Kota Lamunan dan Puisi Lainnya

Fauziannisa Pradana Putri

1 min read

Kota Lamunan

Aspal basah menantang ujung awan,
menerima hujan yang kini menjadi genangan
Angin menyapu gigilmu di antara klakson mobil bersahutan. 

Di kota ini semua menjadi lamunan:
Cicilan ibu untuk kelima anaknya, sementara anak menukar kelas dengan menjual tisu, sementara tisu tak pernah sampai ke tangan pejabat, sementara pejabat menyimpan angan untuk perutnya, sementara angan tak pernah kamu miliki seutuhnya. 

Di kota ini semua jadi lamunan:
Kamu meringkuk kedinginan sementara badaimu—
yang meradang tak pernah padam. 

Saat Orang-orang Meninggalkan Jakarta

Jakarta bertanya pada danawa tinggi
‘Apa rasanya langit biru tanpa ada ribuan mata?’
Seperti biasa, Jakarta hanya mendengar kebisingan tanpa ada jawaban

Jakarta bertanya kembali,
“Udara mana yang harus kuhirup?”
Sementara udara hangat mengkristal menjadi kekalnya abu

Lagi-lagi, Jakarta tak kapok bertanya
“Selamanya kah nasibku begini?”

Saat hari-hari beranjak pergi
Lenggang jalan menjadi jawaban
Puncak gunung terlihat dari kejauhan
Orang-orang rantauan mengemas barang-barang

Jakarta mulai mencari-cari:
kekacauan yang menjelma kerinduan 

Jakarta adalah kesepian 
yang berharap lapang tetapi tetap menunggu cinta pulang

Di hari ulang tahunnya, Jakarta mengelabui diri
untuk tak menjadi dirinya lagi.

Minggu Pagi di Kamar Kos

gerahnya menyapu debu
dan sisa lauk semalam menyapa untuk
bertemu dengan perut kosong
serta mulut yang mengucapkan rindu
berkali-kali
pada pangkuan ibu
namun tersaruk di selokan

Sesak udara 
dan pengapnya mengelabui hidung
lalu kita terperangkap
di bilik yang sama
mengamini hidup agar terseka segala derita
tapi tampaknya dunia selalu mendustai harapan
yang kita bangun dengan mimpi dan imaji

Saat waktu membeku
kita mengingat 
bahwa hari sudah berganti malam dan 
Senin sudah memanggil:
Menyalakan bara untuk kerasnya punggung

Memorandum Puisi

aku membaca
kalimat maaf untuk hidupku 
yang begini-begini saja
pada buku harian—
yang pernah kutulis dengan air mata

Toga di tangan kelaparan mencari pekerjaan
Berlarian
  terjatuh
     terhempas
berakhir terselip di almari usang

Huruf terlepas dari kata, bercerai dengan kalimat,
merindukan memoar paragraf
dan aku hanya bisa
menahan tanda baca
agar tetap tinggal di muka
meski ujungnya terlepas jua

Waktu terurai
Di masa depan, aku menggantung nyali
pada berlembar-lembar buku puisi
dan mengenang Sapardi atau Jokpin
agar berkunjung kembali ke TIM

*****

Editor: Moch Aldy MA

Fauziannisa Pradana Putri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email