Kota Lamunan
Aspal basah menantang ujung awan,
menerima hujan yang kini menjadi genangan
Angin menyapu gigilmu di antara klakson mobil bersahutan.
Di kota ini semua menjadi lamunan:
Cicilan ibu untuk kelima anaknya, sementara anak menukar kelas dengan menjual tisu, sementara tisu tak pernah sampai ke tangan pejabat, sementara pejabat menyimpan angan untuk perutnya, sementara angan tak pernah kamu miliki seutuhnya.
Di kota ini semua jadi lamunan:
Kamu meringkuk kedinginan sementara badaimu—
yang meradang tak pernah padam.
–
Saat Orang-orang Meninggalkan Jakarta
Jakarta bertanya pada danawa tinggi
‘Apa rasanya langit biru tanpa ada ribuan mata?’
Seperti biasa, Jakarta hanya mendengar kebisingan tanpa ada jawaban
Jakarta bertanya kembali,
“Udara mana yang harus kuhirup?”
Sementara udara hangat mengkristal menjadi kekalnya abu
Lagi-lagi, Jakarta tak kapok bertanya
“Selamanya kah nasibku begini?”
Saat hari-hari beranjak pergi
Lenggang jalan menjadi jawaban
Puncak gunung terlihat dari kejauhan
Orang-orang rantauan mengemas barang-barang
Jakarta mulai mencari-cari:
kekacauan yang menjelma kerinduan
Jakarta adalah kesepian
yang berharap lapang tetapi tetap menunggu cinta pulang
Di hari ulang tahunnya, Jakarta mengelabui diri
untuk tak menjadi dirinya lagi.
–
Minggu Pagi di Kamar Kos
gerahnya menyapu debu
dan sisa lauk semalam menyapa untuk
bertemu dengan perut kosong
serta mulut yang mengucapkan rindu
berkali-kali
pada pangkuan ibu
namun tersaruk di selokan
Sesak udara
dan pengapnya mengelabui hidung
lalu kita terperangkap
di bilik yang sama
mengamini hidup agar terseka segala derita
tapi tampaknya dunia selalu mendustai harapan
yang kita bangun dengan mimpi dan imaji
Saat waktu membeku
kita mengingat
bahwa hari sudah berganti malam dan
Senin sudah memanggil:
Menyalakan bara untuk kerasnya punggung
–
Memorandum Puisi
aku membaca
kalimat maaf untuk hidupku
yang begini-begini saja
pada buku harian—
yang pernah kutulis dengan air mata
Toga di tangan kelaparan mencari pekerjaan
Berlarian
terjatuh
terhempas
berakhir terselip di almari usang
Huruf terlepas dari kata, bercerai dengan kalimat,
merindukan memoar paragraf
dan aku hanya bisa
menahan tanda baca
agar tetap tinggal di muka
meski ujungnya terlepas jua
Waktu terurai
Di masa depan, aku menggantung nyali
pada berlembar-lembar buku puisi
dan mengenang Sapardi atau Jokpin
agar berkunjung kembali ke TIM
*****
Editor: Moch Aldy MA