I distill information into something more valuable

Bila Kita Tak Pernah Bertemu

Muhammad Zaki Maarif Firman

4 min read

Dekorasi bernuansa putih, deretan hidangan di meja panjang, dan lensa kamera yang tak henti berkedip menjadi saksi betapa gugupnya Aziz hari itu. Sungguh suasana resepsi pernikahan bukan hal asing baginya. Namun, tidak demikian dengan menghadiri acara pernikahan sendiri. Kegelisahan menghantuinya. Sempat dia berpikir kemunculan para koleganya dari balik pintu utama gedung akan lumayan membantu. Rupanya nihil.

Perlahan-lahan sekumpulan jari menggenggam lembut tangan kirinya. Aziz menoleh. Dipandanginya Silvi, wanita yang telah resmi menjadi istrinya beberapa jam lalu. Prosesi akad nikah nampak tak mengubah apapun dari wanita itu. Rekahan senyumnya tetap manis. Binaran matanya masih meneduhkan. Aziz berusaha memandang sesuatu yang lebih dalam dari itu, meskipun mungkin ia tak akan pernah bisa. Pikirannya sesaat terbang pada nasihat “bapak”-nya,

“Hakikat manusia itu ada pada jiwanya.”

***

Jakarta, sekitar tiga bulan yang lalu.

Hari ini harusnya menjadi hari bahagia. Mereka telah berkunjung ke salah satu perpustakaan estetik di pinggiran Tangerang Selatan, melihat-lihat lukisan di Galeri Nasional Indonesia, dan ditutup dengan menu seafood di salah satu rumah makan daerah Kelapa Gading. Sayangnya, perjalanan ini harus berakhir dengan balutan kekecewaan. Mereka bertengkar. Dan pertengkaran tersebut dipicu oleh pernyataan sederhana dari Silvi,

“Ayah ingin kita segera menikah.”

Sejak pertama kali berkenalan, Silvi yakin bahwa Aziz adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Ayahnya pun merasa begitu. Bahkan, Silvi berani menjamin hampir semua orang yang pernah berinteraksi dengan Aziz merasa demikian. Tak heran, ia menyangka pernyataan tersebut akan disambut dengan indah.

“Aku belum siap, vi.” Aziz menghela napas, “Tidak. Mungkin aku tidak akan pernah siap.”

Langit malam terasa retak saat itu juga demi menampung jutaan pertanyaan mengapa dalam benak Silvi.

Aziz berusaha menjelaskan seterang dan setenang mungkin. Dia sadar dirinya adalah yatim-piatu sejak usia 2 tahun. Bapak dan ibunya telah tiada semenjak disapu oleh tsunami Aceh. Sejak itu pula, dia tak punya siapa-siapa kecuali ibu panti yang berbaik hati mengasuhnya. Oleh karena itu, baginya, dia tak akan pernah bisa menjadi orangtua yang baik karena ia sendiri tak pernah tahu bagaimana rasanya dirawat oleh orangtua.

Bagaimana bisa seseorang melakukan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak pernah alami? batinnya.

Aziz merasa itu jawaban tersebut bisa diterima, tapi tidak bagi Silvi. Semakin Aziz menjelaskan, semakin sakit hati Silvi.

Silvi ingin agar Aziz yakin pada dirinya sendiri sebagaimana dirinya yakin pada Aziz. Akan tetapi, mulutnya terasa terkunci. Kejadian malam ini terasa begitu sulit untuk dicerna. Silvi merasa buntu. Tidak ada respon lain yang terlintas di kepalanya, kecuali segera pulang ke rumah. Dengan satu kalimat pamungkas dan linangan air mata, Silvi pergi meninggalkan Aziz.

Yang ditinggalkan tak kalah bingung. Di satu sisi, Aziz menyadari kesalahannya. Di sisi lain, dia masih merasa yakin dengan pendiriannya tadi. Dia takut hubungan mereka tak akan bekerja dengan baik. Dia takut akan menjadi orangtua yang buruk.

Malam itu, Jakarta masih ramai seperti biasanya. Tapi hati Aziz dan Silvi terasa lengang. Hampa. Masing-masing mereka tahu ada cara memperbaiki kekusutan ini. Mereka hanya belum menemukannya.

Silvi pulang ke rumahnya yang megah bak istana. Melihat mobil ayahnya yang terparkir rapi di garasi, dia masuk ke rumah dengan setengah menyelinap. Dia tak mau berpapasan dengan ayahnya malam ini. Dia tak pandai berbohong. Tak pula ingin mengecewakan ayahnya. Masih kuat dalam ingatannya bagaimana ayahnya dengan antusias berjanji akan menanggung seluruh keperluan pernikahan yang telah Silvi impi-impikan. Apa jadinya kalau ayahnya tahu kejadian malam ini?

Sementara itu, puluhan kilometer dari istana Silvi, Aziz berjalan gontai masuk ke kamar kosnya. Sambil berbaring lemas, ia mengecek seluruh notifikasi di gawainya. Mayoritas berkaitan dengan pekerjaannya sebagai pemilik wedding organizer. Namun, ada satu yang menarik perhatiannya: pesan dari seseorang yang baru ia kenali beberapa hari lalu.

Sejurus kemudian, Aziz sudah tahu apa yang akan dilakukannya besok: terbang ke Aceh.

***

Aceh, hampir 20 tahun setelah tragedi tsunami.

Sekeluarnya dari bandara, Aziz langsung memesan taksi dengan bermodalkan tautan Google Maps. Hari ini dia akan bertandang ke suatu pesantren guna menemui Pak Teuku. Rasa antusias dan gugup bercampur menjadi satu. Belum pernah dia merasa sedekat ini dengan kebenaran perihal orangtuanya.

“Kau sangat mirip bapakmu.” Pak Teuku menyerahkan selembar foto jadul kepada Aziz segera setelah mereka bertemu di lobby pesantren.

Keduanya sempat berkenalan singkat dan saling bertukar kontak beberapa hari lalu dalam acara pernikahan yang Aziz organisir. Bagi Aziz, itu adalah percakapan biasa dengan calon klien potensial. Siapa sangka pertemuan yang tak disengaja tersebut akan membawanya sejauh ini.

“Sama seperti saya, bapakmu adalah orang yang sangat peduli terhadap pendidikan.”

Pak Teuku adalah pemilik sekaligus pengelola salah satu pesantren terbesar di Aceh. Jaringan orang-orang di bidang pendidikan yang dimilikinya luas bukan main. Maka hanya dengan berbekal cerita singkat Aziz, Pak Teuku bisa dengan mudah memverifikasi kebenaran firasatnya. Pak Teuku telah menghubungi sekolah hingga panti asuhan tempat Aziz tumbuh dan berkembang sejak kecil. Dia tahu persis siapa anak yang berada di hadapannya kini.

“Bagi bapakmu, pendidikan bukan sekedar kendaraan bagi masyarakat kecil untuk melakukan mobilitas sosial vertikal, tetapi yang lebih penting adalah untuk melatih jiwa.”

Aziz berusaha memahami. Dia tahu pendidikan adalah mobilitas sosial karena itulah yang terjadi padanya. Tanpa pendidikan, tak mungkin dia berhasil masuk ke salah satu universitas bergengsi di Indonesia, merintis usaha sendiri, dan mengenal Silvi (ah, bayang-bayang Silvi masih melekat kuat di benaknya).

Pak Teuku lanjut menjelaskan, “Hakikat manusia itu ada pada jiwanya, Nak. Fisik bapakmu mungkin telah pergi, tapi bagi saya, beliau masih ada. Kebaikannya ada dalam setiap aktivitas di pesantren ini. Bila tak pernah mengenal beliau, mungkin saya tak akan pernah mau repot-repot membangun pesantren.”

Aziz tidak berani menyela.

“Miliaran manusia mengikuti baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meski fisiknya telah tiada. Imam Nawawi, Imam Zarnuji, Imam Ghazali, karya mereka masih terus dibincangkan sekalipun jasadnya tak lagi menapak bumi. Marx, Newton, Freud, pemikiran mereka tetap eksis dan dibahas di sana-sini meski telah meninggal dunia ratusan tahun lalu. Fisik seseorang boleh tiada, tetapi boleh jadi jejak kebaikan atau keburukannya masih terus hidup. Kebaikan atau keburukan itu adalah pekerjaan jiwa.”

Pak Teuku yang tersadar sedari tadi hanya monolog akhirnya berinisiatif memberi ruang kepada Aziz untuk angkat suara.

“Oh iya, bagaimana kabarmu, Nak? Jangan sungkan-sungkan, anggap saja saya pengganti bapakmu.”

Entah mengapa Aziz tiba-tiba merasa ingin memuntahkan segala keluh-kesah yang telah dipendamnya sejak kecil. Mungkin karena ini pertama kalinya dia merasa begitu dekat dengan bapaknya. Mungkin pula inilah tuah kebaikan yang Pak Teuku maksud. Meskipun Aziz tak memiliki sedikit pun memori pertemuan dengan bapaknya, kebaikan bapaknya tetap membuatnya bisa meminta dan mendengarkan nasihat dari Pak Teuku.

Hanya dengan dua pertemuan, Aziz merasa Pak Teuku adalah orang yang bisa dia percaya. Dia pun memutuskan memulai menerangkan kabarnya dari peristiwa pertengkaran semalam. Dari kebimbangannya dalam menghadapi Silvi.

“Jangan takut tak bisa membelai anak hanya karena tak mengingat pernah dibelai orangtua.” Nasihat Pak Teuku sukses mengguncang pikiran Aziz.

Kemudian, lanjut Pak Teuku, “Kita tak perlu mengalami sesuatu untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Meski fisik kita tak pernah merasakan suatu kebaikan, jiwa kita mampu mendorong diri untuk melakukan kebaikan tersebut. Menikahlah dan latih jiwamu untuk menjadi suami dan orangtua yang baik.”

Aziz ingin bertanya lebih lanjut soal bagaimana caranya melatih jiwa, tetapi dadanya tak henti berguruh. Dia ingin segera memperbarui jawabannya kepada Silvi. Dengan sopan, dia izin undur diri sejenak kepada Pak Teuku. Tak lama, dia telah tersambung dengan seseorang via telepon.

Dalam waktu singkat, Aziz menceritakan kepada Silvi perjalanannya hari ini dan kemantapan hatinya untuk segera menikah. Seperti biasa, Aziz tak pernah bertele-tele dalam berbicara. Lugas. Sederhana. Dan seperti biasa pula, ucapannya telah memekarkan senyuman wanita di ujung telepon genggam sana.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Muhammad Zaki Maarif Firman
Muhammad Zaki Maarif Firman I distill information into something more valuable

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email