Program Sastra Masuk Kurikulum menyisakan polemik. Program tersebut di awal rilisnya memang mendapat sorotan apresiasi. Namun, selang beberapa waktu, gegap gempita selebrasi, apresiasi, dan glorifikasi nyatanya harus ditunda. Pengamat sastra, organisasi masyarakat, serta para pegiat komunitas sastra, seni, dan budaya melayangkan kritik tajam padanya.
Respons paling dominan mengimbau agar Kemdikbudristek mencabut buku panduan Sastra Masuk Kurikulum. Selain karena disinformasi, penyesatan, dan editorial yang buruk, buku panduan Sastra Masuk Kurikulum dinilai sarat dengan konten teks berbau cabul, seksis, kekerasan, dan penuh unsur pornografi. Nirwan Dewanto bahkan menyatakan belum ada kajian pedagogi yang mendalam perihal dasar pemilihan buku.
Baca juga:
Sebagai guru Bahasa Indonesia yang tumbuh besar dari komunitas sastra, seni, dan budaya, saya melihat kasus ini sungguh dilematis—antara mengapresiasi, turut mengkritisi, atau bahkan menolak. Terlepas dari itu, saya merasa yang perlu disorot lebih holistik, komprehensif, dan inklusif adalah sudut pandang mengenai adanya teks bernuansa cabul dalam sastra
Secara text by text, narasi cabul memang bermasalah, terlebih lagi bila orientasinya pada dan untuk pendidikan. Namun, apa subjek pendidikan akan bermain pada batas tersebut? Mengapa kita tidak membicarakan keutuhan teks sastranya sebagai wujud gagasan?
Membaca Keutuhan Sastra
Pada titik ini, saya sebagai pembaca sastra dan seorang guru mengalami kebuntuan dalam menerima persoalan tersebut. Memang tidak semua literatur sastra saya baca. Mentok novel-novel sastrawan populer dan pemenang sayembara prestise nasional. Sekali, dua kali saya menyimak isu terbaru. Selebihnya, saya tidak terlalu tekun mengikuti perkembangan sastra secara menyeluruh.
Sejauh keterlibatan pada batas tersebut, apa yang disebut narasi cabul, seksis, pornografi, LGBT, dan sejenisnya rasanya memang mustahil untuk dihindari saat membicarakan karya-karya sastra. Entah sebagai inti cerita, sampingan alur, atau hanya sekadar bumbu rasionalitas emosi dan situasi setting. Selalu saja ada bahasan yang mengarah ke sana.
Gampangnya, saya ingin mengatakan bahwa nilai tabu terkait seksualitas sangat sulit dilepaskan dalam narasi keutuhan sastra. Bahkan, dalam banyak literatur dan diskusi terkait nalar kritis, sastra memang bermain pada penyingkapan realitas tabu tersebut. Itu sebabnya Budi Darma mengatakan bahwa para penulis fiksi adalah orang-orang gagal sehingga mereka menciptakan realitas kedua berupa fiksi.
Senada dengan hal tersebut, menjadi relevan untuk memahami maksud Seno Gumira; jika jurnalistik dibungkam, sastra berbicara. Artinya, sastra memang dalam konteks ini menjadi medium alternatif yang mengungkap hal tabu dan tersembunyi—yang gagal dibicarakan bahasa formal ilmiah, filsafat, jurnalistik, ataupun agama.
Dari sanalah metode membaca kritis (literasi) seperti harapan semua orang menjadi mungkin bermain dan terlaksana. Sebab, dalam wilayah imajinasi, geliat ketermungkinan-ketermungkinan adalah penggerak utama. Di dalam ruang subjektifitas itulah berpikir menjadi keriangan dan kegembiraan. Terlepas dari benar dan salah, pada akhirnya metode berpikir dan jejak argumennya yang nanti jadi paradigma.
Baca juga:
Dalam sastra Prancis, misalnya, ada Madame Bovary mahakarya Gustave Flaubert. Pada awal kemunculannya, novel tersebut memicu banyak kontroversi karena beberapa bagian dianggap vulgar atau tidak senonoh. Banyak alur cerita yang begitu berani dan blak-blakan menyinggung pikiran konservatif. Seiring perkembangan interpretasi, novel tersebut disinyalir memberi pengaruh pada kesadaran emansipasi.
Kemudian, di Rusia ada novel Lolita karya Vladimir Nabokov yang tidak kalah bikin heboh pada masanya. Lolita bahkan sangat kontroversial dan penuh guncangan moral. Perdebatan yang menyertainya begitu tajam. Novel ini mengisahkan seorang paruh baya yang obsesi seksualnya begitu tinggi pada gadis 12 tahun, Dolores Haze. Lolita lantas disebut sebagai buku porno populer. Namun, tawaran dari ruang tersebut menjadikan pedofilia berpindah dari ruang bawah tanah kesadaran kolektif yang suram dan jarang dikunjungi ke garis depan kesadaran moral kita.
Di Indonesia tidak kalah menarik, ada novel karya Ayu Utami, Larung dan Saman. Apakah kita juga akan mempersoalan narasi seksualitas dalam novel itu dengan mengesampingkan keutuhan pesan, kesan, dan gagasan di dalamnya?
Ada juga novel luar biasa karya Eka Kurniawan, Lelaki Harimau, yang masuk nominasi Man Booker Prize 2016. Apakah kita juga akan mempersoalkan bagian-bagian erotis, seksualitas, dan hubungan gelap pada cerita tokohnya? Kemudian, novel Pulang dan Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, apa juga akan kita persoalkan bait demi bait narasi kekerasannya?
Kalau dibedah, cukup banyak yang bisa dijadikan referensi perihal hubungan seksualitas, pornografi, dan persoalan moral lainnya dengan karya sastra. Namun, apabila karya sastra pada akhirnya dipahami sebatas penggalan teks beserta penafian (disclaimer) sana-sini yang rentan dengan kebiasan, karya sastra tidak lebih dari sebuah “bacaan sampah” yang tertutup untuk pendidikan. Harapan pembelajaran dari sastra tidak pernah terwujud.
Ruang Kelas, Ruang Bedah Pikiran
Tidak bermaksud mewajarkan atau menormalisasi persoalan negatif, tetapi justru ruang kelas dan sekolah harus membicarakan persoalan-persoalan yang ada dalam sastra. Membicarakan sastra berarti membicarakan pula narasi cabul, seksis, pornografi, LGBT, dan sejenisnya itu. Kalau bukan di sekolah, di mana kita membicarakan itu semua?
Tujuan utamanya tentu sebatas ruang edukasi dan pembedahan gagasan. Untuk masalah ketepatan rekomendasi dan kesiapan mental peserta didik, penyelesaiannya ada pada kepekaan psikologis, nalar didaktif guru, dan pengetatan hal teknis.
Sederhananya, pendidikan jangan sampai menutup diri pada segala variasi narasi dalam sastra. Apalagi sampai berlindung dalam tembok moralitas, agama, budaya, dan lain sebagainya. Perlu disadari bersama terlebih dahulu, selain menawarkan bahasa sastrawi, corak bahasa dalam sastra adalah lautan emosi dan sosiologis.
Apa yang ada dalam sastra bagaimanapun harus mampu dan menjadi perbincangan itu sendiri (dialektika). Entah di dalam kelas, ruang diskusi, debat publik, maupun narasi intelektual lainnya. Sastra selalu tentang dialog. Sastra dengan pemahaman tersebut akan benar-benar menyumbang keterjalinan pikiran kritis yang lebih dewasa.
Peran guru, sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam hal ini adalah penyaring. Mereka harus bermain sebagai orkestrator. Merekalah penjaga sekaligus pemain didaktik itu. Bukankah kita akan sangat kehilangan, terbenam, dan terpuruk jika persoalan tabu tidak pernah dibicarakan di manapun? Jangan sampai sastra tereduksi lewat kefanatikan moral klaim agama, politik, budaya, dan sosial. Biarkan sastra membentang luas dalam dunia gagasan—yang meminta diinterpretasi.
Baca juga:
Program Sastra Masuk Kurikulum pada harapan dasarnya sangatlah baik sebagai upaya memperluas pembicaraan tentang sastra, peningkatan literasi, dan nalar kritis. Sekalipun ada catatan di sana-sini lewat kritik, saran, dan masukan, semuanya tetap perlu dielaborasi dalam kedewasaan menyongsong semangat perubahan dan perbaikan, bukan malah mempersoalkan satu-dua hal yang meruntuhkan keutuhan narasi.
Tidak ada salahnya menunggu hasil revisi dari Kemdikbudristek. Banyak orang melakukan hal salah untuk tujuan yang benar. Mungkin nasib dari program Sastra Masuk Kurikulum ini ada dalam ruang lingkup tersebut. Selama menyikapi itu, jangan sampai mereduksi sastra pada penggalan-penggalan yang banal.
Sastra bagaimanapun adalah keutuhan imajinasi yang menawarkan gagasan dalam kebebasan narasi sastrawinya. Kemudian, biarkan dan dukung pendidikan untuk membicarakannya sebagai kesadaran kolektif pikiran kritis. Sastra harus diperbincangkan di manapun. Semua dapat memulainya di sekolah.
Editor: Emma Amelia
Perlu ada kejelian dan pemikiran serta pertimbangan yang (sangat) matang untuk menghadirkan karya sastra dengan beragam isu (baca: seksualitas) yang dihadirkan. Apalagi jika dimasukkan kedalam kurikulum sekolah. Saya sepakat jika diasumsikan bahwa karya sastra adalah salah satu sarana pengungkapan dan pembelajaran soal hal-hal diluar produk literasi non-fiksi. Tapi tentu saja bijak menentukan kepada golongan anak didik mana yang bisa menjadi penikmatnya. Setara SMA saya rasa pas.
Para pendidik pun perlu ada pelatihan khusus. Gak hanya mengandalkan asumsi pribadi. Lokakarya yang matang tentunya akan memberikan manfaat yang tepat bagi anak didik.