Malam itu hutan membisu dengan suasana hening yang melankolis. Sekelompok orang dengan cahaya senter seadanya menembus kedalaman hutan untuk lari dari serangan pemberontak. Seorang Mayor bersama seorang anak, satu perempuan, dan delapan orang laki-laki berjalan dalam satu barisan di jalan hutan yang renjul. Malam yang hening itu menyelimuti mereka dengan keragu-raguan dan keingintahuan akan sebuah kepastian perihal apa yang mereka ingin perbuat.
Sang Mayor diperintahkan untuk ke ibu kota darurat yang mengharuskan mereka melewati sebuah gunung. Perempuan dalam rombongan itu bertanya-tanya alasan mereka harus dibawa menyusuri hutan, dan Sang Mayor hanya diam tanpa memberi jawaban. Ia tetap teguh memegang lampu penerang di tangannya, memastikan jalan yang mereka pilih sudah tepat. Perbekalan yang dibawa pun sedikit. Hanya pakaian yang mereka kenakan dan beberapa makanan seadanya. Sang Mayor masih tetap diam tak menjawab, mulutnya terkunci rapat, dan ia dengan keras hati tetap melakukan itu seperti akan berlangsung selamanya.
Bagi perempuan itu, Sang Mayor adalah batu besar di sungai. Sederas apa pun aliran sungainya ia tidak akan bergerak. Perlu dorongan yang amat besar agar batu itu bisa menggelinding. Maka perempuan itu, dengan tatapan yang penuh tanya memandangi Sang Mayor. Jalannya begitu gagah walau memiliki tubuhnya tidak begitu tinggi, dan badannya kurus. Hal itu memberi sedikit keberanian bagi si perempuan untuk memberondong pertanyaan kepada Sang Mayor. Tidak ada jawaban yang didapat, hanya ada suara serangga dan bau tanah yang meruap sehabis terkena tetesan air hujan yang jatuh dari dedaunan pohon.
Mereka kemudian mencari tempat yang aman dari serangan hewan liar untuk istirahat. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidur di dekat sungai setelah melalui perdebatan yang alot.
“Aku takut dari sungai tersebut muncul seekor buaya,” ujar perempuan tersebut dengan dongkol.
“Tetapi kita butuh air untuk minum, persediaan kita terbatas,” sahut salah seorang pria dari rombongan tersebut.
Di kejauhan si anak kecil hanya duduk diam. Usianya sekitar sepuluh tahun, dan ia hanya mau berada di dekat Sang Mayor. Anak tersebut ingat, Sang Mayor dan ayahnya sering bertemu di rumahnya.
“Apakah kau tidak tahu kita mau ke mana? Aku sudah lelah dengan perjalanan ini,” perempuan itu mengarahkan pandangan mengancam pada Sang Mayor. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Dengan putus asa, si perempuan meraih kerah Sang Mayor dan menariknya kuat-kuat. Anak kecil itu seketika ketakutan dengan peristiwa yang terjadi di depan matanya.
“Aku punya hak untuk mendapat jawaban, dan aku menuntutmu untuk membuka mulut sekarang juga!”
Tidak ada jawaban dari Sang Mayor. Tatapannya menolak pandangan perempuan tersebut dan lebih memilih untuk mengamati sungai. Sesekali ia menengok si anak kecil dan orang-orang lain dalam rombongan itu, dan matanya ingin memastikan bahwa semua dalam keadaan baik-baik saja. Lelah dengan tindakan Sang Mayor, perempuan itu dengan suara yang lantang memberi ancaman akan kembali ke kota.
“Tidak ada alasan yang pasti untuk kita tetap di sini,” tatapan perempuan itu mengarah kepada seluruh rombongan. Namun, yang ia lihat hanya pandangan putus asa. Lalu ia pergi ke sungai, mengambil air, dan membasuh wajahnya. Perempuan itu melihat Sang Mayor masih memasang wajah awas, dan ingin sekali membanjur laki-laki itu dengan air sungai yang dingin.
“Aku akan pergi, mungkin tentara rakyat sudah berhasil mengusir pemberontak-pemberontak itu.”
Perempuan itu lalu membereskan bawaannya, tetapi tidak lama setelah itu tangannya dipelintir ke belakang, sikunya diputar, dan ditarik ke atas. Tangannya terkunci dan otot-ototnya menggeletar. Ia juga merasa ada besi yang memberi sensasi dingin yang asing di sepanjang lehernya. Napas Sang Mayor terasa dekat dengan telinganya, ia mencium bau keringat dari tubuh laki-laki itu. Perempuan tersebut lalu roboh sesaat setelah kejadian yang berlangsung dengan trengginas.
Tak lama kemudian, keheningan malam di dalam hutan memberi rasa kantuk pada orang-orang itu, menyebabkan beberapa orang sudah tertidur. Dari kejauhan Sang Mayor masih duduk terjaga. Mengarahkan pandangan ke arah hutan, dan sesekali melihat sungai. Hati perempuan itu kini merasa kasihan dan menyuruhnya untuk tidur beberapa kali, dan berganti jaga dengan yang lainnya. Permintaan itu ditolak mentah-mentah.
“Dasar anjing penurut!”
“Tante, biarkan saja paman melakukan itu.”
“Kau tidak kasihan melihatnya tidak istirahat sedari tadi.”
“Tidak,” jawab anak itu, lalu ia melanjutkan, “paman sudah biasa melakukan itu setiap berkunjung ke rumahku.”
Maka perempuan itu menyerah untuk dua hal: lari dari situasi menakutkan ini dan berbelas kasih pada laki-laki yang menjadi sumber rasa ngeri di dalam hutan malam itu. Maka ia pun memutuskan untuk tidur dan menemani si anak kecil. Sejenak ia melihat Sang Mayor pergi ke area lain dari hutan yang cukup jauh dari tempat rombongan itu beristirahat. Namun, perempuan itu membiarkan saja hal itu terjadi.
Di malam yang dingin, tanpa ada tenda, alas untuk tidur, dan selimut yang memberi rasa hangat rombongan itu dikejutkan dengan pemandangan yang tidak lazim dan mengerikan. Kepala Sang Mayor sudah ditodong bedil oleh dua orang pria berbaju hitam. Di lehernya terpampang sebilah parang panjang yang siap dilumuri darah. Gerombolan orang berbaju sama kemudian datang dan meringkus rombongan itu.
Lalu mereka digiring kembali ke kota. Salah seorang pria dari orang-orang yang menangkap mereka dengan muka beringas membuka tali yang menyekap mulut seorang tawanan.
“Di antara orang-orang ini siapa orang yang penting?”
“Aku tidak tahu, aku hanya diminta untuk ikut saja,” jawabnya dengan suara bergetar.
“Apakah perempuan itu istri si Aditya?”
“Maafkan aku tuan, aku tidak tahu. Kami tidak diberi tahu apa-apa soal itu.”
Maka sebuah peluru melolos dan menembus kepala tawanan itu. Orang-orang dalam rombongan itu kemudian merasa ngeri dalam keheningan yang asing. Seorang kawanan berbaju hitam itu kemudian menarik pria lainnya. Namun, jawaban yang didapat tetap sama mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat dan hanya mengikut saja. Hingga lima orang tewas pagi itu, giliran Sang Mayor yang digiring ke hadapan sang algojo.
“Sekali lagi aku bertanya, jika tidak ada jawaban peluru akan menembus kepalamu!”
Perempuan dalam rombongan itu menggelayut gelisah. Mulutnya seolah berteriak padahal ia tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Ia berharap Sang Mayor menjawab pertanyaan itu demi keselamatan dirinya.
“Aku bertanya, apakah laki-laki kecil itu anak si Wiratama?”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Sang Mayor. Ia masih seperti biasanya, diam dan mulutnya seakan terjahit oleh benang. Dorongan yang begitu keras tidak membuat keteguhan Sang Mayor yang bagai batu itu goyah. Sesaat kemudian peluru meluncur mulus melalui dahinya diiringi suara yang keras, dan darah berhamburan ke tanah.
Setelah itu terjadi satu per satu pemberontak-pemberontak itu tersungkur jatuh dalam suasana yang begitu heboh dan berisik. Tentara rakyat ternyata sudah datang kala matahari menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Darah sang mayor bersama darah mayat-mayat lainnya menyala merah di pagi hari yang cerah itu.
***
Di mata perempuan itu, makam yang dia kunjungi tampak memberi suasana hening yang menenangkan. Dia mengambil seikat bunga dan menaruhnya di atas tanah kuburan itu. Seorang anak kecil bersama ayahnya melakukan hal yang sama. Anak itu merenung memandangi makam yang kecil itu. Si perempuan dalam kesedihan memegangi lengan suaminya. Demikian saat itu suaminya berusaha memberi rasa tenang bagi istrinya.
Tidak lama ayah si anak dan suami si perempuan larut dalam pembicaraan yang tampaknya penting. Perempuan itu masih belum mengambil kendali atas dirinya. Masih larut dalam kesedihan ia membungkuk ke arah makam itu, dan mencoba memberi salam. Mungkin itu adalah salam yang paling hangat dan paling lembut yang pernah dia perbuat. Namun, makam itu, seperti orang yang dikuburkan di sana, seperti di dalam hutan waktu itu, tetap diam dan membisu.
*****
Editor: Moch Aldy MA