“Melampau imaji di tengah hancurnya dunia, di tiap sudut ada sipir dan tentara.”
Kian hari rasanya lirik lagu dari musisi Terapi Minor ini kian relevan mengingat adanya upaya menempatkan TNI aktif dalam jabatan sipil. Padahal sejak era reformasi sudah ada undang-undang yang mengatur pemisahan antara jabatan sipil dan militer.
Dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dijelaskan bahwa prajurit aktif TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil di 10 bidang yang berkaitan dengan bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekertaris militer presiden, intelejen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, SAR, narkotika nasional, dan MA. Dan beberapa waktu lalu, perwira TNI menempati posisi sebagai dirut Bulog dengan alasan mempercepat program swasembada pangan.
Revolusi hijau dan Swasembada pangan
Swasembada pangan sebenarnya adalah tujuan akhir dari Revolusi Hijau. Konsep ini sudah ada sejak era Presiden Soeharto yang diambil dari konsep ‘Revolusi Hijau Dunia’. Jika dilihat dari sejarahnya, gagasan tentang Revolusi Hijau lahir dari keresahan pemerintah dunia setelah Perang Dunia II pada 1950an-1960an. Revolusi hijau bertujuan untuk meningkatkan pangan dengan mereformasi sistem pertanian secara global. Konsep ini kemudian diadopsi oleh rezim Soeharto dalam rencana pembangunannya.
Baca juga:
Program ini berjalan dengan tujuan utama meningkatkan produksi pangan terutama beras. Guna mempercepat swasembada, pemerintah saat itu mengeluarkan program intensifikasi yang kemudian dikenal sebagai panca usaha tani. Program ini mendorong petani untuk menggunakan bibit unggul, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pengairan, dan pengolahan tanah. Singkatnya, dengan program ini akhirnya pemerintah dapat mencapai swasmbada beras. Namun, pencapaian itu harus dibayar mahal dengan dampak negatif yang ditimbulkan.
Keterlibatan Militer dalam Program Pangan
Pelaksanaan program swasembada pangan tidak lepas dari keterlibatan militer. Di era Soeharto militer banyak terlibat dalam ranah sipil termasuk pertanian. Pemerintah Orde Baru menggunakan pendekatan militer dalam pertanian melalui bimbingan massal (BIMAS). Melalui BIMAS ini kemudian rantai komando memaksa tunduk para petani dan tanaman padi. Para petani yang tidak mau mengikuti program dari pemerintah kemudian diancam dan diintimidasi.
Hal ini mengingatkan saya pada kisah alm. Gatot Surono, petani asal Purbalingga yang menolak pertanian ala Orde Baru dan lebih memilih bertani secara alami. Gatot Surono berpendirian ingin menanam benih padi lokal dan memakai pupuk kandang alami seperti yang sudah dipraktikkan oleh orang tuanya secara turun-temurun.
Gatot Surono juga merupakan alumni sospol Universitas Gajah Mada dan Universitas Peking di China. Sayangnya rantai komando tidak menghendaki metode pertanian yang dilakukan Gatot. Beliau ditangkap oleh Koramil setempat dengan dalih melawan aturan pemerintah. Tanaman di ladangnya juga dicabuti, untungnya tanaman ini tidak dirusak. Setelah dibebaskan Gatot tetap kembali menanam menggunakan benih yang dicabuti oleh abdi negara itu. Benih yang ditanam ini yang kemudian kita kenal sebagai varietas padi Rojolele.
Baca juga:
Gatot Surono bukanlah satu-satunya petani yang dikriminalisasi saat itu karena dianggap tidak patuh. Berdasarkan Putusan MK Nomor99/PPUU-X/2012 ada beberapa petani lain yang menjadi korban. Bentuk kriminalisasinya pun bermacam-macam, mulai dari penangkapan hingga penyitaan hasil panen. Ini menunjukkan bahwa begitu buruknya pendekatan militer dalam pertanian. Bagaimana bisa seseorang yang hanya bisa patuh dan menjalankan rantai komando memahami bahwa menanam dan merawat tanaman bukan hanya urusan statistik negara. Mereka tidak akan mengerti bagaimana harmoni antara alam, tumbuhan dan manusia saling asih.
Kembalinya Militer ke Ladang
Seperti tak pernah belajar dan membaca sejarah, entah pikun atau mengalami distorsi ingatan, beberapa waktu lalu Kementan kembali menggandeng TNI dalam pelaksanaan programnya. Para loreng berseragam itu diajak kembali dalam program swasembada pangan yang jadi program unggulan rezim kali ini. Seperti de javu, kombinasi antara program dan alat negara terjadi lagi. Bukan tak mungkin kejadian yang dialami alm. Gatot Surono dan kawan-kawan petani era Orde Baru kembali terulang.
Rantai komando di ladang petani yang sebelumnya berhasil diputus, saat ini kembali dirajut. Mereka menggunakan dalih yang sama saat menggandeng para loreng berseragam. Seruan agar militer kembali ke barak bukanlah narasi kosong. Ini adalah perjuangan panjang yang harus dipertahankan. Ingatan kolektif tentang intimidasi dan kriminalisasi cukup menjadi bukti bahwa mereka memang tidak seharusnya berada di ranah sipil.
Editor: Prihandini N