“Selain Donatur, Dilarang Ngatur!”
Media sosial sedang ramai dengan perdebatan dua influencer cukup terkenal: Michele Halim dan Axel. Awalnya, semua tampak seperti adu pendapat biasa di antara orang dewasa, perang video stitch, saling balas komentar, mempertahankan argumen, dan menjaga branding masing-masing. Saya mengikuti keduanya jauh sebelum mereka saling sindir. Dari awal memang sudah terlihat bahwa nilai dan tujuan konten mereka berbeda. Jadi, wajar kalau tidak sejalan. Menurut saya itu sah-sah saja.
Namun, semakin hari, drama ini makin melebar dan mulai melibatkan anak-anak. Di titik inilah, sebagai guru saya merasa perlu angkat bicara.
Persoalan ini bukan lagi soal dua orang dewasa yang adu gengsi. Ini tentang seorang anak yang tiba-tiba dijadikan sasaran olok-olok publik tanpa tahu apa-apa tentang apa yang sedang terjadi. Tanpa pernah paham, mengapa dirinya mendadak jadi sorotan yang tidak pernah ia minta.
Baca juga:
Anak Bukan Perpanjangan Masalah Orang Tuanya
Awalnya, Michele Halim hanya berdebat dengan seorang ibu di kolom komentar Instagram. Topiknya juga sepele tentang warna kulit ketiak. Lalu Michele membalas, mungkin masih dalam batas ya, manusiawi lah, karena merasa kesal dan Ibunya mulai duluan.
Tapi batas itu runtuh ketika Michele kemudian menyeret anak si ibu ke dalam konflik. Ia membandingkan warna kulit anak tersebut dengan ketiaknya sendiri. Di depan ribuan pengikutnya. Mau dibungkus dengan sarkasme, satire, atau humor gelap sekalipun, kalimat itu jelas-jelas merendahkan.
Ini bukan sekadar celetukan sarkastik. Ini serangan verbal terhadap seorang anak kecil. Sesuatu yang bahkan orang dewasa pun kadang butuh waktu lama untuk pulih darinya.
Bayangkan anak itu. Ia mungkin sedang bermain di rumah, tidak tahu apa-apa. Lalu tiba-tiba, tubuhnya, warnanya, dirinya, menjadi punchline bagi banyak orang di layar ponsel. Jadi bahan tertawaan. Seolah sah saja menghina anak itu, hanya karena ibunya sedang terlibat perdebatan di dunia maya.
Ada prinsip yang mestinya kita pegang bersama: “anak-anak tidak ikut serta dalam perang orang dewasa“. Mereka tidak pernah memilih lahir di keluarga mana. Mereka tidak bisa mengontrol tindakan orang tua mereka. Dan, yang paling penting, mereka tidak pantas dijadikan tumbal konflik siapa pun.
Ketika seorang anak diseret ke ring tinju pertengkaran orang dewasa, ia masuk tanpa alat pelindung. Dan lebih buruknya, ini bukan ring tertutup, ini lapangan terbuka, di mana siapa saja bebas melempar pukulan verbal tanpa pikir panjang.
Dan, ya, itulah yang terjadi.
Anak Punya Hak untuk Dilindungi
Hal ini jelas-jelas bentuk kekerasan psikologis. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyebutkan bahwa setiap anak berhak dilindungi dari kekerasan, penyiksaan, penganiayaan, atau perlakuan salah lainnya. Termasuk hinaan atau olok-olok fisik di ruang publik.
Baca juga:
Luka yang tertinggal bukan cuma rasa malu. Ini luka batin yang bisa menetap lama. Anak yang menjadi korban penghinaan publik bisa tumbuh dengan rasa tidak aman, minder, bahkan trauma. Bagian tubuh yang seharusnya ia cintai sejak kecil, malah dijadikan bahan candaan oleh orang lain.
Belum lagi soal perlindungan data pribadi anak. Pasal 32 UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan data pribadinya. Siapa pun yang menyebarkan informasi tentang anak secara sembarangan, apalagi sampai membahayakan, bisa dikenai sanksi hukum. Diperkuat lagi dengan UU Perlindungan Data Pribadi Nomor 27 Tahun 2022, yang menegaskan pentingnya menjaga privasi anak.
Sering kali kita dengar pembelaan seperti, “Kan cuma bercanda,” atau, “Ibunya duluan yang nyerang“. Tapi, menghina fisik anak di ruang publik tidak pernah bisa dibenarkan. Ada garis batas yang tidak boleh dilanggar. Anak-anak harus tetap aman dari konflik ego orang dewasa.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Di dunia media sosial, penonton bisa saja tanpa sadar menjadi pemain. Saat kita ikut menulis komentar jahat, membuat meme, atau sekadar membagikan unggahan yang merendahkan anak, kita juga bagian dari kekerasan itu.
UU Perlindungan Anak memberi perhatian besar pada hak anak atas privasi. Anak yang viral karena hal buruk, lalu difoto, dibully, atau dijadikan meme, hanya akan menambah panjang daftar traumanya.
Maka, mari mulai dari diri sendiri. Kalau ada drama orang dewasa, jangan seret anak-anak. Kalau marah pada seseorang, jangan bawa keluarga mereka. Anak bukan tameng, apalagi peluru, untuk balas dendam.
Dan buat kita yang berdiri di pinggir lapangan, yuk belajar berhenti di jari sendiri. Jangan asal repost. Jangan asal komentar. Anak-anak tidak punya alat untuk membela diri di dunia digital. Kita, yang sudah dewasa, adalah pagar mereka.
Anak-anak bukan aksesoris di panggung keributan orang dewasa. Mereka manusia kecil, dengan hak-hak yang wajib kita hormati. Bahkan jika mereka adalah anak dari orang yang paling tidak kita sukai sekalipun.
Kalau kita mau dunia digital yang lebih sehat dan adil, mulailah dari langkah sederhana ini:
Laporkan semua konten yang mengandung perundungan, doxing, atau kekerasan digital. Jangan terpancing buat saling serang hanya karena beda pendapat. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, pada siapa pun, nggak pernah bisa dibenarkan terutama jika sasarannya anak-anak.
Fokus kita satu: hentikan penyebaran, jangan beri ruang pada pelaku kekerasan! (*)
Editor: Kukuh Basuki