Karya sastra tampaknya lebih memberikan dampak daripada karya non fiksi untuk beberapa aspek pengembangan moral dan konseptual.
Begitulah yang ditulis oleh Ellen E. Kneeskern dan Patricia A. Reeder dalam karya tulisnya yang berjudul Examining the impact of fiction literature on children’s gender stereotypes (2020). Hal itulah yang juga pertama kali aku bayangkan ketika menengok buku panduan Sastra Masuk Kurikulum terbitan Kemendikbud. Rasa senang menyeruak ke seluruh ruangan ketika aku mengetahui bahwa sastra mulai mendapatkan ruang lebih di hati para pendidik di sekolah. Bagaimana tidak, sastra Indonesia yang sedang terpuruk akhirnya mendapat ruang khusus untuk menunjukkan eksistensinya lingkungan pendidikan.
Namun, setelah membaca lebih jauh buku panduan tersebut, berbagai pertanyaan memenuhi ruang di kepala. Semisal, kok ada informasi yang daif dalam panduan ini? Nggak ada editor yang menangani buku ini sebelum terbitkah? Bagaimana mereka melakukan proses kurasi sehingga menghasilkan rekomendasi buku sastra yang layak digunakan di sekolah? Kok bisa karya para kurator masuk ke dalam list rekomendasi? Bukannya kurator harus objektif dan meninggalkan sisi subjektif kediriannya? Dan sebagainya, dan sebagainya.
Baca juga:
Membaca bagian pengantar buku panduan Sastra Masuk Kurikulum mengingatkanku pada salah satu karya tulisnya Suwardi Endraswara yang membahas mengenai teori matematika sastra—yang membahas penggunaan sastra sebagai media pembelajaran. Lebih kurangnya program Sastra Masuk Kurikulum pun memiliki dasar serta cita-cita yang sama, yaitu menjadikan sastra sebagai media pembelajaran, bahkan model pembelajaran di kelas.
Peran Pendidik
Tak perlu disangsikan kemampuan sastra menjadi media pembelajaran di kelas-kelas. Sastra mampu memberikan pengalaman bagi para pembacanya tanpa si pembaca mengalaminya langsung.
Paul Socken pernah berujar bahwa sastra mampu memberikan pengalaman kepada pembaca melalui tokoh-tokohnya. Kita, misalnya, bisa mengetahui bagaimana tegangnya kehidupan pada masa Orde Baru melalui novel Laut Bercerita, juga merasakan kehidupan seorang pengrajin rokok kretek yang dituduh PKI ketika meletusnya peristiwa tahun ‘65 melalui novel Gadis Kretek. Lebih dari itu, sastra mampu memediasi kita dengan dunia yang kita tinggali. Oleh karena itu, sastra perlu dijadikan sebagai media pembelajaran di kelas-kelas karena ia mampu memberikan pengalaman yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh pembaca.
Sastra itu seperti mimpi; entah itu mimpi indah atau mimpi yang penuh dengan kecemasan. Dengan membaca sastra, kita diajak untuk melihat serta merasakan berbagai pengalaman dari berbagai perspektif dan dimensi yang tidak pernah kita rasakan sebelumnya di realitas kita.
Namun, tidak semua genre sastra bisa diambil secara serampangan guna dijadikan media pembelajaran. Pendidik harus mampu membaca situasi serta kebutuhan peserta didiknya di kelas.
Meskipun sastra memiliki banyak kegunaan, tetapi pendidik tidak bisa sesuka hatinya memberikan perlakuan kepada peserta didik dengan dalih tuntutan kurikulum yang mengharuskan penggunaan karya sastra. Meskipun dalam hati kecilnya sang pendidik menyukai puisi-puisi karya Goethe, Elliot, ataupun Ezra Pound, belum tentu karya-karya ini cocok dengan kebutuhan para siswa saat ini. Pendidik harus menyelia serta mengurasi kembali karya sastra yang cocok digunakan dalam pembelajaran. Misal, kita tidak bisa menggunakan kumpulan puisi Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045 karya Martin Suryajaya dengan keadaan peserta didik yang masih belum paham mengenai puisi.
Di tingkat menengah atas, masih banyak peserta didik yang menganggap puisi itu harus menggunakan bahasa yang mendayu-dayu, romantis, serta memberikan rayuan. Ketika mereka dihadapkan dengan puisi-puisi karya Aan Mansyur dalam kumpulan puisi Melihat Api Bekerja atau karya Deddy Arsya dalam kumpulan puisi Penyair Revolusioner, juga karya Imam Syaiful Islam dalam kumpulan puisi Membaca Titimangsa dan Nama-Nama, mereka kebingungan dengan bentuk maupun isi dari puisi yang di luar kebiasaan itu.
Oleh karena itu, agar sastra benar-benar bermanfaat bagi pembelajaran di kelas, pendidik harus menyelia dan mengurasi kembali karya sastra yang digunakan dalam pembelajaran. Untuk bisa menyelia dan mengurasi, sudah tentu pendidik harus membaca keseluruhan, memahami, dan mempelajari kembali karya sastra yang akan ia jadikan bahan pembelajaran.
Meninjau Ulang Sastra Masuk Kurikulum
Bagaimana eksekusi Sastra Masuk Kurikulum di lapangan? Akankah dapat digunakan atau hanya sebatas program prestise sastra? Pun banyak dalil daif dalam buku panduannya, bukan?
Entah apa yang mendorongku untuk berpikir skeptis tentang program Sastra Masuk Kurikulum ini selain dari buku panduannya. Dalam bayanganku, ketika program Sastra Masuk Kurikulum diterapkan secara masif di satuan pendidikan, maka yang akan terjadi layaknya program literasi sebelumnya. Para pendidik kita akan menerjemahkan program Sastra Masuk Kurikulum ini dengan cara menyuruh peserta didiknya untuk membaca buku sastra 15 menit sebelum pembelajaran dimulai. Alih-alih mengintegrasikan karya sastra dalam pembelajaran, yang ada malah menjadikannya semacam ritus omong kosong dalam pembelajaran.
Barangkali pemikiran skeptis tersebut didasari oleh sumber daya manusianya yang kurang mendukung. Mengapa demikian?
Para pendidik dan calon pendidik kita sudah sangat terbiasa bergumul dengan budaya instan serta kemalasan dalam berpikir. Sudah bukan rahasia lagi jika pendidikan kita membutuhkan lapangan yang lebih mutakhir. Yang saya khawatirkan, yang terjadi justru para pendidik akan secara mentah menggunakan buku panduan tersebut. Maksudnya, segala informasi yang ada dalam buku panduan tersebut akan mereka gunakan dalam pembelajaran secara semena-mena tanpa melihat bahwa hal tersebut relevan atau tidak. Kesahihan dan kedaifan tidak lagi jadi masalah.
Misalnya, dalam sebuah pembelajaran di kelas, salah satu pendidik menggunakan kumpulan puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul O, Amuk Kapak sesuai rekomendasi buku panduan. Dalam buku panduan disebutkan bahwa Sutardji Calzoum Bachri telah meninggal pada 17 Juli 2020 dengan warisan bagi dunia sastra Indonesia. Alih-alih meningkatkan serta memperkuat literasi membaca peserta didik, yang ada malahan membunuh mereka secara tidak langsung. Bisa dibayangkan bagaimana masifnya efek dari dalil daif, bahkan palsu ini bagi peserta didik.
Akan mudah memang meluruskan informasi bagi mereka yang lulusan sastra karena mereka mempelajari sejarah, teori, juga kritik sastra. Akan tetapi, bagaimana bagi mereka yang bukan lulusan sastra? Semisal, lulusan IPA yang belum memiliki ilmu tentang sastra ataupun alat-alat sastrawi lainnya. Tak tega membayangkan masifnya disinformasi yang akan terjadi pada peserta didik, pun pada para pendidiknya.
Baca juga:
Peninjauan serta koreksi kembali program Sastra Masuk Kurikulum sudah seharusnya dilakukan sebelum panduan serta program ini disebarluaskan kepada publik. Bagaimana mungkin masuknya sastra yang diharapkan dapat memantik nalar kritis malah jadi sumber disinformasi? Jangan sampai siswa-siswa kita mendapatkan informasi daif, bahkan palsu lantaran ketergesaan para kurator dan penanggung jawab program ini.
Dari kalangan sastrawan sendiri banyak yang mengkritik dan mungkin ingin mengoreksi program Sastra Masuk Kurikulum seperti Saut Situmorang serta Nirwan Dewanto. Sudah seharusnya program ini diuji cobakan terlebih dahulu pada sekolah-sekolah percontohan. Setelah itu, lakukan evaluasi, uji coba kembali, dan evaluasi kembali sampai pada titik di mana program ini dengan segala turunannya matang dan siap digunakan oleh satuan pendidikan lainnya.
Editor: Emma Amelia