International Relations Graduate

Guru Honorer: Korban Ketidakadilan Negara

Muh. Leoputraman

2 min read

Berbagai kasus diskriminasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap guru honorer yang terjadi belakangan ini menimbulkan kekhawatiran tentang lanskap pendidikan kita. Posisi guru, utamanya pada tingkatan honorer, sering dianggap remeh oleh masyarakat. Pandangan bahwa guru sebagai tenaga ahli pendidik kian terkikis menjadi tidak lebih dari sekadar pengasuh anak.

Berangkat pada realitas tersebut, dapat dikatakan bahwa posisi guru honorer dalam lingkungan masyarakat sangat dikesampingkan. Guru honorer dianggap pekerjaan golongan bawah. Ini dibuktikan dengan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap guru honorer dalam mendidik anak-anaknya. Jadi, ketika terdapat perbedaan metode dalam mendidik, guru sering kali disalahkan oleh orang tua.

Kerja guru honorer juga semakin diterpinggirkan dengan adanya status guru ASN dan non-ASN. Dalam banyak hal, status ini semakin menghilangkan apresiasi terhadap guru honorer non-ASN. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan: Ketika seorang pendidik digaji dan diapresiasi oleh negara, kontribusi apa yang dilihat? Kontribusinya sebagai guru atau ASN?

Baca juga:

Lebih lanjut, profesi guru dalam lingkungan masyarakat tidak dianggap seksi lagi dan kebanyakan dipilih sebagai pilihan terakhir saat profesi lain sudah tidak bisa ditempuh—“toh kalau mau dapat gaji UMR daftar ASN saja, ujung-ujungnya mayoritas guru baru akan digaji dengan layak kalau sudah berstatus ASN”.

Mengapa Guru Honorer Dipandang Sebalah Mata?

Max Weber dalam socioeconomic status theory memperkenalkan status sosial sebagai sumber kekuasaan yang penting. Ia mendefinisikan status sebagai ‘klaim efektif atas penghargaan sosial yang dalam kaitannya erat dengan hak-hak istimewa yang negatif atau positif’. Menurut Weber, klaim tersebut didasarkan pada gaya hidup, pendidikan formal, keturunan, dan prestise pekerjaan. Dalam lingkungan yang kapitalis, Weber menggambarkan status kehormatan dan keuangan sebagai dua sistem imbalan yang saling terkait. Singkatnya, uang membawa status dan status membawa kekuatan ekonomi (Weiss dan Chaim Fershtman, 1998).

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam status characteristic theory, interaksi-interaksi yang terbentuk di masyarakat secara sosial dikonstruksi oleh atribut-atribut yang dimiliki oleh tiap individu. Teori ini menegaskan bahwa mereka yang memiliki karakteristik status lebih tinggi diharapkan lebih kompeten dibandingkan mereka yang memiliki karakteristik status lebih rendah. Selama interaksi sosial-ekspektasi kinerja ada, maka perbedaan struktur kekuasaan, prestise, dan pengaruh di antara masyarakat akan tetap terbentuk.

Dibandingkan dengan mereka yang berstatus lebih rendah, masyarakat yang berstatus lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam tatanan kekuasaan dan prestise. Secara praktis, individu dengan status tinggi cenderung memiliki lebih banyak kesempatan untuk memberikan saran, lebih sering memberikan saran, menerima penilaian yang lebih positif terhadap saran mereka, dan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap individu lainnya.

Kembali pada realitas profesi guru honorer yang masih amat jauh dari kata sejahtera, tentu ini akan sangat memengaruhi interaksi masyarakat terhadap guru honorer. Pada keempat poin kecenderungan individu dengan status tinggi yang telah dijelaskan sebelumnya, guru sebagai pendidik sekaligus cendekiawan tidak sepatutnya kehilangan kecenderungan tersebut di masyarakat. Bagaimana proses mendidik bisa efektif kalau pendidiknya saja kurang dipandang di masyarakat?

Mempertanyakan kehadiran negara

Dalam realitas dunia yang serba kapitalis ini, negara semakin lama semakin kehilangan perannya untuk mengatur dinamika internal dan eksternalnya, termasuk semakin kehilangan peran negara dalam menjawab permasalahan terkait kesejahteraan guru honorer (Lee dan Stephen McBride, 2007). Dalam banyak hal, negara yang sangat bergantung pada ekonomi global akan sangat rentan untuk tunduk pada kekuatan ekonomi eksternal, yang secara tidak langsung mengarahkan kebijakan negara untuk memprioritaskan pembangunan ekonomi (infrastruktur tol, bandara, pelabuhan, hingga pemindahan ibu kota) yang tidak mendesak dibanding pembangunan kualitas masyarakat secara menyeluruh yang sudah jelas mengalami kebocoran di mana-mana.

Baca juga:

Lebih lanjut, nasib pendidikan kita seakan terpinggirkan dengan adanya penggunaan dana pendidikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dalam hal ini jelas tidak sejalan dengan fungsi pendidikan merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003. Jika anggaran MBG ini dimasukkan dalam anggaran pendidikan, maka alokasi APBN untuk pendidikan hanya akan tersisa 18%—yang awalnya 722,6 triliun terpangkas menjadi Rp 651,61 triliun. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan mandat pasal 49 UU Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan negara untuk mengalokasikan minimal 20% APBN untuk pendidikan.

Berkaca pada hal tersebut, bukan hal yang mengherankan lagi jika kita sering menyaksikan kondisi memilukan yang dialami oleh guru-guru honorer. Dana pendidikan yang salah satu fungsinya untuk menghargai kontribusi guru honorer sebagai pendidik justru tidak dialokasikan dengan serius, dan pada akhirnya mengorbankan nasib garda terdepan pendidikan kita, meninggalkan kesejahteraan guru sebagai sekadar angan-angan.

 

 

Editor: Prihandini N

Muh. Leoputraman
Muh. Leoputraman International Relations Graduate

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email