Pengungsi dan Paradoks HAM: Kritik Arendt dan Agamben

Andi Muliastuti

3 min read

‘Suddenly, there was no place on earth where migrants could go without the severest restrictions, no country where they would be assimilated, no territory where they could found a new community of their own’ – Hannah Arendt

Universalitas Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 justru menghadirkan tantangan dalam memandang kedaulatan, kekuasaan, dan kewarganegaraan. Hak bukan lagi sesuatu yang melekat pada diri manusia sebagai makhluk yang luhur, sakral, dan setara namun tak lebih hanya sebagai eksistensi lahiriah. Kondisi ini tergambarkan dengan jelas dalam fenomena krisis kemanusiaan, seperti terjadinya gelombang pengungsi secara besar-besaran.

Status pengungsi baik sebagai manusia maupun warga negara (bagian dari sebuah komunitas politik) dalam kerangka negara-bangsa menjadi sebuah persoalan pelik mengingat konsepsi HAM hari ini telah menjadi nilai yang diterima netralitas dan universalitasnya namun sangat jarang untuk dipertanyakan bagaimana HAM bisa kompatibel dengan konsep negara-bangsa dan kedaulatan.

Arendt dalam tulisannya The Origins of Totalitarianism menyebutkan bahwa hubungan antara konsep hak dan konsep negara-bangsa ada pada proses peleburan hidup-alamiah (zoe) ke dalam tatanan politik sebagai pondasi kedaulatan negara-bangsa (bios: hidup-politis). Sedangkan Agamben dalam tulisannya Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life lebih jauh menekankan pada asumsi bahwa tatanan demokrasi merupakan kontinuitas dari tatanan totaliter dengan menggunakan analogi ‘kamp’, di mana setiap orang berada dalam status homo-sacer; orang-orang yang tidak memiliki identitas politik sehingga selalu terpapar kekerasan tanpa mediasi hukum. Berangkat dari pandangan Arendt, Agamben mengeksloprasi persoalan HAM dengan fokus pada nasib pengungsi. Keduanya secara konsisten mempersoalkan paradoks HAM dan kedaulatan negara-bangsa.

Konflik berkepanjangan di sejumlah negara mengakibatkan orang-orang harus terpaksa meniggalkan rumah, tanah kelahiran, dan negaranya untuk kemudian mencari perlidungan di tempat lain. Menurut Arendt, berdasarkan konvensi internasional tentang HAM yang telah dirumuskan berbagai negara dan lembaga internasional, para pengungsi semestinya berstatus sama dengan semua orang dan memiliki hak sebagai manusia par excellence.

Namun kenyataannya tidak demikian, pengungsi kehilangan kualifikasi sebagai manusia yang memilki hak dan kebebasan. Hal ini merupakan konsekuensi dari konsep kewarganegaraan yang didasarkan pada dua kriteria yang ada sejak era Romawi yaitu prinsip lahir di teritori tertentu (ius soli) dan lahir dari keturunan asli (ius sanguinis), dengan kata lain kewarganegaraan tidak lain hanya menjadi ihwal biologis (lahiriah). Bagi Arendt, persoalan siapa/apa yang menjadi subjek Hak Asasi Manusia (HAM) serta hak-hak sipil yang diberikan oleh otoritas hanyalah merupakan artefak politik sehingga tidak dapat ditransfer ke dalam dimensi biologis.

Agamben menambahkan bahwa hak-hak yang didasarkan pada kriteria biologis tidak memiliki perlindungan serta kehilangan dimensi moralnya. Dalam hal ini, pengungsi kemudian menjadi yang paling rentan mengalami penelantaran atas hak-hak yang mereka miliki sebagai manusia yang luhur dan setara (Arendt, 1962).

HAM sebagai Atribut Kewarganegaraan

Nasib para pengungsi ini, menurut Arendt, menunjukkan bahwa HAM sebagai hak yang tidak terhapuskan untuk semua manusia ternyata tidak berfungsi di luar komunitas politiknya atau dengan kata lain di luar konteks negara-bangsa. Di luar konteks tersebut, HAM menjadi sesuatu yang abstrak. Melalui pendekatan biopolitik, Agamben memandang sejumlah deklarasi tentang Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa manusia yang dimaksudkan bukanlah merujuk pada subjek yang bebas dan otonom, melainkan manusia semata-mata sebagai eksistensi lahiriah.

Di sinilah proses transisi dari manusia sebagai subjek menuju manusia sebagai warga negara terjadi. Dalam status warga negara, gambaran tentang hak sebagai sesuatu yang melekat dan inheren dalam diri manusia digantikan oleh gambaran tentang hak sebagai sesuatu yang diatribusikan atau diberikan negara kepada warga-negara. Manusia di sini tidak diperlakukan sebagai satuan-satuan yang otonom, tetapi sebagai kumpulan yang disebut bangsa.

Menurut Agamben, HAM yang dioperasionalisasikan dalam kerangka negara-bangsa dan prinsip kedaulatan tidak lebih hanya sebagai jaminan normatif dan sebagai atribut institusional yang melekat pada warga-negara sebagai bagian dari komunitas politik. Sementara pengungsi menjadi entitas tanpa status warga-negara atau keanggotaan dari komunitas politik tertentu sehingga mereka pun tidak memiliki legitimasi atas hak dan perlindungan hukum dari otoritas mana pun. Hal ini merupakan personifikasi dari apa yang disebut oleh Arendt dan Agamben sebagai ‘bare-life’ atau hidup-telanjang yang terinklusi dalam tatanan melalui proses eksklusi, dengan kata lain menjadi bagian dari kemanusiaan melalui kategori ‘bukan bagian’. Sehingga dari perspektif ini, HAM tidak menjadi sesuatu yang universal melainkan hanya menjadi atribut/properti kewarganegaraan (Agamben, 1998).

Para pengungsi yang ditempatkan dalam sebuah kamp konsentrasi kemudian menghadapi situasi serius yaitu mereka distigmatisasi sebagai pendatang baru dan orang asing. Karena itu, orang yang tidak memiliki kewarganegaraan sering dianggap sebagai orang asing dan pada saat yang sama, melihat diri mereka sebagai orang asing. Kondisi ini terkadang diatasi melalui proses asimilasi paksa,  yang sekaligus membuat para pengungsi mengalami diskriminasi berkepanjangan. Para pengungsi terasimilasi dalam masyarakat sebagai warga pinggiran atau kelas kedua, mereka terserap sekaligus terpinggirkan dalam tatanan.

Pelembagaan HAM dalam konteks negara-bangsa menurut Agamben telah berkontribusi pada munculnya masalah kekerasan sejak awal perumusannya. Tidak ada kemungkinan untuk memperbaiki atau mendefinisikan ulang HAM. Yang perlu dilakukan adalah mewujudkan hidup tanpa konsep HAM atau berpikir di luar kerangka HAM guna melepaskan hidup dari cengkraman kekerasan-berdaulat (sovereignty of nation-state). Seperti yang telah dijelaskan, universalitas HAM yang memuat prinisp kesamaan dan kesetaraan di depan hukum tidak berlaku untuk para pengungsi dengan status atau kriteria yang disebut Agamben sebagai Homo Sacer. Berdasarkan ini Agamben juga merujuk pada fakta-fakta bahwa terdapat eksistensi hidup yang terpinggirkan, tertindas, dan terkecualikan dalam penyelenggaraan hukum dewasa ini, selain pengungsi juga diataranya adalah pasien koma permanen, kaum homoseksual, gelandangan, dll.

Melalui pendekatan biopolitik yang diajukan oleh Agamben yang juga berangkat dari tesis Arendt tentang penelantaran hidup-telanjang (bare-life), fenomena krisis pengungsi yang sejak lama telah menjadi isu kemanusian dalam studi Ilmu Hubungan Internasional dapat dilihat lebih jauh kaitannya dengan konsep negara-bangsa dan kedaulatan, serta pelembagaan HAM. Baik Arendt maupun Agamben memandang bahwa HAM yang selama ini menjadi metanarasi dan nilai universal tak lebih hanya menjadi sesuatu yang paradoksal di tengah bayang-bayang sistem negara-bangsa.

Andi Muliastuti

One Reply to “Pengungsi dan Paradoks HAM: Kritik Arendt dan Agamben”

  1. Halo Mba Andi. Saya sangat terpukau dengan tulisannya. Sekaligus memicu banyak pertanyaan di kepala saya soal konsepsi HAM lewat tulisan ini. Saya mempunyai kanal kecil kecilan @skenaham di Instagram, apabila berkenan, saya ingin mengundang Mba Andi untuk berdiskusi lebih lanjut terkait tulisan ini.

    Terima kasih Mba. Sehat Selalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email