A child abuse adalah bagian dari kekerasan yang menimpa anak berupa kekerasan mental, fisik, penyalahgunaan seksual, dan perdagangan yang dapat menimbulkan kerugian, serta dampak negatif bagi anak sebagai korban kekerasan. Berdasarkan data yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, diperoleh melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) menunjukkan bahwa ribuan anak di seluruh provinsi di Indonesia terpatri pernah mengalami tindakan kekerasan. Hal ini dilakukan melalui pencatatan dari bulan Januari hingga Agustus 2024 dengan jumlah korban sebanyak 15.267 anak. Kekerasaan yang terindentifikasi oleh SIMFONI-PPA seperti: kekerasan mental, fisik, eksploitasi, dan bentuk pemerasan terhadap anak.
Anak seringkali enggan mengadu kepada pihak yang memiliki otoritas perlindungan dikarenakan mereka dibayang-bayangi oleh tindakan kekerasan yang semakin intens dilakukan oleh orang tua maupun kerabat dekat jika mereka terbukti melakukan upaya pelaporan. Kekerasan anak yang dilakukan oleh pihak luar sering diawali oleh tindakan pemerasaan ataupun permasalahan yang dialami oleh orang tua sehingga menjadikan anak sebagai korban. Kehidupan anak semakin menderita ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi, pemenuhan sandang dan pangan, pendidikan dalam keluarga sebagai lingkup terkecil, serta kasih sayang yang seharusnya dapat diberikan oleh orang tua kepada anak.
Baca juga:
Kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orang tua maupun kerabat terdekat sulit teridentifikasi. Mereka seringkali menutupi kesalahan-kesalahan dan fakta yang sesungguhnya dikarenakan malu dan menganggapnya sebagai aib keluarga. Pihak-pihak terdekat juga mengalami kesulitan dalam melakukan pelaporan dikarenakan keterikatan hubungan darah, finansial, maupun adanya tekanan dari pihak-pihak yang melakukan kekerasan. Jika hal tersebut terus dilakukan, maka angka kekerasan anak semakin meningkat dan dapat menimbulkan luka batin yang mendalam, mempengaruhi kondisi mental, serta tumbuh kembang anak yang tidak progresif di masa mendatang.
Usia Menikah dengan Kekerasan Anak
Berdasarkan laporan yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik dengan kriteria kesejahteraan masyarakat 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan di negara Indonesia mengawali pernikahannya pada rentan usia 19-24 tahun. Pada tahun 2024 mengalami peningkatan sebesar 0,57% jika dibandingkan dengan tahun 2023. Perbandingan perempuan yang menikah di usia 19-24 tahun sebesar 49,58%. Sebanyak 25,08% wanita di Indonesia menikah pada usia 16-18 tahun. Sebanyak 8,16 % menikah di usia 10-15 tahun, serta 17,18 % wanita menikah di usia 25 tahun ke atas.
Angka tersebut mengidentifikasi bahwa pernikahan anak di usia dini lebih rendah jika dibandingkan dengan pernikahan anak di usia ideal yang mendekati angka 50 % dari total keseluruhan presentase. Usia ideal menikah tertuang dalam Undng-Undang Nomor 16 Tahun 2019 terkait dengan Perubahan UU 1/1974 mengenai usia menikah ideal bagi wanita dan pria minimal telah mencapai usia 19 tahun. Anak yang memasuki usia 19 tahun dianggap sudah berhak menikah dan dianggap dewasa. Akan tetapi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memberi batasan menikah bagi laki-laki yang sudah berusia 25 tahun dan wanita dengan usia minimal 21 tahun.
Meskipun kesiapan menikah dan memiliki anak tidak berpatokan dengan angka ataupun usia, namun usia yang sudah berkepala 2 dianggap memiliki kesanggupan finansial untuk memenuhi kebutuhan anak. Pernikahan di usia ideal tidak menjamin tidak terjadinya kekerasan terhadap anak. Keluarganya yang lahir dari pasangan yang belum selesai dengan kehidupan masa lalunya berpotensi mengalami tindakan kekerasan. Misalnya, seorang wanita atau lelaki yang sering dijadikan pelampiasan oleh ayah atau ibunya sewaktu kecil ketika sedang bertengkar, sedang ia belum bisa memaafkan luka yang terjadi di masa lampau. Maka, kemungkinan besar ia akan melakukan tindakan kekerasan yang sama kepada anaknya kelak.
Hal itu yang menyebabkan kekerasan pada anak sulit untuk diselesaikan karena pihak yang melakukannya berada sangat dekat dengan korban. Secara psikis, kondisi mental orang tua membutuhkan tenaga profesional untuk memberikan intervensi psikologis. Namun di satu sisi, mereka harus merawat anaknya dan memberikan kasih sayang kepadanya. Secara sadar maupun tidak, jika kondisi mentalnya sedang benar-benar rapuh dan terganggu, maka anak berpotensi menjadi korban kekerasan. Luka batin di masa lalu memang sulit untuk diselesaikan apabila pihak yang merasakannya belum cukup merasa damai dan tenang untuk memaafkan. Namun, sebagai calon orang tua, menyembuhkan luka batin terlebih dahulu sebelum memilih pasangan merupakan pilihan yang tepat. Hal itu, dapat dilakukan guna memutus angka kekerasan terhadap anak dan dapat memilih pasangan hidup yang sesuai agar dapat melahirkan generasi-generasi yang cemerlang dan menghapus luka batin yang dapat mencederainya.
Baca juga:
Kelahiran Anak di Luar Nikah
Kelahiran anak di luar nikah juga dianggap sebagai pemicu kekerasan terhadap anak. Perempuan ataupun lelaki yang belum memiliki kesanggupan untuk mengurus dan membesarkan anak berpotensi melakukan kekerasan. Oleh sebab itu, idealnya sejak dini anak mulai ditanamkan pendidikan seksual dengan tujuan agar ke depannya mengetahui cara bergaul yang tepat dengan sesama jenis maupun lawan jenis dan mengetahui batasan-batasan yang semestinya dilakukan agar kehamilan diluar nikah dapat diantisipasi.
Jika kehamilan anak di luar nikah sudah terjadi sedangkan secara mental dan finansial mereka belum siap, maka penelantaran, kekerasan, aborsi, menitipkan anak ke panti asuhan, dan menjual anak seringkali dianggap sebagai jalan pintas. Hal tersebut mengakibatkan, nasab anak dianggap tidak jelas karena dilahirkan dari orang tua tanpa ikatan pernikahan, dan bahkan ‘dibuang’ (tidak diakui) oleh orang tuanya sendiri. (*)
Editor: Kukuh Basuki