Bergiat di Komunitas Tjirebon Book Club. Pernah menjadi Editor di salah satu penerbit. Saat ini menjadi pengajar.

Kerangkeng Identitas Imigran di Tanah Suaka

Saefudin Muhamad

4 min read

Tahun 1975, Saigon terpuruk dan jatuh. Radio Angkatan Bersenjata memutar White Christmas dari Irving Berlin sebagai kode untuk memulai Operasi Frequent Wind. Evakuasi terakhir warga sipil Amerika dan pengungsi Vietnam dengan helikopter dilangsungkan.

Perang pun berakhir. Tentara Rakyat Vietnam dari Vietnam Utara dengan tergesa-gesa mengambilalih wilayah lawannya, Vietnam Selatan. Seketika kepanikan rakyat menyeruak. Segala macam trauma mulai merekah, mencabik-cabik, dan mengusir bersama dengan raungan sirine dan mortir. Pada titik inilah, proses migrasi meluap membawa potongan-potongan ingatan tentang bom, artileri, dan letusan senapan.

Baca juga:

Tahun 1990, Ocean Vuong adalah satu dari sekian banyak anak kecil yang mesti menanggalkan (atau bahkan mengabaikan) identitasnya sebagai warga Vietnam untuk menjadi warga negara Amerika Serikat. Peristiwa kompleks itu merupakan awal mula dirinya tumbuh dengan pergulatan identitas diri. Dari situ, angan-angan sebagai subyek tubuh-imigran mulai menjerit, melengking, dan menukik dalam novel kilas balik masa kecilnya, On Earth We’re Briefly Gorgeous.

On Earth We’re Briefly Gorgeous (2019) merupakan novel pertama Ocean Vuong. Namun, sebelum menulis novel itu, Vuong sudah terkenal sebagai penyair yang produktif. Salah satu buku kumpulan puisinya, Night Sky with Exit Wounds (2016), memenangkan The Whiting Award dan T.S. Eliot Prize. Selain itu, ia juga menulis buku puisi Burnings (2010), dan Time is a Mother (2022). Tulisan-tulisan lainnya dimuat di The Atlantic, Harper’s, The Nation, New Republic, The New Yorker, dan The New York Times.

Saya membaca On Earth We’re Briefly Gorgeous yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Tanti Lesmana dengan judul Di Semesta Ini Kita Pernah Gemilang (2021) yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama tanpa mengurangi tekstur kepuitikan yang sangat emosional dari teks berbahasa aslinya.

Kepuitikan yang sangat emosional dalam novel ini tidak lepas dari perjalanan mengingat tentang apa yang terjadi di Vietnam saat perang dan pengalaman Ocean Vuong sebagai seorang imigran. Terlebih, On Earth We’re Briefly Gorgeous memang terbentuk dari potongan-potongan ingatan yang kalut dan gentar. Secara struktural, novel ini ditulis dalam bentuk epistolary layaknya setumpuk surat dengan wujud dokumen-dokumen trauma perang yang menjalin serangkaian kisah panjang: rekam jejak (semi otobiografi) seorang imigran yang membeberkan krisis identitas, keterbatasan bahasa, dan kesadaran menolak kalah menjadi budak imajiner sosial-kultural.

Ocean Vuong memusatkan cerita pada satu narator (gambaran personalitas dirinya) yang seolah-olah sedang menulis surat untuk ibunya sendiri. Vuong menyadari hal itu sebagai kilasan-kilasan masa kecil dirinya yang tumbuh sebagai seorang minoritas ganda.

Jeritan tokoh utama sekaligus seorang imigran dalam novel ini juga terdengar nyaring. Sebab, Vuong menulis surat-surat (sebagai perwujudan lain dari novel tersebut) yang ditujukan kepada ibunya yang ternyata buta aksara. Keterbatasan ini membuat Vuong membuka novel (atau surat panjang) ini dengan sebuah pengakuan yang berdenyut dan sesak: “Aku menulis karena ingin menjangkaumu—walaupun tiap kata yang kugoreskan menambah jarak satu kata dari tempatmu berada. Aku menulis untuk mengingat kembali saat-saat itu.” (Hal. 11)

Dari pengakuan itulah, secara superfisial, buku ini mulai menampilkan fragmen-fragmen dalam tiga babak melalui seorang anak laki-laki, Little Dog (tokoh sekaligus narator dalam buku ini). Pada babak pertama, Vuong menampilkan nasib kekalahan seorang imigran yang mengalami krisis identitas, rasisme, hingga trauma masa perang yang melekat dalam ingatan Little Dog, ibunya, dan neneknya. 

Selanjutnya, babak kedua menyoal konsekuensi sebagai seorang imigran yang mulai meletup ketika Little Dog dan ibunya dituntut untuk menyesuaikan bahasa masyarakat Virginia, yakni bahasa Inggris. Pada babak ketiga, Vuong, dengan perasaan sedih, marah, dan hancur, melalui tokoh Little Dog yang merepresentasikan personalitasnya, mulai menepis segala bentuk tuntutan realitas yang mengikis identitas dirinya.

Konsekuensi Subyek Tubuh-Imigran Sebagai Minoritas Ganda

Krisis identitas dalam On Earth We’re Briefly Gorgeous, adalah salah satu kemalangan yang paling kesat dan buram. Sebab, konsekuensi subyek minoritas ganda dari seorang imigran, secara individu maupun kolektif, bagi Vuong menjadi tak terelakkan. Melalui tokoh Little Dog, Vuong sangat menyadari itu seperti kala dirinya menepikan bahasa negara asalnya: “begitu pula dengan identitas kita yang, di negeri ini, sudah terlanjur encer dan terpasung.” (Hal. 14)

Sebagai seorang Asia-Amerika berkulit kuning, Vuong mengalami rasisme. Warna kulit Vuong ternyata masih menjadikan dirinya dipandang kerdil hanya karena orang Amerika lebih putih. Padahal, jika dilihat dari segi keturunan, Vuong sebenarnya memiliki darah Amerika dari Paul (kakek dari pihak ibunya yang seorang tentara Amerika berkulit putih). Keturunan, pada akhirnya, tidak punya pengaruh apa pun bagi fisiknya yang secara biologis terlahir sebagai orang Asia berkulit kuning.

Rasisme yang dialami oleh Vuong ketika masih anak-anak juga digambarkan melalui Little Dog. Hal ini lantas membedakan antara Vuong (Little Dog), neneknya (Lan), dan ibunya (Rose). Neneknya yang di Vietnam berkulit gelap, tapi karena ada ikatan dengan suaminya yang seorang tentara Amerika berkulit putih, dianggap lebih terang. Ibunya yang berkulit putih karena ada garis keturunan secara genetik dari ayahnya (kakeknya Vuong), tentu dianggap terang pula. Tapi, Vuong, yang terlahir sebagai kulit kuning, langsung dianggap Asia dan dengan serta-merta dibedakan, bahkan dikira anak adopsi.

Namun, melalui kesadaran akan identitas yang sudah terlanjur encer dan terpasung itu, Vuong seakan memahat kembali personalitasnya. Sebab, untuk menolak dan lepas dari kerangkeng identitas (atau bahkan desakan identitas) yang liyan bagi dirinya, tidak bisa ditepis dengan mudah. Hal itu seperti yang dituliskan pada bagian ketika Vuong pertama kali mengalami kekalahan diri dari belenggu identitas-yang-liyan: “To be or not to be. That’s not quetions.” (Hal. 85)

Bagi Vuong, “menjadi” atau “tidak menjadi”, itu pertanyaannya, tapi bukan pilihan. Di antara “menjadi” atau “tidak menjadi” adalah persoalan keputusan yang pada akhirnya mesti “menjadi”. Terlebih, Vuong, tidak dapat mengelak seperangkat identitas-yang-liyan pada negara yang menampungnya. Sebab, apalah sebuah negara, kalau bukan penjara tanpa jeruji, sebuah kehidupan? (Hal. 17) Dengan kesadaran macam itu, dalam sesi wawancara bersama seorang penyair Denmark, Caspar Eric, di Museum Seni Modern Louisiana, Vuong dengan tenang dan lantang pernah mengatakan, “The identity is already there. It’s embedded into everything.

Gagasan tersebut secara terus terang menjadi satu pemahaman bagi Vuong, bahwa identitas-diri dan identitas-yang-liyan bagi dirinya adalah kenyataan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, melalui pertimbangan atas hidup dan segala hal yang menyertainya, ia memutuskan untuk menjadi sosok yang hidup dalam batas-batas ruang multikultural.

Terasing karena Keterbatasan Bahasa

Konsekuensi lain sebagai seorang imigran yang kemudian telah menjadi multikultural bagi Vuong dan juga keluarganya adalah penyesuaian personal dengan atribut kultural-sosial negara yang menampungnya. Salah satunya kesamaan penggunaan bahasa yang terikat dalam ruang interaktif di negara suaka.

Hal itu mencuatkan kehampaan pada diri Ocean Vuong seperti halnya ketika ia mulai paham betul tentang ibunya yang tidak bisa membaca. Kegetiran yang dihadapi oleh Vuong akan terasa setiap kali Little Dog, dalam suratnya, menyerukan, “Ma”, “Ma”, dan “Ma”. Betapa kehampaan itu kian menyayat. Tumpukan surat yang menjadi kesatuan ungkapan kilas balik masa kecilnya kepada ibunya sendiri, semuanya terbantut.

Keterbatasan tersebut lalu membuka pintu keterasingan lain: kesepian bahasa beserta ruang-ruang interaktifnya. Misalnya, bagian yang menceritakan tentang Little Dog yang terpaksa menggantikan peran ibunya dalam melakukan interaksi dengan orang lain.

Bayangkan, Vuong, yang saat itu masih anak kecil, mewakili permintaan ibunya agar jam kerjanya di pabrik dikurangi. Atau, saat-saat lain, menghubungi layanan katalog Victoria’s Secret untuk memesan bra, pakaian dalam, dan legging. Interaksi itu dilakukan oleh Vuong (Little Dog) yang masih kecil karena ibunya tak mampu berbicara bahasa Inggris. Di situ, perasaan getir dan pedih atas keterbatasan bahasa secara terus terang mesti direguk oleh seorang imigran terdampak perang.

Baca juga:

Menolak Kalah

Bagi Vuong, migrasi bukan hanya soal perpindahan fisik, tapi juga tentang pergulatan emosional. Vuong, tentu saja, bersikeras menolak kalah atas semua kerapuhan itu. Penolakan tersebut dilakukan setidaknya saat dirinya masih punya fajar pengharapan untuk tidak menjadi budak imajiner kerangkeng identitas-yang-liyan.

Vuong memahami bahwa taraf kepentingan suatu identitas tidak harus meniadakan kepentingan identitasnya sendiri. Hal itu kemudian menjadi dorongan yang menjadikannya sebagai seorang penulis. Dalam novel ini, ia menulis, “Aku membongkar lagi diri kita menjadi bagian-bagian kecil, supaya dapat kubawa ke tempat lain—ke mana persisnya, aku tidak yakin.” (Hal. 84)

Keputusan tersebut lantas menjadi denyut semangat—meskipun terkadang remang-remang dan goyah. Namun, Vuong, melalui pengalaman hidupnya yang tumbuh sebagai imigran, senantiasa berusaha menembus dinding-dinding kerangkeng imajiner itu.

Pantulan diri dalam novel On Earth We’re Briefly Gorgeous, menjadikan diri Vuong seorang individu yang lebih otentik. Sebagai penulis dan seorang homoseksual, Vuong berani, kokoh, dan tidak kalah—sekalipun pada titik tertentu ia pernah mengalami kehilangan personalitasnya. Namun, dari kehilangan itulah Vuong justru mampu menyadari identitas terbaiknya secara utuh. “Selama ini kukatakan pada diriku bahwa kita terlahir dari perang—ternyata aku keliru, Ma. Kita terlahir dari keindahan.” (Hal. 282)

 

Editor: Emma Amelia

Saefudin Muhamad
Saefudin Muhamad Bergiat di Komunitas Tjirebon Book Club. Pernah menjadi Editor di salah satu penerbit. Saat ini menjadi pengajar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email