kebijakan yang tidak disepakatinya adalah pasti selama dilakukan di luar pengawasan majelis warga.

Melihat hal itu, saya akan meminjam perkataan Abdullah Ocallan dalam Revolusi Perempuan Kehidupan Membebaskan, “konfederalisme demokrasi merupakan ekspresi etis, politik, dan administratif masyarakat sebagai struktur historis dan sosiologis di mana identitas, faksi, dan kelompok yang berbeda hidup berdampingan dalam harmoni dialektis.”

Dengan demikian, dalam munisipalisme libertarian sebuah perbedaan pemikiran yang menimbulkan ketidaksepakatan dilihat sebagai hal yang menguntungkan bagi sistem demokrasi langsung. Karena adanya dialektika yang terbentuk dari pertentangan antara dua kubu; sepakat dan tidak sepakat. Di mana hal itu dapat membentuk sebuah kultur masyarakat atau komunitas yang sehat secara politis dan berkeadilan.

Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka pertanyaan tentang dapatkah kaum anarkis hidup tanpa negara tidak lagi menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab bagi kaum anarkis (khususnya anarkisme organisasi). Karena pada kenyataannya, masyarakat yang hidup tanpa negara sudah terbukti ada di Rojava. Dalam konteks munisipalisme libertarian dan anarkisme, kita dapat menarik suatu kesimpulan mengenai betapa pentingnya solidaritas universal dan saling ketergantungan antar individu maupun masyarakat (bukan bergantung pada negara) sebagai upaya yang dapat melahirkan sebuah masyarakat yang benar-benar adil dan merdeka. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Abdullah Azzam Al Mujahid
Abdullah Azzam Al Mujahid Manusia biasa yang suka cokelat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email