Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Masa Paceklik Gerakan Mahasiswa

Izam Komaruzaman

4 min read

Konsolidasi mahasiswa selepas gerakan sosial besar-besaran akhir Maret lalu tidak menghasilkan apa-apa. Tensi yang tinggi, hingga 72 titik aksi pada 20-29 Maret 2025 nyatanya tidak bisa kembali diulang di April ini. Hal ini mengulang kembali kritik lawas gerakan mahasiswa yang reaktif dan moralis. 

Memang, gerakan tolak UU TNI tidak hanya diinisiasi oleh mahasiswa, hampir seluruh masyarakat sipil turun tangan langsung menolak undang-undang cacat tersebut. Dalam banyak aksi, kampus pun sudah tidak menggunakan atribut kemahasiswaannya. Meski secara watak dan perilaku tetap menunjukan karakter-karakter khas gerakan mahasiswa. Secara khusus, tulisan ini akan saya arahkan ke gerakan mahasiswa yang berada di masa paceklik. 

Salah satu watak buruk dari gerakan mahasiswa adalah kemunduran pola gerakannya. Semula, mahasiswa bisa bergerak dengan kutub moralisnya, sebagai pembenah kengawuran penguasa. Hal itulah yang disebut sebagai gerakan resi oleh Suryadi Radjab (1991). Meski mahasiswa sebagai moral force itu kerap dan terus dikritik, bagi saya itu masih lebih baik dibandingkan pola gerakan mahasiswa hari ini. 

Dalam beberapa tahun terakhir, saya pikir gerakan mahasiswa sudah berubah dari moral force menjadi viral based movement. Polanya bukan mereka yang memopuliskan tuntutan, justru mereka yang terpopuliskan oleh isu-isu viral di media sosial. 

Maka dari itu, tak heran bila rantai gerakan yang dikatakan Coen Husain Pontoh dalam tulisan “Membangun Gerakan Sosial Baru: Sebuah Usul” di Indoprogress, yaitu “Kekecewaan-kemarahan-perlawanan-dan kekalahan” terus berulang di gerakan. Sebab memang desain fundamentalnya hanya berbasiskan kehebohan media sosial dan tuntutannya terjebak pada kebijakan per kebijakan.

Imbasnya adalah gerakan mahasiswa tidak hanya menjadi reaktif, tapi juga mudah dipadamkan apinya. Toh, gerakan berbasis viral akan padam bila kehebohannya sudah tidak ada. Kegagalannya akan selalu pada menjaga nyala gerakan. Ambil contoh saja gerakan penolakan kenaikan UKT di tahun 2024 yang sempat panas hingga skala nasional. Akhirnya gerakan yang terdesentralisasi di tiap kampus itu pun redup begitu saja. Walhasil kita hanya bisa menerima dengan lapang dada.

Kritik tersebut bukan hanya untuk aktor-aktor gerakan mahasiswa tersendiri, seperti BEM, Senat, atau HIMA, tapi juga untuk organisasi-organisasi mahasiswa dan/atau pemuda yang gagal dalam membentuk karakter gerakan mahasiswa.  Organisasi-organisasi progresif justru banyak yang mengeksklusi dirinya dari lingkungan kampus, dan beranjak ke wilayah sektoral, seperti buruh, tani, dan kaum miskin kota. Padahal potensi puluhan ribu massa dari ruang kampus tidak bisa dinegasikan juga.

Krisis Kepeloporan

Patut diakui, kegagalan eskalasi lanjutan gerakan mahasiswa pasca-Lebaran ini salah satu faktornya adalah krisis kepeloporan di gerakan mahasiswa. Kepeloporan yang saya maksud tidak hanya soal ketokohan atau pemimpin di tiap sel kampus, namun juga tidak adanya konsolidator yang dapat mengkristalkan kemarahan massa.

Baca juga:

Belajar dari 1998, gerakan mahasiswa dapat menelurkan aliansi-aliansi progresif seperti Forum Kota (Forkot), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ).

Meski ujungnya tercerai-berai, pada satu waktu mereka pernah terkonsolidasi dengan baik. Sayangnya tabiat mengonsolidasikan diri tidak terlihat dari gerakan mahasiswa kini. Elemen BEM dan sejenisnya tetap mempertahankan watak resinya, sementara orang-orang progresif bertahan pada ego intelektualnya. 

Tidak hanya berhenti di situ, pelopor tiap sel kampus hari ini juga tidak memiliki basis massa yang cukup kuat secara kualitas maupun kuantitas, sehingga ujungnya selalu mengandalkan massa cair. Hal ini juga berimbas pada keraguan dari tiap pemimpin massa setiap kali turun aksi. 

Masalah kecurigaan dan ketidakpercayaan antara satu sel kampus dengan yang lainnya juga menjadi biang keladi kegagalan gerakan mahasiswa bersatu. Sayangnya kecurigaan antara satu aliansi dengan aliansi lain, lebih sering dipelihara, ujungnya hanya menimbulkan keretakan dalam gerakan mahasiswa. Meski tak bisa disangkal juga, terkadang ada permainan elite untuk memecah gerakan yang ada. 

Imbas dari dua permasalahan tersebut justru bukan menciptakan blok politik baru, yang tercipta malahan sentimen, rasa individualistik, dan gerakan yang semakin reaksioner. Akhir-akhir ini pola gerakan berubah menjadi individualistik, tanpa pemimpin, dan cair. Orang-orang tidak lagi datang bersama gerbongnya, namun membawa diri sebagai individu merdeka saja. 

Hal demikian dapat diartikan baik dan buruk secara bersamaan. Baik artinya masyarakat sudah tidak melulu bergantung pada organisasi kemahasiswaan, serta memiliki kesadaran politik individual. Namun, dalam pengertian buruk, sikap-sikap politik individualistik ini juga semakin memperburuk situasi bila melihat konstelasi elite hari ini. Kita tahu, elite telah menebalkan tembok-temboknya dengan masyarakat. Suara-suara bising di luar gedung parlemen maupun di media sosial pun tidak ada artinya bila elite sudah bulat dengan suaranya. 

Belajar dari Orde Baru, oposisi berserak dalam menjatuhkan Orba memang efektif karena gerakannya terdesentralisasi dan tidak ada pemimpin tunggal, namun gerakan yang terfragmentasi tersebut akhirnya gagal untuk merebut kekuasaan.

Ujungnya, Soeharto dijatuhkan, tapi kroni-kroninya masih bisa melenggang. Akhirnya saya berpikir, apa sebetulnya gerakan kita secara tidak langsung hanya ingin menyentil elite kekuasaan untuk segera membuat keributan, tanpa ada niat untuk merebut kekuasaan itu sendiri.

Arah Politik Baru Gerakan Mahasiswa

Analisis A. Fadhil Aprilyandi Sultan di Indoprogress yang berjudul “Agar Gerakan di Kampus Tidak Mampus” soal gerakan mahasiswa yang harus membawa agenda politik kelas pekerja memang indah di kepala, namun tidak menyentuh persoalan konkret yang dialami mahasiswa. Menarik sepenuhnya gerakan mahasiswa untuk peduli pada ruang sektoral buruh, yaitu politik kelas pekerja, tidak menyelesaikan persoalan. Di ruangnya sendiri mahasiswa masih harus bergelut pada uang kuliah mahal, demokratisasi kampus, dan masalah student loan, dll. 

Baca juga:

Kesadaran kelas sendiri bagi mahasiswa saya anggap penting, namun kecenderungan menarik mahasiswa sebagai massa bagi sektoral lain hanya dengan landasan sebagai “calon buruh” akhirnya menempatkan mahasiswa di posisi subjek pasif saja. Logika semacam itulah yang dipakai NGO dalam memosisikan gerakan mahasiswa, hanya memanfaatkan mereka sebagai basis massa saja, tanpa mendorong mereka untuk memperkuat basis sektoralnya sendiri.

Memang tidak ada kemenangan bagi satu ruang sektoral saja. Namun, dalam membangun ruang gerak bersama, penguatan tiap ruang sektoral diperlukan sebelum akhirnya dapat bergandengan bersama dalam satu front luas, sebab segala kemungkinan masih ada, berbagai jalan masih terbuka.

Bisa saja pionir awal revolusi tidak berasal dari ruang pekerja maupun tani, tapi dari mahasiswa itu sendiri. Revolusi Penguin di Chile dapat menjadi contohnya, bagaimana agenda pelajar dan mahasiswa dapat menjadi entry point dalam perjuangan melawan otoritarianisme dan neoliberalisme.

Maka arah politik baru gerakan mahasiswa harus diarahkan pada prinsip mahasiswa sebagai korban tersendiri dalam sistem neoliberalisme pendidikan. Jadi posisinya ketika mereka berhadapan dengan gerakan buruh dan tani tidak semata-mata sebagai kantung massa, tetapi bagian dari korban sistem neoliberalisme secara luas.

Konkritnya, di wilayah sektoral, mahasiswa memang perlu konsisten dan sabar untuk menjaga api semangat melawan neoliberalisme pendidikan. Di samping itu, isu-isu demokrasi dan populis dapat dijadikan ajang pemanasan bagi gerakan mahasiswa untuk meraup basis massa yang lebih besar.

Hal seperti ini akan mudah diselesaikan bila organisasi-organisasi mahasiswa progresif mau duduk bersama merumuskan arah politik maupun agenda strategis. Bila perlu mereka bisa membentuk sebuah front bersama sehingga pola gerakan mahasiswa bisa diatur untuk agenda merebut kekuasaan, tidak hanya menyentil para elite.

Guna keluar dari masa pacekliknya, mahasiswa perlu merumuskan arah politik baru. Tidak harus plek-ketiplek menyokong agenda kelas pekerja, mereka bisa memulainya dari isu neoliberalisme pendidikan yang sedang mereka. Isu itu nantinya dapat inheren dengan agenda gerakan kelas buruh maupun tani. Hal itu dapat kita mulai dengan menyadarkan posisi mahasiswa di kampus sebagai kelas tertindas.

 

 

Editor: Prihandini N

Izam Komaruzaman
Izam Komaruzaman Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email