Mahasiswa STAIN Mandailing Natal

Keadilan: Not Found

Farhan Donganta

3 min read

Mungkin kata “keadilan” tidak lagi asing di telinga masyarakat Indonesia kendati hanya sebagai teori semata. Tetapi pengertian keadilan yang sangat baik dan pantas untuk ada di dalam peradaban terlebih-lebih peradaban Indonesia, membuat banyak masyarakat Indonesia menginginkan hal tersebut.

“keadilan” bisa saja diartikan sebagai keseimbangan dalam kehidupan atau dengan istilah mudahnya yaitu: bagi rata. Banyak ahli memberikan pengertian keadilan menurut pemikiran mereka dan dari pengertian tersebut kita mampu menyimpulkan bahwa keadilan adalah hal baik.

Filsuf Aristoteles, dalam karyanya Retorica membedakan keadilan menjadi dua macam. Pertama, keadilan distributif atau justitia distributiva. Keadilan distributif adalah pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan jenis ini berperan dalam hubungan antara masyarakat dan perorangan.

Kedua, keadilan kumulatif atau justitia cummulative. Keadilan jenis ini adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing orang tanpa memandang apa saja jasanya. Dasar dari keadilan ini adalah: transaksi ( sunallagamata ) baik yang sukarela atau tidak. Biasanya jenis keadilan ini bergerak pada transaksi tukar-menukar.

Sedangkan menurut John Rawls (Priyono, 1933 : 35) keadilan adalah ukuran yang harus diberikan demi mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Di dalam keadilan yang di definisikan oleh John Rawls, ada tiga prinsip yang bergerak di dalamnya. Pertama adalah kebebasan yang sama dan sebesar-besarnya. Kedua adalah perbedaan, dan yang ketiga adalah persamaan yang adil atas kesempatan. Mungkin prinsip ketiga dari keadilan yang didefinisikan oleh John Rawls, tidak jauh berbeda dengan konsep “equality before the law” yang dicetuskan oleh John Locke.

Keberadaan Keadilan

Tetapi dari semua pengertian keadilan, masyarakat sipil Indonesia masih gencar-gencarnya mencari tahu apa itu keadilan dalam bentuk esensi dan mempertanyakan status ontologisnya.Sialnya kedua pertanyaan yang mempertanyakan esensi dan eksistensi keadilan, tidak mampu dijawab oleh masyarakat sipil Indonesia. Mengapa? Karena yang ada di Indonesia kini adalah segala jenis ketidakadilan, sehingga membuat keadilan terlihat bersifat fiksi.

Apa sebabnya keadilan tidak ada di republik ini? Apakah ia karena pandemi? Mungkin tidak. Karena sebelum pandemi pun keadilan di republik ini belum pernah ada. Lihat saja bagaimana setiap Kamis di depan istana seorang ibu berteriak meminta kepastian kepada negara tentang keberadaan anaknya dan sampai sekarang harapan dari sang ibu belum juga terwujud.

Hilangnya keadilan juga bisa dilihat dari hutan-hutan di kalimantan dan di daerah lain yang terus dibabat, membuat masyarakat adat bersedih dan kehilangan rumah yang mereka bangun dengan kayu-kayu yang tersusun rapih. Juga keadaan masyarakat Papua yang tak bisa hidup damai dan bebas di tanah mereka sendiri.

Lalu, maraknya obral diskon untuk para tersangka kasus korupsi, terlebih-lebih pada kasus korupsi bansos, yang justru menjadikan hujatan publik sebagai pertimbangan untuk meringankan hukuman pada tersangka.

Belum lagi persoalan inflasi yang semakin meningkat dan daya beli masyarakat menurun di situasi pandemi. Kemudian Pemerintah hadir dengan kebijakan yang tidak sesuai, misalnya: Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang membuat banyak barang dagangan masyarakat tersita, padahal dalam barang dagangan tersebut tersirat keinginan untuk merawat kehidupan keluarga.

Semua jenis ketidakadilan ini, jika dipandang dari atas maka ia akan terlihat seperti mural. Terlebih-lebih semua jenis ketidakadilan yang ada pada republik ini semakin membenarkan fakta bahwa ”keadilan: Not Found” di negeri ini dan banyak dari kita merasa “etre au monde” (berada di dunia) tanpa keadilan.

Imajinasi tentang Keadilan

‘Ideal’ artinya dekat dengan surga. Begitulah kira-kira akal-akalan Plato sewaktu mendesain ‘Dunia Ide’. Tentu apa yang ada di pikiran Plato pada saat mendesain ‘Dunia Ide’ adalah suatu negeri yang tidak memiliki ‘Fear’ di dalam perjalanan kehidupannya. Karena apa yang terkandung di dalam ‘Ideal’ adalah: kesetaraan, kemajemukan, dan kemakmuran. Yang semuanya mengacu pada “keadilan”.

Tetapi apa yang diimajinasikan oleh Plato tentang ‘Ideal’ hanya ada pada “Republik Utopis”. Ia berhenti sebagai angan-angan semata, walau hal itu demikian indahnya.

Jika imajinasi Plato dikaitkan dengan konteks Indonesia. Maka ia akan terlihat sangat indah, karena seperti ‘mitos gua’ yang juga pernah diceritakan oleh Plato, setiap orang di dalam gua mendeskripsikan keindahan hanya sebatas bayangan, tetapi ketika ia keluar dari gua tersebut ia akan melihat keindahan itu bukan sekadar bayangan, dan itu ternyata ada.

Dan Indonesia. Masih ada di dalam gua tersebut, yang belum melihat bagaimana keindahan dari keadilan dan bagaimana perasaan ketika menjalani kehidupan tanpa ketakutan. Tetapi itu semua hanya sebatas bayangan dan harapan

Harapan di tengah Ketidakadilan

Keadilan seolah stagnan dan menjadi konsep semata tanpa ada tindakan nyata dari pemimpin kita untuk menghasilkannya, baik itu legislatif maupun eksekutif. Hal ini menandakan bahwa republik ini sedang memiliki masalah yang lebih besar daripada pandemi, yaitu: crisis of leadership.

Republik ini didirikan oleh mereka yang memahami kalau keadilan akan membawa kedamaian, seperti tertuang di dalam konstitusi kita yang mengharuskan republik ini menuju perdamaian abadi.

Apabila kita mengacu pada sejarah periode awal berdirinya republik ini, artinya kita harus meneledani sifat dan sikap dari tokoh-tokoh sejarah tersebut, seperti Bung Karno yang mencetuskan ide marhaenisme demi kepentingan kaum melarat indonesia saat itu.

Mungkin kategori permasalahan dulu dan sekarang berbeda, tetapi klasifikasi penyelasaian masalahnya tidak jauh berbeda. Sama-sama menggunakan harapan. Harapan yang terus tumbuh di negeri ini hanya berguna untuk negeri ini.

Dari sejarah yang telah kita ketahui, bahwa para pendiri republik ini hendak menjadikan republik ini sebagai “republic of hope” agar sesuai dengan harapan dan menjauhkan diri dari “republic of fear”. Hal ini harus dipegang teguh oleh kita (civil society).

Meskipun hari ini kita sedang diuji permasalahan yang sangat bengis, tetapi di kepala kita ramai akan harapan. Kita harus percaya bahwa republik ini akan menjadi “republic of hope” sesuai dengan harapan dan keadilan tidak lagi menjadi “Not Found”.  

Farhan Donganta
Farhan Donganta Mahasiswa STAIN Mandailing Natal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email