Media sosialku penuh dengan ribut-ribut polemik Sastra Masuk Kurikulum. Sambil mengobrol dengan teman di warung kopi, aku sesekali melirik keributan virtual di media sosial.
Sang penyeduh kopi di warung itu adalah teman lamaku. Ia adalah seniorku yang dulu seorang penyair berprestasi, memenangkan sayembara ini dan itu, residensi ke mana-mana. Kini, ia banting setir jadi penjaja kopi cangkir, murah dan meriah. Ya, kami mahasiswa Sastra Indonesia terbiasa duduk-duduk di warung itu untuk melamun hingga tertawa kencang.
Sampailah kami dalam topik panas itu. Seorang teman melempar surat terbuka Nirwan Dewanto pada kurator dan penyusun Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Buku panduan itu diterbitkan dalam rangka Sastra Masuk Kurikulum Kemendikbud baru-baru ini.
Sambil berkelakar, kami berbincang ke sana-kemari sampai mantan penyair yang sehari-hari bekerja menyeduh kopi itu bicara:
“Masyarakat sastra Indonesia itu ributnya minta ampun, tapi, ya, enggak ke mana-mana juga. Ribut-ribut itu nggak ngaruh untuk ibuku yang lagi bikin kue basah untuk dijual di pasar.”
Baca juga:
Celetukan itu mungkin hanya dimaksudkan sebagai bahan candaan. Sambil lalu, teman-temanku hanya mengangguk dan tersenyum. Tapi, celetukan itu membuatku berpikir banyak hal. Mengapa repot-repot membicarakan kanonisasi sastra? Toh, isu itu hanya isu para sastrawan, isu yang berputar dalam ruang skena sastra, dalam kafe hingga warung kopi yang jadi langganan sastrawan.
Obrolan soal polemik kanonisasi dan Sastra Masuk Kurikulum ini jadi semacam gosip skena sastra semata, tak terhubung dengan Ibu temanku yang berdagang jajanan pasar atau bapakku yang sedang bekerja di kebun sawit. Polemik tingkat intelektual tinggi ini jadi semacam obrolan dalam “penjara” sastra, dalam napi-napi yang melekat pada dinding bernama kesusastraan.
Dari Kanonisasi Hingga Kontestasi
Berangkat dari keresahan kecil itu, saya berpikir bahwa kanon tetaplah kanon. Tanpa polemik ini pun setiap kelompok sastra punya budaya kanonisasi, baik soal buku sastra yang dijadikan kitab suci, patron skena, atau aturan tak tertulis di tongkrongan para sastrawan. Semua bergerak dari dan oleh kanon, baik yang terlihat bentuknya ataupun tidak.
Geng sastra di Salihara punya kanon selera, geng sastra di Rawamangun juga punya patronnya, geng sastra di Paviliun Puisi juga punya denyut nadi skena sendiri, geng sastra paman-paman tua di Yogyakarta juga punya aturan main sendiri. Coba lanjutkan dengan variabel lingkar dan jejaring para sastrawan, tentu dengan situs spesifiknya sendiri, maka kamu akan menemukan peta sebaran yang agaknya merata.
Isu mendasarnya kemudian bukan apakah kanon itu perlu atau tidak, tetapi bagaimana melampaui setiap hasrat dan tiap-tiap bentuk kanonisasi. Sistem penerbitan buku itu sendiri, dalam sejarahnya, dibentuk oleh upaya melakukan kanon.
Buku adalah kanon, puisi sejatinya terjadi sebagai peristiwa, sastra sejatinya terjadi sebagai tuturan bijak dari generasi ke generasi. Apa yang terwariskan lewat sastra adalah nilai, wacana, gagasan, kebijaksanaan. Bukan hanya cetak-mencetak kata dan kalimat semata. Saya jadi bertanya, apakah “sastra” itu sendiri, dalam konvensi estetik yang dijaga ketat, selalu dan akan selalu memonopoli yang liyan?
Apakah tutur lisan yang tak terarsipkan di Pulau Obi itu adalah puisi-bunyi? Apakah teen-lit di Wattpad yang diterbitkan penerbit arus utama adalah prosa sastrawi? Anak-anak SMP-SMA kebanyakan, toh, lebih dekat dengan teen-lit dibandingkan Tetralogi Buru. Buktikan sendiri dengan melacak media sosialmu dan Wattpad secara berkala!
Menyebut proyek Sastra Masuk Kurikulum sebagai kongkalikong tingkat elit sama busuknya dengan melanjutkan tongkrongan sastra yang tertutup rapat dari realitas sekitarnya. Setiap generasi, setiap aliran, atau bahkan setiap tongkrongan kesusastraan selalu punya caranya menyusun kanon. Lalu, mengapa Sastra Masuk Kurikulum ini dihujat banyak pihak? Bukankah pihak-pihak yang menolak, bahkan menghujat, juga punya budaya kanonisasinya masing-masing?
Semua itu saya pikir bermuara pada kontestasi, yakni seberapa tinggi dan kompleks kelindan antara sastra dengan kekuasaan. Jelas, kerumitan dari sebuah kontestasi pasti menentukan seberapa besar polemiknya. Apalagi, pola sirkulasi dan distribusi pengetahuan sastra kita bergerak linier, dengan Jawa sebagai pusat dan Jakarta sebagai otaknya.
Saya cukup bersyukur melihat inisiasi yang luas dan mendalam beberapa tahun ini. Makassar, Flores, Banggai, Lombok, dan beberapa daerah luar Jawa lainnya mulai mengupayakan sastra agar sedenyut dan senadi dengan rahim kebudayaan masing-masing kawasan.
Baca juga:
Soal Puisi Tindakan atau Prosa Milik Warga
Saya ingin membingkai sastra dalam pertanyaan besar:
Bagaimana sastra menjadi fungsional dan mewujud jadi hal konkret sekaligus menjadi begitu sehari-hari dan berjangkar pada kritisisme yang mendalam?
Saya membayangkan sebuah puisi yang benar-benar menjadi tindakan, peristiwa, ruang, atau minuman dalam gelas. Ia kemudian tak hanya permenungan tekstual berbasis lembaran kertas. Saya membayangkan prosa yang benar-benar tak hanya lembaran kata, tetapi bisa dijadikan voucher makan siang gratis dalam dapur-dapur umum yang didirikan para sastrawan.
Teks puitis atau bundel prosaik bukankah memang tak ada guna praktisnya? Sebab, kita butuh teks yang bergerak di ruang keseharian, prosa yang menubuh jadi lelaku hidup bersama.
Pun, jika ia masih berbentuk cetak-mencetak kata, saya membayangkan karya seperti Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri yang dieditori Afrizal Malna bersama-sama warga tergusur di beberapa kampung kota Jakarta. Karya itu jadi arsip bergerak yang melakukan penulisan ulang sejarah rakyat miskin kota, bahkan dilakukan dan ditulis oleh subjek sastra itu sendiri: rakyat miskin kota. Bundel halaman itu fungsional sekali, menyasar langsung kebutuhan subjek yang selama ini hanya direpresentasikan sastrawan dengan gincu metafornya.
Pijakan ide yang bisa menembus kebuntuan polemik sastra kita mungkin hanya soal kegunaan praktis dalam ruang keseharian warga dan rakyat kebanyakan. Sastra anak? Buku catatan harian yang kosong atau buku puisi-gambar, misalnya. Sastra remaja? Buku puisi berbentuk panduan menangani kesehatan mental, misalnya. Sastra rumah tangga? Buku puisi resep masakan, misalnya, atau prosa tentang silsilah keluarga agar dituturkan antargenerasi.
Semua itu bisa disimulasikan sebagai format atau template apabila kerja-kerja sastra bukan membuat karya tulis, tetapi menyusun template atau metode yang bisa didaur ulang dalam ruang-ruang konkret warga dan khalayak spesifik yang dibersamai sastrawan. Atau, lebih jauh, berurusan dengan isu konkret seperti penggusuran, kekerasan berbasis gender, hingga kemiskinan struktural. Kerja-kerja sastra sangat perlu dimaknai ulang menjadi kerja praktik sosial yang konkret, nyata, dan fungsional.
Bagaimana menulis puisi dalam peleburan bersama warga kampung kota yang digusur? Bentuk puisi macam apa yang berguna untuk subjek dalam bertahan hidup? Apakah puisi kemudian jadi berbentuk ruang, dapur, piring makanan, dan tanah untuk digarap jadi lahan bagi bahan pangan bersama? Apakah kerja prosa kemudian adalah kerja pencatatan dalam proses mewujudkan sandang, pangan, papan itu?
Simulasi-simulasi serupa mungkin bisa diterapkan dalam berbagai isu dan persoalan. Teks kemudian benar-benar bergerak dari kata jadi perilaku, teks sastra jadi teks sosial yang bergerak dalam ruang konkret. Sastrawan berkedok pemikir abstrak yang sibuk mendandani diri, bergincu, kemudian meninggalkan dirinya, mengosongkan identitas sastrawinya, lalu melebur bersama khalayak.
Baca juga
Saya pikir esai kecil ini bermuara pada perenungan:
Apakah setiap kerja-kerja Sastra (dengan S besar) pasti mengandung kanonisasi yang melekat dalam konvensi estetiknya? Bagaimana sastra terlibat pada kehidupan bersama, ruang sehari-hari warga, hingga ruang terpinggir dalam impitan yang berlapis-lapis?
Editor: Emma Amelia