Di Prosenium
malam itu, degup jantung
menyemai sekujur pintu,
tempat duduk penuh
raut muka mengucur peluh.
karibku menanti Saavedra
lakon di luar cerita, sedang si majnun
masih bermimpi tentang Dulcinea.
nasib memang pasi,
pengarang tak kehendaki.
dan ponsel diam,
tak ada geming selain udara
“penonton gigir kaku,
lutut yang getar beku”
lighting berbicara
dengan warna-warna yang tajam
setajam kata, mampu menulis
mulut yang tak diam.
pentas dimulai: penonton takut,
bersungai.
tetapi lakon yang terakhir gamang
siapa sang sutradara? fiksikah Dulcinea?
Cervantes atau si Hamid,
tak ada yang tahu, sebab ini
bukan La Mancha.
pikiran si majnun rimpang,
ketika naskah telah mati.
ia ubah takdirnya sendiri,
membuatnya kian nir-wibawa,
tetapi penonton menyukainya
sebab tindak Alonso pada akhirnya
menyemai bunga, di pintu-pintu
di tempat duduk tetamu.
(25 September 2023)
–
)V(
aku pun tak tahu, musti
kuberi apa asma ini. seperti Dulcinea
ia tak perlu isi, ia cukup dipegang
sebagai mula, sebagai panutan.
(05 Oktober 2023)
–
Kuliah Kurikulum
datang, hadang
panas dengan daun gerbong,
di mana langkah pertama
menjadi musabab bening pikiran
: kosong
dan ketika sabda ditutur,
tak barang satupun diukur, sebab
memang tidak bisa, sebab harga
tulisan, konon kata beliau mahal.
tetapi kita tidak mengerti,
tetapi kita sulit memahami.
ayo pikir, katamu.
namun kepala kami panas api
yang melintang sebuah perahan
bahwa pertemuan ini:
mesti lekas. mesti awas.
dan telah kami cari:
mana jalan yang kau susuri waktu itu,
yang konon katamu, membikin hati
semakin gaduh. serapah yang
paling aduh. tetapi mana?
seperti kata Derrida, setiap ilmu
pasti punya jejak yang akibatkan
timbulnya pengetahuan baru
sebab intertekstual.
tapi tak ada.
dan ketika engkau beri sedikit celah
“rupanya jalan itu tak lain
kausimpan sendiri! dan kaupotong
urat sabar serta lapang nadi kami
seketika itu juga.”
(03 Oktober 2023)
–
Sesudah Ajal
ajal adalah mimpi;
belum dimulai
belum selesai
/1/
angin masih bingung,
mana yang radio
di stasiun pemancar,
suara yang majal.
tetapi jiwa selalu terkait
pada tiang listrik.
setiap alirannya
ada mani lengkap nyawa.
/2/
sebermula adalah:_____
lalu kata merangkainya
menjadi garis kesepakatan,
demarkasi antara
“sengketa uang dan lahan”
bila gang selalu pedestrian,
akan ada kata yang terpecah
menjadi alfabet yang hilang arah
di saat gerimis menyapa langkan
: maka peluklah itu,
satu-satu
sebab tanpanya
remaja kehilangan eja
untuk menabur cinta.
/3/
lalu ketika sore berhasil dicinta
dielus-elus phallus yang baka,
sering-seringlah tidur
sebab pagi hanyalah pagi,
mereka sudah tahu arti.
maka mimpilah tuju
tempat jiwa mencari yang baru.
mimpi ditegakkan,
tanda ajal merupa belum:
ia tertunda ―
belum dimulai
belum selesai;
di perbatasan.
(24 September 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA
Bagaimana penulis menggambarkan puisi “Di Prosenium” dalam artikel ini, dan apa yang menurut penulis membuat puisi tersebut istimewa? Visit us Telkom University