Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

As Long as the Lemon Trees Grow: Potret Mengerikan Perang Suriah

Nabilla Anasty Fahzaria

4 min read

Sudah lebih dari satu dekade Suriah bagaikan film Avengers: Infinity War. Perang saudara di Suriah begitu mengerikan dengan peran berbagai aktor internasional seperti Amerika Serikat hingga Rusia. Perang ini memprovokasi krisis kemanusiaan dan menimbulkan gelombang protes, demonstrasi, hingga pemberontakan. Meski kini pemberitaan terkait Suriah di media massa sudah jauh berkurang, bukan berarti perang sudah berakhir.

Di tengah perang saudara Suriah yang menjadi sorotan dunia, seorang perempuan muda asal Suriah yang kini menetap di Swiss, Zoulfa Katouh, menerbitkan novel pertamanya berjudul As Long as the Lemon Trees Grow. Novel ini sudah diterjemahkan ke lebih dari 19 bahasa, termasuk bahasa Indonesia yang digawangi penerbit Mizan Pustaka. Novel ini berhasil merepresentasikan kengerian perang saudara Suriah kepada pembaca muda di seluruh dunia.

Novel ini berkisah tentang sosok Salama Kassab, mahasiswa farmasi yang pendidikannya terhenti akibat konflik di Suriah, tepatnya di Kota Tua Homs. Ayah dan kakak laki-lakinya, Hamza, diculik tentara saat berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Ibunya meninggal akibat serangan bom yang meluluhlantakkan tempat tinggal mereka. Kini Salama hanya berupaya keras untuk menjaga Layla, kakak ipar sekaligus satu-satunya anggota keluarga yang tersisa dan tengah hamil besar.

Salama menghabiskan waktu sebagai sukarelawan di rumah sakit untuk membantu Dr. Ziad mengobati para korban yang bergelimpangan setiap harinya. Di rumah sakit pula Salama berjumpa dengan Kenan, seorang pria yang bersikeras untuk tetap membela tanah air mereka. Cepat atau lambat, Salama harus terus membuka mata tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Perempuan itu menangisi kebebasan Suriah sembari memimpikan untuk meninggalkannya demi dapat melanjutkan hidup aman.

Baca juga:

Perang atau Revolusi?

Uniknya, Katouh menekankan berkali-kali dalam novel bahwa yang ia bahas bukanlah perang, tetapi revolusi atau yang dikenal sebagai The Arab Spring. The Arab Spring merupakan gelombang demonstrasi di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara yang ditandai dengan demonstrasi, kerusuhan, dan protes sehingga menimbulkan berbagai serangan yang menjatuhkan korban jiwa yang tidak terhingga. Bahkan The Arab Spring juga memanfaatkan media sosial untuk melakukan kampanye dan sering kali ditanggapi keras oleh pihak berwajib.

Selama ini media massa selalu membingkai Perang Suriah sebagai perang saudara antara para pendukung Presiden Bashar al-Assad dengan Tentara Pembebasan Suriah. Namun, Katouh konsisten bahwa yang dihadapi ini merupakan revolusi, dan tidak ada kepastian kapan ini semua akan berakhir. Siapa pun akan mati, bahkan bayi yang baru lahir.

“You see the military beating people up in the streets, dragging them away and murdering them, and you see your kid siblings trying to warm themselves at night, and you think it can’t get any worse. But this, Salama, this is where hope dies. The fact they don’t know what’s going on because how could they? They’re babies. They’re just babies.”

Dalam situasi perang, Salama menggambarkan bagaimana penduduk Suriah harus menghadapi perasaan tidak tenang dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Bom bisa berjatuhan kapan saja, penembak jitu bisa menembak siapa saja yang lewat, dan tidak pernah tahu apakah orang-orang yang mereka temui hari itu apakah masih akan hidup keesokan harinya.

Di suatu bab, Katouh bahkan menceritakan hiruk-pikuk korban berjatuhan di rumah sakit tempat Salama bekerja akibat keracunan senjata kimia. Seperti yang pernah dikemukakan BBC Indonesia, setidaknya sudah terjadi 106 serangan senjata kimia yang berlangsung sejak bulan September 2013 di Suriah.

Dalam suasana perang, rasa ketidakpercayaan kepada negaranya sendiri muncul dalam benak Salama. Namun, Kenan berupaya mengubah sudut pandang Salama tentang suatu negara. Pesan ini sangat jelas dan sering kali berujung pada perasaan keras kepala. Salama pun meredam ego Kenan dengan mengingatkan bahwa berjuang untuk negara tidak hanya dapat dilakukan di dalam negeri.

“No country in the world will love you as yours does.”

Revolusi ini erat kaitannya dengan kekerasan militer yang sistematis. Di saat media massa mengonstruksi masyarakat Suriah sebagai kaum tidak berdaya, Katouh bertindak sebaliknya. Ia ingin menampilkan pola pikir masyarakat Suriah yang berdaya dan berjuang demi negara yang mereka cintai.

“The world is not sweet or kind. The ones outside are waiting to eat us and pick their teeth with our bones. That’s what they’ll do to your siblings. So we do everything to make sure we and our loved ones survive. Whatever it takes.”

Kesehatan Mental Korban Perang

Suara bom, keramaian, kericuhan, dan kehilangan menjadi faktor utama para korban perang terganggu kesehatan mentalnya. Menurut analisis UNHCR tahun 2023, prevalensi kondisi kesehatan pengungsi perang di Afghanistan, Iraq, Sudan, dan Suriah cukup tinggi. Satu dari sepuluh orang korban perang diperkirakan hidup dengan kondisi kesehatan mental ringan hingga sedang, sementara satu dari 30 pengungsi menderita kondisi kesehatan mental lebih parah yang disebabkan paparan konflik berkepanjangan.

Selain kematian dan rasa frustrasi, pengungsi juga menemukan tantangan lain ketika mengungsi di negara lain. Mereka harus menata kembali kehidupan di luar negeri, belajar bahasa baru, dan menavigasi hidup mereka yang terasa tidak familiar. Hal ini juga menjadi alasan masuk akal mengapa kesehatan mental pengungsi perang terganggu.

Baca juga:

Kesehatan mental juga direpresentasikan melalui karakter Salama yang kerap kali berhalusinasi. Kedukaan mendalam akibat kematian anggota keluarga yang dialaminya membuat Salama rapuh. Katouh mengilustrasikan halusinasinya tersebut melalui sosok pria bernama Khawf. Khawf merupakan seorang pria berwatak dingin dan intimidatif. Ia muncul bagai hantu dalam hidup Salama.

Tak hanya Khawf, kesehatan mental yang terganggu juga ditunjukkan dari karakter Yusuf, adik Kenan yang tidak mampu untuk berbicara setelah sesuatu yang mengejutkan menimpa keluarganya. Trauma psikologis ini juga sangat mungkin dialami oleh korban perang.

Representasi Remaja Muslim

Salama dan Kenan adalah dua remaja yang sama-sama menjadi korban perang di Suriah. Salama kehilangan seluruh keluarganya sementara Kenan harus menjaga kedua adiknya. Lalu Salama dan Kenan berjumpa dan perasaan cinta di antaranya keduanya tumbuh. Seperti remaja jatuh cinta pada umumnya, keduanya nampak malu-malu.

“He’s…honest. With everything. His thoughts, his expressions. He’s kind. It’s a rare kindness, Layla. I’m sure he still dreams. Maybe he’s the only one who still dreams. Maybe he’s the only one in the whole city who still dreams at night. And when he looks at me, I feel…I feel like I’m being seen, and there is…there is a tiny bit of hope.”

Katouh menggambarkan sosok Salama yang menghormati hijabnya dan aurat perempuan dalam detail-detail narasinya. Lebih jauh lagi, ia juga turut menampilkan bagaimana kehidupan keduanya dipasrahkan kepada Tuhan. Mereka berdoa, membaca Al-Quran, dan banyak pemikiran-pemikiran Islami yang ditampilkan dalam novel. Entah mengapa, narasinya terkesan powerful.

Dalam novel ini, Katouh ingin memberi pesan nasionalisme dan kecintaan kepada tanah air. Penulis ingin memberitahu bahwa harapan akan selalu ada dan keteguhan hati akan memberi alasan setiap orang untuk terus maju bahkan ketika dunia terlihat begitu suram. Setelah membaca ini pula, saya menjadi paham kenapa novel ini dicari oleh berbagai kalangan. Bisa dikatakan bahwa novel ini masuk ke dalam kategori novel teenlit yang dikemas dengan cara paling berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Penulisnya merupakan perempuan, masih muda, dan memiliki misi politik yang jelas.

 

Editor: Prihandini N

Nabilla Anasty Fahzaria
Nabilla Anasty Fahzaria Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email