Sebelum diasingkan ke Boven Digoel, Mohammad Hatta sempat berkata, “Aku rela dipenjara asalkan dengan buku, karena dengan buku aku bebas.”
Perkataan itu memunculkan kesan bahwa Hatta menempatkan buku lebih dari sekadar benda mati yang fungsinya hanya dibaca. Bagi Hatta, buku adalah teman yang padanya terkandung daya magis berupa pembebasan pikiran. Anggapan itu semakin jelas apabila kita melihat hubungan yang terjalin antara Hatta dan buku-bukunya.
Hatta adalah pembaca yang rakus dan karenanya ia sangat mencintai buku. Hubungan kausal itu tumbuh dan berkembang sejak ia masih hidup di Bukittinggi, Sumatra Barat. Lembaq Tuah, kakak Hatta, mengisahkan kedekatan adiknya dengan buku tumbuh sejak ia masih anak-anak. Setiap buku dibuka dan dibacanya dengan penuh kehati-hatian juga kecermatan. Dikisahkan pula bahwa Hatta sudah bisa membaca dan menulis sejak usianya masih lima tahun.
Meskipun begitu, Hatta pernah dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk masuk Sekolah Rakyat (SR). Alasannya karena tangan kanannya belum mencapai telinga kiri saat dilingkarkan ke atas kepala. Hatta baru masuk Sekolah Rakyat satu tahun setelahnya, saat ia sudah berusia enam tahun. Baru berjalan beberapa tahun, karena kepintaran dan kemahirannya dalam berbahasa Belanda, Hatta akhirnya dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS). Tamat dari ELS, Hatta melanjutkan pendidikannya di MULO, Padang.
Hatta dikenal sebagai siswa yang cerdas di sekolahnya. Belakangan, terkuak bahwa kecerdasan Hatta berasal dari ketekunannya dalam mengulang pelajaran dan, tentu saja, kegemarannya dalam hal membaca. Hatta merupakan pembaca setia Oetoesan Hindia dan Neratja yang kala itu merupakan dua surat kabar paling terkemuka di Jakarta. Kebiasaan itu dilakukannya saat masih duduk di kelas 2 MULO.
Salman Alfarizi dalam bukunya, Mohammad Hatta: Biografi Singkat (1902-1980) (2014), menceritakan bahwa perkenalan Hatta dengan buku yang lebih serius baru terjadi ketika ia menjadi siswa di sekolah menengah dagang Jakarta, Prins Hendrik School (PHS). Kala itu, kerabat orangtua Hatta membawanya ke kawasan toko buku di Harmoni. Hatta dibelikan beberapa buku seperti Staathuishoudkunde 2 jilid, De Socialisten 6 jilid, dan Het Jaar 2000. “Inilah buku-buku yang bermula kumiliki, yang menjadi dasar perpustakaanku,” kenang Hatta dalam Memoir (1973).
Hatta termasuk pembaca yang tertib dan taat jadwal. Buku-buku pelajaran dibacanya saat malam hari, sedangkan buku-buku lain dibaca olehnya pada sore hari. Hanya butuh dua tahun untuk menamatkan buku yang berjilid-jilid itu. Bahkan, ada yang sampai diulang berkali-kali.
Sejak itu, Hatta mulai giat mengumpulkan buku-buku. Kebiasaan barunya itu dimulai saat ia berada di Hamburg, Jerman. Selisih nilai mata uang gulden dan mark memudahkannya untuk memborong banyak buku di sana. Kebiasaan ini terus dilakukannya selama menjadi mahasiswa di Belanda. Hasilnya berupa 16 peti buku yang dibawanya saat pulang ke tanah air.
Saat pernikahannya, Hatta menghadiahkan buku kepada Rachmi Rahim sebagai mas kawin. Mulanya, sang ibunda tak setuju karena lazimnya mas kawin merupakan barang berharga seperti emas atau uang tunai. Namun, Hatta malah menghadiahkan Rachmi buku berjudul Alam Pikiran Yunani yang merupakan karyanya sendiri. Kisah ini memunculkan kesan bahwa bagi Hatta, buku lebih berharga daripada emas atau uang tunai.
Kebiasaan Hatta dalam menghadiahkan buku kepada orang terkasih juga turut dirasakan Des Alwi yang merupakan anak angkatnya. Kepada Des Alwi, Hatta pernah menghadiahkan dua buku sebagai kado ulang tahun. Buku-buku tersebut yaitu Don Quixote karya Cervantes dan Kisah Petualangan Baron Von Munchausen. Begitu cintanya Hatta terhadap buku, sampai-sampai ia menjadikannya sebagai simbol cinta itu sendiri.
Kecintaan Hatta kepada buku tidak cukup dilihat hanya dari bagaimana ia mengumpulkan, membaca, atau membagikannya ke orang-orang terdekatnya saja. Hatta juga dikenal tegas dalam hal menjaga buku-bukunya. Suatu kali, Hatta pernah meminjamkan buku kepada keponakannya yang bernama Hasyim Ning. Saat Hasyim membolak-balik halaman buku itu, Hatta mengamatinya dengan saksama, seolah-olah memastikan sejauh mana keponakannya dapat memahami isi buku tersebut.
Hatta marah besar saat ia menemukan ada halaman yang dilipat oleh Hasyim. Ia pun menyuruh agar sang keponakan menggantinya. Dengan penuh rasa bersalah, Hasyim pun berkeliling Jakarta untuk mencarikan mengganti buku tersebut. Namun, hasilnya nihil karena buku tersebut dibeli oleh Hatta di Eropa. Melihat keponakannya pulang dengan tangan hampa, Hatta hanya tersenyum. Seperti itulah cara Hatta memberikan pelajaran kepada keponakannya agar ia lebih menghormati sebuah buku.
Baca juga:
Menjelang kematiannya, Hatta masih mencemaskan nasib buku-bukunya. Saat itu, ia berpesan agar buku-bukunya dijual saja. Namun, ketiga anaknya yang bernama Meuthia, Gemala, dan Halida Hatta menolak. Malah, mereka bertekad untuk merawat buku-buku tersebut. Perpustakaan Bung Hatta menjadi bukti nyata tekad ketiga buah hatinya itu.
Hatta dan buku-bukunya ibarat dua sisi koin yang mustahil untuk dipisahkan.Tak heran jika sewaktu diasingkan ke Boven Digoel dan Banda Neira, Hatta sampai memboyong ratusan buku sebagai teman melewati masa-masa riskan sebagai tahanan politik. Boleh dibilang, hubungan antara Hatta dan buku-bukunya memang telah melampaui umumnya hubungan sederhana antara pembaca dan sebuah buku.
Hubungannya dengan buku-buku menunjukkan bahwa Hatta bukan pembaca yang tidak tahu berbalas budi, sekalipun hanya kepada buku. Sebab telah merasakan nikmatnya membacalah, Hatta memperlakukan buku-bukunya dengan penuh kehormatan layaknya seorang teman. Laku inilah yang menurut saya membuat sosok Hatta menjadi salah satu teladan yang ideal di medan literasi hari ini.
Editor: Emma Amelia