Pemikiran dan gerakan feminisme di era sekarang ini kian menemukan relevansinya. Banyak sekali permasalahan sosial, ekonomi, pendidikan, dan bidang lainnya dapat dijawab melalui formula-formula yang dibuat berdasarkan asas kesetaraan gender yang secara konsisten diperjuangkan oleh kaum feminis di berbagai generasi. Tak terkecuali tentang seksualitas. Bidang yang berselimut tabu ini, bahkan menjadi salah satu fokus utama perjuangan pembebasan feminisme dari cengkeraman patriarki.
Dalam buku Perang Seks Feminis, Véronique Mottier mencatat sejarah perjuangan, pemikiran, dan penelitian kaum feminis terkait seksualitas. Buku terbitan Penerbit Odise & Ficus Publishing ini kaya akan data, arsip, dan informasi penting. Di dalamnya, Mottier menerangkan tokoh-tokoh feminis antar generasi yang berfokus pada perjuangan pembebasan seks sebagai perlawanan terhadap eksploitasi dan dominasi patriarki dalam semua lanskap kehidupan. Berbekal kepakarannya di bidang seksualitas, gender, dan teori feminis, Profesor sosiologi di University of Lausanne Swiss ini mampu menyajikan data yang melimpah menjadi tulisan ringkas, menarik, namun tetap berbobot.
Mottier menyajikan isu-isu hangat yang menjadi perdebatan di antara kaum feminis sendiri terkait kebebasan mengekspresikan hasrat seksual, fungsi organ seksual, penyakit kelamin, penelitian seks, hingga prostitusi, dan pornografi. Dari pemaparannya terkait pro-kontra dan konflik seksualitas dalam tubuh feminisme sendiri, Mottier berhasil memotret gerak pemikiran-pemikiran feminis yang sangat dinamis, demokratis, terbuka, dan ilmiah, jauh dari sifat ideologis buta seperti yang biasa disematkan para pembenci gerakan kesetaraan gender ini.
Gelombang Perlawanan
Gelombang pertama feminisme yang muncul pada akhir abad ke-19 memberikan prioritas pada kesetaraan sipil dan politik bagi perempuan. Seksualitas mulai menjadi sasaran kritik karena adanya hubungan gender yang tidak setara di dalamnya.
Pada era itu, seksualitas perempuan menjadi sasaran penelitian ilmiah dan pengawasan moral tertentu. Salah satu contoh dari implikasinya adalah tuduhan bermuatan moral pada perempuan yang bekerja di prostitusi dalam penyebaran penyakit pada laki-laki yang menggunakan jasa mereka. Penyakit menular seksual (PMS) diasosiasikan sebagai invasi asing dan pengkhianatan. Dalam kasus ini, perempuan menjadi titik tumpu biang kesalahan, sehingga peraturan dan undang-undang negara seringkali menyasar pada perempuan—terlepas dari fakta bahwa ia adalah korban eksploitasi seks yang dilakukan oleh lelaki. Di sinilah titik yang membuat feminis menentang adanya prostitusi dan menghendaki penghapusannya secara total.
“Kampanye feminis gelombang pertama memobilisasi moral dan model biologis dari seksualitas untuk memperdebatkan perlunya melindungi perempuan dari konsekuensi mengerikan nafsu laki-laki.”
—Mottier, Perang Seks Feminis (2020)
Tidak semua feminis setuju dengan ide besar feminisme gelombang pertama karena dinilai terlalu biner dalam memandang seksualitas perempuan. Mereka juga menentang kaum moralis yang mengultuskan pernikahan.
Dalam gerakan reformasi seks radikal, beberapa pemikir feminis menginginkan kebebasan seks yang lebih besar bagi lelaki ataupun perempuan. Mereka menyerang undang-undang anti homoseksualitas, menuntut pemberian akses informasi pengendalian kelahiran, legalisasi aborsi, dan ‘free love’, yaitu memberikan kebebasan pada pasangan untuk menentukan jenis ikatan secara bebas. Beberapa tokoh feminis yang menyuarakan free love adalah Mary Wollstonecraft, Emma Goldman, Lillian Harman, Ito Noe, dan Alexandra Kollontai. Walaupun mereka secara tegas menolak institusi pernikahan, sebagian besar dari mereka mendukung hubungan monogami. Gerakan feminis arus utama waktu itu sepakat tentang hak perempuan menolak tuntutan seksual laki-laki yang semaunya sendiri dan jumlah kehamilan yang berlebihan, kepemilikan atas tubuh mereka sendiri, dan konsep ‘sukarela menjadi ibu’.
“Para feminis free love melihat pembebasan seksualitas sebagai hal penting untuk transformasi dalam posisi sosial perempuan.”
—Mottier, Perang Seks Feminis (2020)
Revolusi Seksual
Gerakan feminisme gelombang kedua yang muncul pada era 1960-an dan 1970-an, adalah di mana perempuan sudah mulai banyak memasuki lapangan pekerjaan dibanding era sebelumnya, sehingga menempatkan seksualitas sebagai isu sentral di agenda utama mereka. Kendali perempuan atas pilihan hidup mereka semakin meningkat.
Pada era itu, juga terjadi perubahan besar di bidang pengendalian reproduksi. Kerjasama ilmuwan Margaret Sanger dan filantropis Katherine McCormick untuk mendanai riset tentang pil kontrasepsi modern yang dilakukan Karl Djerassi menuai kesuksesan di tahun 1960. Di masa itu pula mulai ditemukan teknologi reproduksi baru yaitu pembuahan in vitro (bayi tabung). Dimulailah era pemisahan antara hubungan seksual dan reproduksi yang melibatkan transformasi radikal bagi semua gender. Terjadi permitivitas seksual dan lahirnya makna baru tentang cinta, seks, dan hubungan romantis di negara-negara Eropa dan menyebar ke seluruh dunia.
Pada akhir 1960 mulai bermunculan kelompok feminis yang mendorong perempuan untuk mengeksplorasi tubuh dan kapasitas mereka untuk kenikmatan seksual. Dalam bukunya yang berjudul Liberating Masturbation (1973), Betty Dodson mengajukan ide tentang masturbasi perempuan sebagai cara untuk membalikkan represi seksualitas. Ia juga berkampanye melawan sikap posesif monogami, cemburu, dan perasaan bersalah dalam hubungan seksual.
Politik Seks
Buku Sexual Politic (1970) yang ditulis Kate Milett telah memancing polemik dan diskusi panjang di antara aktivis feminis dan menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih segar. Feminis sosialis Zillah Eisenstein, Michele Barrett dan Juliet Mitchell beralih ke Marxisme, Freudianisme, atau campuran keduanya untuk melawan represi seksual yang berkelindan dengan kapitalisme.
Sementara itu Anne Koedt dan Shere Hite sibuk dengan produksi tulisan-tulisannya untuk melawan pandangan misoginis terkait seksualitas perempuan yang juga merebak di era itu. Bahkan lebih jauh, Ti-Grace Atkinson, Sheila Jeffrey, dan Adrienne Rich mengukuhkan wacana tentang lesbianisme sebagai opsi perlawanan terhadap patriarki. Gagasan tentang ‘kontinum lesbian’ menjadi cara yang berpengaruh untuk menggalang solidaritas antara perempuan, baik heteroseksual ataupun lesbian.
Awal tahun 1970-an juga ditandai dengan munculnya kelompok solidaritas lesbian seperti Chicago Lesbian Libertion, Lesbian Separatist Group, Collective International Lesbian International Terrors, dan Front des Lesbiennes Radikales. Mereka lahir untuk memperjuangkan hak-hak lesbian dan perempuan pada umumnya. Kemunculan kelompok-kelompok tersebut diawali dengan munculnya manifesto lesbian, The Woman-Identifed Woman (1971) yang ditulis oleh kolektif Radicalesbians AS.
Perpecahan Feminis
Muncul dan menguatnya kelompok lesbian memancing ketidaksepakatan dari beberapa kalangan feminis yang menganggap separatisme lesbian sebagai teroris, totaliter, dan tidak sesuai dengan semangat feminisme. Namun ketegangan antar feminis tidak berhenti di situ saja. Perbedaan pandangan tentang pornografi juga menjadikan gerakan feminis terbelah antara pro dan kontra. Masing-masing mempunyai argumen yang kuat dan strategis untuk tetap bersikukuh pada pendiriannya masing-masing.
Kelompok pertama adalah Women Against Pornography (WAP) yang dimotori oleh tokoh feminis terkemuka seperti Andrea Dworkin, Shera Hite, Gloria Steinem, dan Adrienne Rich. Didukung oleh feminis pemikir Susan Brownmiller, Chaterine MacKinnon, dan Susan Grif, WAP menyatakan bahwa konsep pornografi dan prostitusi sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dworkin menganalisis dominasi seksual yang menjadi inti dari pornografi adalah ciri dasar laki-laki dan perempuan berhubungan seks dalam masyarakat patriarkal.
Namun pendapat WAP tidak disetujui semau kelompok feminis. Pakar feminis seperti Carol Vance, Ellen Willis, Carol Queen, Susie Bright, Gayle Rubin, dan Lynne Segal yang mendefinisikan mereka sebagai feminis ‘seks positif’, menganggap sikap anti-pornografi memiliki dasar yang terlalu rapuh karena analisisnya terlalu menyimplifikasi. WAP dianggap tidak mampu membedakan pornografi yang mengandung kekerasan, misoginis, dengan pornografi yang diproduksi oleh lesbian/perempuan untuk lesbian/perempuan. Mereka menganggap gerakan anti-pornografi justru beresiko memberangus kebebasan berbicara dan berekspresi serta mudah disusupi dengan gerakan moral yang anti terhadap hak lesbian dan gay. Kondisi ini pada akhirnya melahirkan kutub baru yaitu Feminist Anti-Censorship Taskforce (FACT).
Liss Duggan dan Nan Hunter menggambarkan konflik antara seks-positif dan anti-prostitusi/pornografi sebagai perang seks yang menjadikan perpecahan serius gerakan feminis di tahun 1980-an. Konflik itu tidak sebatas strategi politik, tetapi juga menyangkut perbedaan cara berpikir yang fundamental terkait seksualitas dan hubungannya dengan relasi kuasa antar gender. Bahkan resonansi konflik ini masih terasa hingga saat ini.
Masa Depan
Terlepas dari konflik yang terjadi, feminis telah berhasil baik secara praktis maupun teoretis dalam menggunakan strategi pembebasan seksual sebagai alat perlawanan terhadap sistem patriarki dan ketidaksetaraan gender. Pendidikan seks yang komprehensif, layanan kesehatan seksual yang aman dan bebas stigma untuk semua gender, dan kebebasan perempuan untuk menentukan pilihannya sendiri adalah beberapa capaian positif gerakan pembebasan seksualitas feminis.
Dalam buku Perang Seks Feminis ini, Mottier tidak memberikan statemen memihak kubu yang mana. Ia hanya berusaha membingkai sejarah gerakan pembebasan feminisme untuk kesetaraan gender secara runut dan komprehensif. Terlepas konflik yang terjadi, ia ingin menunjukkan pada dunia bahwa gerakan feminis berhasil meraih capaian-capaian untuk kehidupan yang lebih baik, setara, dan sejahtera. Manfaat nyata yang tidak hanya dirasakan oleh kalangan feminis saja, tapi juga seluruh umat manusia di dunia.
*****
Editor: Moch Aldy MA