Ada dua alasan mengapa seseorang atau sekelompok orang mengungsi. Pertama, karena bencana alam. Kedua, karena bencana sosial.
Yang pertama cukup mudah untuk dibayangkan. Misalnya, di suatu daerah perbukitan yang batuan dasarnya tersusun dari kapur mengalami amblasan tanah akibat diterjang hujan deras selama berhari-hari. Perkampungan yang berderet di lereng bukit itu runtuh, rumah hancur, harta benda lenyap, sebagian orang mati terkubur. Sisanya, yang tidak terjebak longsoran tanah, mesti pergi ke tempat lain—khawatir tanah yang mereka pijak akan kembali amblas.
Yang kedua, yakni bencana sosial, bisa kita ambil contoh sekelompok teroris yang memasang bom waktu di suatu daerah. Motif seorang teroris bukanlah membunuh, melainkan menebar ketakutan, teror, dan membuat orang-orang panik atau tercerai-berai. Bila pada akhirnya ada korban jiwa dari bom waktu itu, maka itu hanyalah “pemanis”.
Bencana sosial yang lain seperti perang antarnegara atau antarkelompok sama-sama menebar teror yang membuat suatu wilayah menjadi tidak aman dan tidak menenangkan. Mau tidak mau, orang-orang yang ingin hidupnya aman harus pergi, dengan kata lain mengungsi.
Baca juga:
Ketika berbicara mengenai pengungsian, saya ingin membincangkan isu ini melalui buku puisi berjudul Suara dari Pengungsian karya Nissa Rengganis. Buku ini diterbitkan pada tahun 2022 dengan tema yang menukik pada perbincangan mengenai pengungsian dan dimensi lain yang berkelindan di antaranya. Meski Suara dari Pengungsian merupakan buku puisi, ia juga memuat banyak potret para pengungsi—yang juga mengingatkan saya pada bentuk buku puisi Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail. Di sana, kita disuguhkan berbagai potret mengenai aksi demonstrasi mahasiswa melawan otokrasi rezim Soeharto.
Berangkat dari itu, saya hendak menyebut Suara dari Pengungsian sebagai album foto. Sekurang-kurangnya, dalam buku ini ada dua jenis foto: (1) foto berbentuk gambar dan (2) foto berbentuk teks, tepatnya puisi. Keduanya sama-sama menyajikan peristiwa tertentu, yang abstrak maupun yang konkret—dan, tentu saja, emosional. Penulis sendiri kadang menjadi mata subjek yang memandang suatu peristiwa, tetapi dalam konteks, ruang, dan waktu yang lain ia melebur menjadi bagian dari peristiwa yang ia potret.
Duka tersimpan
Pada puing-puing yang diruntuhkan
(Dari baris sajak Byblos, hal. 4)
Ada yang abstrak, tetapi diperlakukan seolah-seolah konkret. “Duka disimpan” seolah-olah duka adalah sandal, suatu benda yang dapat dipindahkan. Ada pula yang konkret, yang menubuh seperti “puing-puing yang diruntuhkan”. Bangunan-bangunan fisik diluluh-lantakkan dengan sengaja karena berbagai alasan atau kepentingan—atau, dengan kata lain, syahwat yang destruktif.
Puing-puing di sini merupakan sisa kampung halaman, ruang bermain, tempat yang bersejarah, yang membuat penduduknya kehilangan rumah dengan tangis atau amarah. Permusuhan antara yang-menghancurkan dan yang-dihancurkan menjelanak ke atmosfer yang dipenuhi jelaga. Dalam lanskap semacam itu, orang-orang yang dihancurkan pergi, mencari rumah baru, suaka, dengan panduan harapan yang redup-nyala. Namun:
Tak ada lagi yang tersisa
Hanya jejak-jejak kaki
Tertinggal di pasir menuju hutan lebat
Menuju tempat yang tak punya alamat.
(Dari baris sajak Ishmael Beah, hal. 9)
Kebingungan, derita, pengasingan menjadi denyut nadi bagi mereka yang kehilangan rumah dan membuat mereka menjadi makhluk baru nan menyedihkan bernama “pengungsi”. Ketakutan dan harapan berkelebat dalam pandangan yang kosong ketika kaki-kaki mereka melangkah ke antah berantah. Dalam waktu yang sama, orang-orang di belahan bumi lain, yang relatif lebih “manusiawi”, berlomba-lomba menyampaikan simpati yang kering. Penulis menyampaikan semacam sinisme.
Kau masih terus berdebat
Terjebak pada slogan-slogan dan tagar #savepalestina
sembari menikmati pasta
di depan sofa dan bersiap ke pesta.
(Dari baris sajak Apa Kabar Palestina, hal. 46)
Dalam keterlunta-luntaan, para pengungsi melarat, memeras perutnya sendiri untuk melerai rasa lapar yang garang. Sebagian mungkin bisa bertahan, sebagian lain mati, dan sebagian lagi menjadi martir. Lantas, Negara (dengan N besar) berdiri sebagai juru catat—dan bukan juru selamat—bagi kematian-kematian mereka. Kematian direduksi sebagai angka-angka statistik yang dingin.
Atas nama Negara
kematian hanya angka-angka
di Sidang Paripurna.
(Dari baris sajak Atas Nama Negara, hal. 49)
Apabila kita merenungkan baris sajak di atas, kita boleh jadi tersadarkan kembali bahwa sudah sejak lama, nyawa manusia hanya sebatas angka-angka yang dicatat dalam laporan. Penulis kemudian menggerutu—mengenai renungan yang barangkali klise tetapi kekal—mengenai kesetaraan (kemanusiaan).
Kita memandang jendela yang sama
entah mengapa
nasib kita begitu berbeda.
(Dari baris sajak Memandang Jendela yang Sama, hal. 57)
Dalam keadaan genting, seperti halnya ketika kita tergulung dalam pandemic, dunia-pengalaman terdigitalisasi. Omong kosong memang tidak lagi bertebaran di koran atau majalah cetak, melainkan di media sosial dan program-program lunak—yang sebagian besar berkemungkinan tinggi tidak terlalu berguna.
Tuhan, kami lapar
Negara hanya menyediakan webinar.
(Dari baris sajak Waktu pun Terhenti, hal. 36)
Webinar tak memberi apa-apa kecuali harapan dan secuil kisi-kisi teknis. Seolah-olah, kemiskinan dan derita dapat reda sekadar dengan beberapa sesi tatap layar dalam aplikasi meeting.
Secanggih apa pun zaman, atau bahkan justru karena ia semakin canggih, konflik identitas tak pernah reda dan cenderung semakin eksklusif. Amin Maalouf menyatakan bahwa identitas yang bertautan sedemikian kompleks itu merupakan hal yang sensitif, dan sensitivitas identitas, misalnya, identitas keagamaan, tidak lebih reaktif daripada identitas kebahasaan.
Kesedihan adalah kami
Diungsikan puisi
Diasingkan bahasa dan kata-kata.
(Dari baris sajak Suara dari Pengungsian, hal. 79)
Buku ini lantas secara tersirat menyampaikan dikotomi bangsa, semacam “exile and the kingdom”, yang membelah dunia mereka dengan pagar kawat berduri. Konflik identitas yang melahirkan peperangan, pengasingan, dan penindasan, pada akhirnya cenderung menciptakan akhir yang ambigu—yang bisa membingungkan begitu banyak orang.
Bagaimana aku harus akhiri bait puisi ini—
Kau pergi juga
Hujan belum reda:
Aku tersesat di lengang-lengang ingatan.
(Dari baris sajak Perpisahan, hal. 79)
Secara substansi, konflik identitas ini merupakan sesuatu yang kompleks, atau rumit, dan nyaris membuat putus asa bagi mereka yang memiliki kadar kemanusiaan yang memadai. Namun, bagi siapa pun yang hidup secara mekanis dalam ruang-ruang birokrasi, agaknya persoalan ini tidaklah bersifat kualitatif, melainkan kuantitatif—yakni berhubungan dengan data-data yang kering. Diksusi mengenai kemanusiaan barangkali dicukupkan dengan beberapa lembar dokumen dan program yang memerlukan waktu. Sementara dalam waktu bersamaan, nyawa-nyawa ditanggalkan dari tanah yang tandus akan cinta.
Dalam setiap diskursus mengenai penindasan umat manusia dalam relung-relung birokrasi yang rigid, kita mungkin akan cukup akrab dengan penutupan akhir yang ironis: Laporan selesai (dari baris sajak Laporan, hal. 5).
Editor: Emma Amelia
Apakah ada respon atau tanggapan dari pembaca atau masyarakat terhadap sajak “Pengungsi”, dan apakah artikel ini memasukkan perspektif tersebut? Regard Telkom University