Banyak Anak, Benarkah Banyak Rezeki?

Abraham Wijaya

2 min read

Pepatah banyak anak banyak rezeki berakar dari pandangan bahwa setiap anak akan membawa berkah tersendiri bagi keluarganya. Pepatah ini menjadi landasan bagi banyak keluarga dalam memutuskan jumlah anak yang diinginkan.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi ekonomi, relevansi pepatah itu mulai dipertanyakan. Apakah keyakinan bahwa memiliki banyak anak akan membawa banyak rezeki masih berlaku di masa kini? Ataukah ini hanya warisan tradisi yang perlu ditinjau kembali dalam konteks realitas modern?

Baca juga:

Untuk memahami relevansinya, kita perlu menyelami lebih dalam asal mula terbentuknya pepatah dan keyakinan ini dalam masyarakat. Dengan memahami akar sejarahnya, kita bisa mengevaluasi apakah ia masih layak dipertahankan di masa kini atau sudah saatnya ditinggalkan.

Saya menduga, budaya mempunyai anak lebih dari satu akan membawa banyak berkah ini muncul di zaman penjajahan. Kala itu, masyarakat kita masih sangat kental dengan tradisi. Ditambah lagi, akses ke pendidikan formal pun sulit dan terbatas.

Sebagian besar masyarakat masa itu menggantungkan hidup pada pertanian, perkebunan, atau berdagang. Sistem ekonomi yang sederhana ini mengandalkan tenaga kerja keluarga untuk menggarap lahan dan menjalankan usaha. Memiliki banyak anak berarti memiliki lebih banyak tenaga kerja untuk membantu menggarap lahan pertanian tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pekerja. Setiap anak dapat berkontribusi pada pekerjaan sehari-hari, mulai dari menanam, merawat tanaman, hingga memanen hasil kebun. Dalam konteks ini, anak-anak dianggap sebagai aset yang berharga karena mereka meningkatkan produktivitas keluarga secara signifikan.

Pada masa itu pun ilmu pengetahuan hanya terbuka bagi segelintir masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan priyayi. Untuk masyarakat kelas bawah, prioritas hidup mereka adalah bertahan hidup dari penjajah sehingga pendidikan dianggap sebagai hal yang tidak perlu dilakukan.

Selain penghidupan dan pendidikan, faktor kepercayaan juga berpengaruh membentuk keyakinan masyarakat masa itu. Mereka meyakini bahwa anak adalah titipan atau pemberian dari entitas ilahiah sehingga akan membawa berkah dan rezeki bagi keluarga tersebut.

Takhayul di Zaman Modern 

Apakah culture tersebut masih layak digaungkan di era sekarang?

Untuk menjawabnya, saya mengadakan eksperimen kecil-kecilan dengan bertanya ke teman-teman sebaya di rentang usia gen z. Hasilnya adalah kebanyakan dari mereka berpikir bahwa anggapan banyak anak akan membawa banyak rezeki tidak relevan dengan kondisi saat ini. Mereka beranggapan, banyak anak berarti akan ada banyak pula pengeluaran. Memiliki banyak anak justru akan menjadi beban finansial bagi mereka.

Pada kenyataannya, kebutuhan setiap individu semakin banyak. Apalagi untuk generasi strawberry ini, ada saja yang mereka perlukan agar tetap tampil trendy dan catchy di pergaulan. Selain itu, kebutuhan dan keperluan bayi juga harganya semakin mahal.

Saya coba berkeliling di pusat perbelanjaan dekat rumah. Agak terkejutlah saya melihat harga susu bayi dengan berbagai merk yang berkisar di atas dua ratus ribu rupiah. Itu baru susu bayi, belum lagi kebutuhan lainnya yang tak bisa diganggu gugat seperti popok bayi, pakaian bayi, dan mainan bayi. Selain itu, masih banyak kebutuhan primer lainnya yang harus dipenuhi seperti makan dan minum, serta membeli rumah. Apalagi, saat ini harga rumah ideal untuk gen z sudah tidak bisa dijangkau lagi.

Alasan lainya culture banyak anak banyak rezeki sudah tidak lagi relevan adalah susahnya mencari penghidupan di zaman sekarang. Mencari pekerjaan susah; syarat lowongan kerja gila dan persaingannya begitu ketat. Banyak gen z berakhir jadi pengacara (pengangguran banyak acara). Mimpi mendapatkan pekerjaan ideal dengan gaji yang juga ideal merupakan omon-omon semata.

Baca juga:

Di zaman ekonomi yang semakin sulit ini, memaksakan untuk memiliki banyak anak lebih mendekatkan diri pada risiko daripada rezeki. Bayangkan, keluarga dengan gaji pas-pasan—pas buat makan saja—-memiliki lima anak yang semuanya berumur di bawah sepuluh tahun. Dengan gaji yang pas-pasan tadi, biaya sekolah untuk anaknya akan susah sehingga pada akhirnya anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak atau bahkan putus sekolah. Selain itu, asupan gizi untuk tumbuh dan berkembang anak akan kurang karena tidak punya uang untuk membeli makanan bergizi. Boro–boro buat sekolah, buat makan saja susah.

Oleh karena itu, generasi akhir zaman seperti saya ini lebih baik memiliki satu atau maksimal dua anak agar beban finansial tidak terlalu mencekik. Dengan begitu, perkembangan dan pertumbuhan si anak bisa diupayakan dengan baik. Pepatah banyak anak banyak rezeki perlu ditambah disclaimer jadi cuma Gen Halilintar yang banyak anak banyak rezeki.

 

Editor: Emma Amelia

Abraham Wijaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email