Nenek moyang kita bukan pelaut, tapi ketiadaan.

Menonton Sepotong Sejarah Industri Rokok Nusantara

Rido Arbain

2 min read

Sejak sekian dasawarsa lalu, tampaknya belum pernah ada medium film yang secara sengaja mengangkat sejarah tentang perkembangan rokok di Indonesia. Sekalipun ada, yang diangkat justru kontranarasi atas dinamika ketegangan antara industri rokok, petani tembakau, hingga dampaknya bagi kesehatan. Misalnya, film dokumenter rilisan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)—sebuah organisasi nonprofit di sektor kesehatan—yang berjudul Di Balik Satu Batang (2022).

Tanpa bermaksud menihilkan usaha CISDI dalam menyuarakan upaya pengendalian tembakau atau klaim mereka bahwa rokok merupakan penyebab utama dari banyak penyakit kronis, kita patut berbangga akhirnya ada satu film yang berani mengangkat kisah berlatar sejarah industri kretek. Film serial Gadis Kretek (2023) karya pasangan sutradara Kamila Andini dan Ifa Isfansyah, yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Ratih Kumala ini mengajak penonton melihat balik layar industri rokok Indonesia.

Baca juga:

Gadis Kretek dalam Buku dan Film

Berbekal kisah tentang pabrik rokok milik sang kakek, Ratih Kumala mencoba merekam sejarah tentang bagaimana eksistensi industri rokok yang terus bertahan sejak zaman kolonial Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa pemberontakan PKI pasca kemerdekaan. Kisah itu ia tuangkan dengan cermat dalam manuskrip novelnya yang diterbitkan pada 2012 silam dan saat ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Dengan ide dan materi cerita yang menarik, tak mengherankan jika sebelas tahun kemudian kisah tentang dunia kretek itu diadaptasi dalam medium visual. Gadis Kretek diejawantahkan menjadi serial lima episode, diawali dengan kisah pengembaraan Lebas (Arya Saloka)—bungsu dari tiga bersaudara ahli waris perusahaan Kretek Djagad Raja—dalam mencari sosok Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo), nama yang disebut-sebut oleh sang ayah saat sedang sekarat.

Usaha pencarian tentang siapa Jeng Yah pada akhirnya tak hanya menghadirkan intrik drama keluarga dan persaingan bisnis secara turun temurun, tetapi juga menggali kembali jejak sejarah pabrik hingga lika-liku persaingan industri kretek rumahan yang berbasis di Kota M—diasumsikan inisial dari Muntilan, salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Meskipun sejarah kretek yang diceritakan tak sedetail narasi dalam sumber novelnya, apa yang dirangkum oleh film serial ini cukup menjelaskan konflik utamanya dengan ringkas. Karakter tokoh yang muncul di tiap era juga berhasil menjadi representasi stratifikasi sosial dari ukuran kekayaan, kekuasaan, hingga derajat ilmu pengetahuan.

Dari banyaknya isu yang dibahas—mulai dari intrik keluarga, budaya patriarki, hingga kompleksitas asmara—sebetulnya benang merah Gadis Kretek sudah bisa disimpulkan dan diberi label khusus: tragedi romansa. Sementara itu, sisa lainnya hanya sejarah kolektif yang rasa-rasanya tidak akan disajikan dalam buku pelajaran mana pun.

Sejarah Rokok dan Silsilah Penemuan Kretek

Zaman dahulu, orang Belanda menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu dengan istilah ro’ken, misalnya een pijp ro’ken (mengisap sebuah pipa), sebagaimana yang disebutkan oleh Gericke-Roorda dalam kamus bahasa Jawa-Belanda mereka yang terkenal, Javaansch-Nederlandsch Woordenboek jilid I (1901). Penggunaan kata rokok sendiri baru populer pada akhir abad XIX, ditandai dengan lahirnya industri kretek di Kudus dan tersiarnya jenis rokok baru ini di berbagai daerah.

Meski dewasa ini rokok kretek dicap sebagai pengundang berbagai penyakit, mula terciptanya kretek justru dari keinginan mulia untuk meringankan sesak napas penderita asma. Menurut sejarahnya, orang-orang tempo dulu sengaja mencari alternatif cara memasukkan cengkeh ke dalam tubuh, yaitu dengan mengombinasikannya dengan tembakau untuk diisap.

Dikutip dari buku Hikayat Kretek (2016) karya sejarawan Onghokham dan budayawan Amen Budiman, sejarah lahirnya industri kretek di Kudus—bahkan di Indonesia—tidak bisa dipisahkan dari kisah penemunya, Haji Jamhari, yang pada suatu waktu pernah menderita penyakit sesak dada berkepanjangan. Untuk mengobati penyakitnya, Haji Jamhari mencoba memakai minyak cengkeh dengan digosokkan ke bagian dada dan punggung. Perlahan, ia merasa baikan. Lantas, ia mencoba mengunyah cengkeh, hasilnya jauh lebih baik. 

Kemudian, terlintas dalam pikirannya untuk memakai rempah-rempah tersebut sebagai obat. Dengan cara sederhana, cengkeh itu dirajang halus lalu dicampurkan pada tembakau yang ia pakai untuk merokok. Setelah mengisap dalam asapnya sampai masuk ke paru-paru, hasilnya di luar dugaan, penyakit dada Haji Jamhari seketika sembuh. Tak ayal, cara penyembuhan itu pun dengan cepat menyebar ke seluruh daerah sekitar tempat tinggalnya. Sejak saat itulah Haji Jamhari mulai memproduksi rokok kretek dalam jumlah banyak.

Pada mulanya, warga Kudus menyebut rokok hasil penemuan Haji Jamhari sebagai rokok cengkeh. Namun, lantaran saat diisap menimbulkan bunyi “kretek-kretek” menyerupai bunyi daun yang dibakar akibat pemakaian rajangan cengkeh untuk campuran tembakau, jenis rokok ini akhirnya disebut kretek.

Haji Jamhari meninggal dunia di Kudus pada 1890. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa lahirnya industri kretek di Kudus terjadi antara 1870 dan 1880. Sementara itu, dalam serial Gadis Kretek, latar yang dipilih adalah tahun 1960-an. Artinya, latar cerita terjadi puluhan tahun sejak industri kretek mulai maju dan menyebar ke daerah lain di Pulau Jawa.

Tak bisa dimungkiri jika ada segelintir penonton yang menganggap Gadis Kretek sedikit meromantisasi perilaku merokok dengan berseliwerannya potongan adegan Dian Sastrowardoyo dan juga Putri Marino sedang mangisap kretek dalam visual yang artistik. Padahal, apabila kita mau mendalami pesan film ini secara subtil, sejatinya kita telah diingatkan bahwa semua karakter perokok dalam Gadis Kretek hidupnya berakhir menderita. Mau tak mau, kita harus sepakat bahwa merokok memang sangat berbahaya.

 

Editor: Emma Amelia

Rido Arbain
Rido Arbain Nenek moyang kita bukan pelaut, tapi ketiadaan.

One Reply to “Menonton Sepotong Sejarah Industri Rokok Nusantara”

  1. Mendebat tentang rokok barangkali menjadi akan menjadi perdebatan yang tak pernah selesai. Sebagaimana yang disampaikan penulis, bahwa Haji Jamhari menemukan rokok cengkeh, yang selanjutnya disebut rokok kretek itu berawal dari pencarian sebuah alternatif untuk memasukan cengkeh ke dalam tubuh karena asma. Sampai akhirnya ditemukannya dengan merokok.

    Jika kembali merunut dalam hal itu, di akhir kalimat penulis mengatakan bahwa semua perokok menderita. Perlu ditelisik lagi, apa saja campuran rokok hari ini? Sebagaimana sekali lagi, Haji Jamhari memakainya untuk obat asma.

    Perilaku Haji Jamhari ini mungkin bisa dikatakan sama dengan perilaku kita hari ini yang kesulitan ketika harus mengonsumsi obat. Maka, beberapa dari kita, menggunakan lantaran roti, pisang bahkan sampai nasi.

    Saya pribadi bukan perokok. Tapi, sampai hari ini, jika saya batuk pilek yang agak lumayan lama. Biasanya saya merokok 2-3 batang rokok kretek berlabel angka itu. Sama seperti Haji Jamhari, saya merokok untuk memasukkan kandungan nikotin dan khasiat tembakau lainnya ke dalam tubuh saat batuk. Hasilnya, selalu membaik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email