Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Batu

Kala Lail

8 min read

Laptopku berhenti. Pesan di ponselku berhenti. Angin di luar jendela berhenti. Caci maki di jalanan berhenti. Kordenku juga berhenti. Semua berhenti tidak pada posisi yang seharusnya. Aku tidak bisa menggerakkan apa pun. Keyboard laptopku kaku seperti batu.

Baru saja kulihat kucingku berdiri dengan dua kaki. Ia beku pada posisi yang juga ganjil. Mungkin ia gagal melompati meja.

Gelombang suara juga sama tidak bekerja. Aku tidak bisa mengeluarkan suara. Suara dari mulutku, suara kaki dan lantai. Suara batinku sendiri juga hampir hilang. Tapi ringan.

Kakiku ringan. Tubuhku ringan. Seperti tidak menyentuh lantai. Bukan semacam terbang. Tapi melayang. Hanya hampir bersentuhan, dipisah udara tipis, lembut dan lentur.

Kutinggalkan kursiku tanpa bunyi.

Apa yang terjadi padaku. Tidak. Apa yang terjadi di luar sana. Apa aku belum pulang dari mimpi?

Siapa yang menghentikan semuanya. Menghentikan petikan jam dinding di ruang tamu yang sering menggangguku. Suara roda berkejaran benar-benar hilang. Aku sampai bisa mendengar darahku sendiri berdenyut di balik rongga-rongga nadi.

Siapa yang harus kutanyai. Batu yang tergeletak di persimpangan itu malah mulai menggeliat. Menggeliat sepertiku di saat subuh. Seperti ular. Seperti bayi yang baru dilahirkan. Ia bergerak. Merangkak. Meninggalkan tempatnya.

Bagaimana jika ada yang melihatmu, hei? Kau harusnya tetap di tempatmu. Kau membuat goresan di mana-mana. Orang-orang pasti datang dan heran. Saling mencari tahu mengapa batu bisa merangkak.

Atau malahan orang-orang tak peduli. Batu hitam sepertimu biasanya bisu. Tergeletak. Di bawah orang-orang. Tapi, orang-orang diam. Diam seperti kucingku. Diam di tempat dan di posisi terakhir mereka. Seperti batu. Batu sepertimu.

Kau malah tertawa. Kau tertawa pada mobil-mobil itu. Pada tiang-tiang lampu. Pada selebaran asuransi yang robek melayang hampir menyentuh tanah. Pada papan reklame rokok yang hampir patah.

Tapi tetap saja, kau merangkak lancar. Melewati pagar-pagar dan kaca-kaca menjulang. Tegar. Mencakar-cakar matahari dan bulan. Dan kau tak peduli.

“Selamatkan diri kalian!” kata salah satu batu hitam.

Setidaknya kau tidak menertawai awan. Sebab ia seperti menjatuhkan jangkar. Karam. Tidak bisa menarik cuaca dan malam. Sungguh malang. Bukan dia, tapi aku. Merasakan kata-kata dari mulutku mengeluarkan batu. Jatuh. Menggelepar lalu merangkak bersama yang lain.

“Selamatkan dirimu sendiri,” katanya lagi sambil melihatku sekilas yang masih limbung di depan teras.

Tapi aku lega semuanya diam. Terutama bayinya Karin yang tak bersuara lagi. Aku yakin Karin sedang presentasi di depan atasannya. Di kantor. Di Tower gedung baru itu. Sementara bayinya sejak pagi meneriaki angin. Mulutnya terbuka matanya tertutup. Di posisi itu. Ia terdiam seperti batu. Ayahnya yang penulis itu tak menjanjikan apa-apa. Selain menulis rengekan anaknya dan kisah nelangsanya sendiri ke dalam sebuah buku. Buku hitam tak bergambar.

“Biarkan saja. Bayi memang sepatutnya menangis. Dia pasti sedang mengutuk apa pun yang dilihatnya. Baru saja dilahirkan. Pasti mengecewakan,” kata bapaknya, saat bayi itu kupangku.

Aku baru ingat. Ia mewarnai buku sampulnya dengan warna hitam kosong. Dan semua yang baru saja dikatakannya hanyalah sepenggal prolog. Tentang perkenalannya dengan iblis di bukunya sendiri.

Sekarang mungkin ia sedang bersandar di kursi kayunya. Menghadap jendela. Menunggu malam untuk menjajakan bukunya ke kolong-kolong jembatan, ke rutan-rutan, ke panti-panti asuhan. Mencari orang-orang yang barangkali paham betul apa yang ditulisnya.

“Kau membaca buku seperti memperkosanya. Kau tidak akan mengerti,” katanya kemarin malam, kepada semua orang.

Sekarang penulis itu pasti terduduk seperti batu. Seperti bayinya. Seperti semua yang ada di luar sana. Seperti subuh. Seperti malam. Tak bisa datang.

Batu-batu itu kini menuju utara. Menuju dua gedung yang baru saja dibangun mengimpit jalan. Menuju taman yang kini langit-langitnya jalan layang. Menuju entah. Mereka terus saja merangkak pelan. Meninggalkan goresan yang janggal di masing kepala.

Aku makin penasaran. Bukan pada batu itu. Tapi pada orang-orang yang biasanya membuang muka di jalan. Kini mereka diam berhadap-hadapan. Di trotoar, di penyeberangan jalan, di pelataran swalayan, di pasar-pasar dadakan.

Benar-benar diam. Seperti sembahyang. Bayangan hitamnya jatuh di genangan  lubang aspal. Daun-daun kering seperti lalat tak jadi terbang. Asap penggorengan tak jadi pudar.

Makanan tak jadi kau telan. Sebelumnya lancar kau kunyah seperti api mengunyah batu bara. Lalu debunya kau simpan di dalam perut besarmu. Lalu kau kunyah lagi seperti sapi. Di pojok warung kaki lima kau tutup dengan kopi pekat dan sendawa. Tak lupa pemantik untuk melengkapi mulutmu. Jadi seperti naga.

Sebetulnya kau ini apa?

Mereka bilang kau ini pemilik pasar malam. Tapi malam yang mana. Hanya beberapa orang saja yang paham. Dan kini penjaga malam sepertimu masih tergolek di warung prasmanan. Menunggu malam yang masih berhenti di tengah-tengah ufuk. Sebab semua diam. Termasuk perutmu dan segala isi yang pernah kau masukan. Masih besar. Mengembang. Bundar.

Di posisi terakhirmu. Matamu terbelalak. Ada yang ingin keluar dari tenggorokanmu. Mungkin udara. Tapi tertahan di sana. Mulutmu menganga sebesar kepalan orang dewasa. Mungkin ucapan salam dari perutmu. Ucapan terima kasih. Atau malah menagih.

Aku jadi teringat pemredku. Saat perayaan cetakan pertama novel penulis baru yang menjual nama. Kemarin lusa. Empat kali ia mengeluarkan udara dari tenggorokannya. Selalu diakhiri dengan air berbusa yang baru saja ia minum dengan lancar. Mungkin air itu sudah menyelesaikan tugasnya. Mencuci perut dan kepala.

“Sudah sewajarnya langsung dikeluarkan,” katanya sebelum kemudian melanjutkan bualannya. Di depan bawahan yang merasa canggung, salah, tapi diam, tapi senang. Hampir sama dengan cerita di novel itu. Akan ada suatu peradaban ketika orang-orang saking sejahteranya, mereka memuntahkan makanan agar bisa makan lagi.

Mungkin itulah alasan kenapa harus ada orang miskin di luar sana. Supaya peradaban masih ada adabnya. Agar orang tetap bisa menghitung orang, bukan cuma per kepala. Tapi juga per perutnya.

Di peradaban lain, itu hal mustahil. Sama seperti menghitung mimpi. Setiap orang punya jumlah mimpi yang berbeda. Begitu juga kualitasnya. Seberapa jauh ia bisa melenting dari tempat tidurnya sampai jauh entah. Sampai tak perlu jalan kembali. Ia hanya perlu bangun untuk kembali. Sebab, mimpi mesti menghilangkan, menjauhkan dari peradaban yang nyata.

Sama dengan gadis-gadis remaja yang singgah di Cafe Jazzy tadi pagi. Ada secangkir kopi di hadapannya. Harganya seperempat dari fee yang biasa kuterima dari koran minggu. Ada secawan kue. Tiga berjajar tumpang tindih, berwarna kayu tua. Aku berani sumpah. Rasanya manis melebihi gula. Mereka bilang itu untuk melawan pahit kopi di sebelahnya. Aku bingung, kenapa orang-orang tak mau menghadapi tabiat kopi. Kenyataan. Tabiat mereka sendiri.

Daftar menu itu aku tinggalkan setelah tahu kue tadi harganya satu setengah fee yang biasa aku pegang. Lima belas perut orang. Bukan. Dua puluh perut bisa kenyang jika ditambah dengan kopi tadi. Jadi, bagaimana orang-orang bisa menghitung orang berdasarkan perut, apalagi kepala, apalagi nama.

Ah… aku ingat gadis itu. Gadis yang pernah melepaskan senyum berbahayanya padaku. Gadis yang kutemui di percetakan beberapa bulan lalu. Gadis yang membuatku memaksa redaksi membuat kaver kala itu dengan senyum bibir merah jambu.

Sekarang kau hanya berjarak beberapa saja. Di seberang jalan. Di lampu merah. Tanganmu sedang membuka pintu taksi biru. Tubuhmu yang mungil itu masih mengenakan setelan lembut. Berbahan lembut. Berwarna lembut. Kontras dengan kulit gadismu. Dalam posisi seperti itu pun kau masih memasang senyum. Senyumnya segala senyum. Senyum yang dilihat dari mana pun tampak jika itu untuk siapa saja. Siapa pun yang tak sengaja melihatmu. Dan berakhir sepertiku.

Apa yang membuatmu terburu-buru sebenarnya. Bibirmu yang masih basah oleh lipstik sekenanya. Pelepah pipimu yang matang sempurna. Matamu yang seperti kaca, memantulkan apa saja. Dan suaramu. Ah… andai aku bisa menyapanya.

Kau melihatku. Kita saling menyapa. Hanya sapa. Berikutnya, biar mata kita yang bicara. Tapi kau berhenti di sana. Mematung anggun. Seperti yang lainnya. Jadi, sebenarnya apa yang membuatmu terburu-buru sesiang ini. Mau kau bawa ke mana senyum sejuta bahasamu itu.

Dari dulu kau selalu terburu-buru. Seperti dikejar sesuatu. Melewatkan orang-orang yang sekelebat melihat mimpi. Gadis mimpi. Gadis yang biasanya tinggal di mimpi. Memesona dan hanya sekejap saja. Bunga tidur.

Begitu kau membuka pintu, semua berhenti seperti yang terjadi sekarang ini. Beku seperti batu. Bersama batu-batu hitam yang merangkak tadi itu.

Kini mereka sudah terjebak di antara roda-roda yang semenjak pagi berjejalan mencuri-curi jalan.

Tak habis akal. Batu-batu itu melesap ke tanah. Menggali seperti kelinci. Lalu berenang di permukaan seperti lumba-lumba. Meloncat-loncat. Mereka berlomba. Masih menuju utara. Aspal tercabik-cabik. Ada yang masih di atas. Ada yang melesap ke dalam. Jalanan di mana-mana menggeliat hitam seolah bernyawa.

Kota berwarna hitam. Hitam oleh batu-batu. Makin banyak batu. Melewati kakiku dengan santai. Batu karang, batu nisan, batu sesembahan, batu apa saja yang diperjualbelikan atau yang hanya ditinggalkan. Mengarah ke utara.

Mereka akan bertemu di suatu tempat. Pikirku. Seperti mimpiku kemarin malam. Mereka akan berkonsolidasi mengenai nasib manusia. Sampai kapan mereka mau merapatkan tanah pijakan untuk orang-orang. Sementara mereka tetap berlapang menunggu giliran hancur menjadi sia-sia. Aspal, bangunan, abu. Sampai tak bisa disebut lagi.

Tapi itu hanya mimpi. Apa ini mimpiku yang lain. Baiklah. Aku akan menetap sebentar. Melihat semuanya. Dunia rekaan seperti ini biasanya lebih banyak memberi jawaban. Mungkin gunung itu. Benar. Mungkin gunung itu puncaknya. Mereka menuju ke sana. Bisa saja mereka ingin mengisi perut gunung itu dan tinggal selamanya.

Rumahku hilang. Tabiat mimpi memang membuat tersesat. Menghilangkan jalan pulang. Selalu begitu memang. Makanya masih banyak orang yang membutuhkan mimpi, karena enggan pulang.

Lebih baik begini. Subuh dan malam bisa kupermainkan. Jarak dan jalan bisa kulipat seenaknya. Tapi tunggu. Apa ini mimpiku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya berlompatan mengikuti batu-batu tanpa bisa mengajak bicara orang-orang yang telah membatu.

“Ini mimpiku!” seekor burung gereja mendarat tergesa di atap mikrolet karatan.

“Bukan. Sudah kubilang ini mimpiku!” seekor burung walet menyela.

Mereka saling menghadapkan paruh kecil dan mata mereka yang tipis. Sepertinya mereka datang bersamaan. Dan sudah melakukan diskusi buntu tentang ini mimpi siapa sebenarnya sejak tadi.

Aku hanya menelan ludah dan memicingkan mataku sebentar. Ini mimpi. Aku sudah barang tentu tak memiliki senapan angin untuk mengakhiri mereka semua. Tapi ini mimpi. Hal yang paling penting adalah estetika, bukan mana yang bisa dilogika. Jadi aku memilih mendengarkan mereka bicara.

“Kau!” kata burung gereja.

Aku tidak bisa melihat matanya dengan benar. Tapi paruhnya menghadap padaku.

“Apa yang kau lakukan di mimpiku? Aku sudah mengatur semua makhluk sepertimu untuk bungkam. Diam. Batu!” Aku makin menelan ludah. Melihat baru saja dimaki burung gereja.

Tapi. Hanya manusia yang bisa bermimpi.

“Hah… lihatlah. Ia masih sombong seperti biasa. Bahkan di mimpiku,”  jawabnya.

Ia terbang mendekat. Hanya berjarak selangkah saja. Kini aku bisa menatap matanya. Bukan mata yang bisa aku baca. Tapi ini benar mata punya burung gereja. Burung yang tak pernah aku mengerti. Kenapa disebut burung gereja. Padahal ia hanya menyembah biji-bijian bukannya tuhan.

“Nah… kau sudah mengerti. Kenapa mereka menamaiku demikian. Padahal aku tidak pernah meminta.”

Tidak mungkin. Ia bisa membaca dialogku dengan akal sehatku sendiri.

“Tentu saja bisa. Ini mimpiku. Kau ada di dalamnya. Sebaiknya kau diam saja seperti yang lainnya. Batu!”

Sial… ia mendengarnya lagi.

“Kau pikir duluan mana aku dengan gereja. Kau pikir sesembahanku sama dengan kalian. Kau pikir biji-bijian keluar dari atap gereja. Kau pikir aku senang saat pohon-pohon itu kau tebang. Aku membuat sangkar, tidak diranjang. Seperti kalian!” suaranya tetap kecil. Tapi aku yakin ia sedang murka. Mewakili seluruh burung gereja lainnya.

“Dan kau?” aku mengalihkan pandanganku pada burung walet hitam tadi yang ikut mendekat.

“Aku ingin mengendap-endap masuk ke rumah kalian. Menyekap anak istri kalian. Lalu menjarah ranjang kalian.”

Tunggu sebentar. Aku ingin sekali memasukkannya ke dalam akal sehatku. Tapi aku yakin burung gereja tadi ikut membacanya. Kuanggukkan saja kepalaku. Seakan mengerti.

“Dan apa yang akan kau lakukan pada seluruh ranjang yang kau ambil?” kataku.

“Aku akan menumpuknya di tengah kota. Sebesar-besarnya, setinggi-tingginya. Lalu membiarkannya runtuh menimpa kalian semua. Kalian akan tidur dan mati tertimpa ranjang sendiri. Ha ha!”

Ah… tentu saja. Mimpi juga selalu tentang balas dendam.

“Dan kau?” kataku.

Kelihatannya burung gereja itu masih mencerna kata-kata burung walet tadi. Ia sedikit ngeri.

“Dan kau?” Aku mengulangi.

“Bagaimana caramu memusnahkan kami, wahai burung gereja?”

Beberapa waktu ia diam. Memukul-mukulkan paruhnya ke aspal.

“Entahlah. Aku belum sempat merencanakannya.”

Sementara itu, batu-batu apa saja mulai berlepasan dari tempatnya. Bukan hanya batu-batu kali dan andesit. Batu-batu fondasi, batu-batu yang dipahat jadi patung orang, batu-batu mulia yang melingkar di jari.

Jadi, apa yang mau kau lakukan pada semua batu ini. Tapi tunggu sebentar. Siapa yang mau menggunakan batu-batu itu. Mereka berpandangan sejenak.

Bukan kalian? Pikirku. Jadi. Ini mimpi siapa sebenarnya.

Supermarket, toko baju, toko make up, toko elektronik, toko yang baru saja jadi. Rumah-rumah yang tak berpenghuni. Menjulang tinggi-tinggi, mendesak kanan kiri.

Mungkin saja ini mimpi anak 3 tahun itu, yang masih memegang gagang pintu toko mainan. Ragu-ragu. Saat kedua matanya mengenai pantulan matanya sendiri. Wajahnya. Rambutnya. Lalu baju putih yang mungkin pernah putih. Celana berdebu. Kaki telanjang karatan. Kembali lagi pada matanya yang tak punya pegangan. Pegangan yang biasanya tutup botol gepeng yang dipaku pada kayu dan digoyangkan atau magnet bundar bekas yang ditempel pada ujung tongkat. Mengurut jalanan. Jalanan yang memantulkan wajah hitam atau perpaduan pelangi dari ceceran bahan bakar. Genangan. Bukan mengilap seperti yang ada di depannya itu.

Mungkin saja ia mengutuk batu-batu yang selalu diam dan tak mau menjelma mainan. Padahal mainan sepele. Murah. Tak terlalu mewah.

Tapi gunung itu. Yang dituju oleh batu-batu. Yang berdiri 5 kilometer dari tempatku berdiri. Ia mulai sendawa. Mengeluarkan aroma belerang. Dan asapnya yang putih menuju kehitaman membumbung perlahan. Seperti asap rokok yang dikeluarkan oleh orang-orang yang mulutnya hitam. Membentuk apa pun yang ia suka. Asap pembunuhan. Kubilang. Asap bunuh diri sekaligus pembunuhan. Dan begitu kurasa rencana gunung itu.

Burung gereja dan burung walet yang sempat bercakap denganku kini lekas pergi tergesa. Meninggalkan tempatku. Seorang diri, lagi.

Andai aku seringan mereka, pasti aku akan mengikuti. Melawan gravitasi dan melawan jalan-jalan buntu yang biasa kutemui.

Jika mereka tak pergi dari kota ini mungkin akan terbunuh juga. Sebab, tampaknya asap-asap itu bisa menjangkau apa saja. Bahkan mengubah cuaca. Cuaca sore menjadi malam. Atau pagi menuju siang. Atau tengah malam yang merah belaka?

Benar-benar langit berubah pekat. Seperti seduhan teh kecokelatan. Seperti kopi yang melenyapkan isi gelas. Matahari mulai tertutup. Matahari yang terdiam di tempatnya. Kini berselimut abu.

Makin pulas. Udara makin berat. Pandangan makin padat. Dan orang-orang yang membatu itu kini seperti pepohonan yang dihantam cuaca buruk. Cuaca buruk yang biasanya mereka abaikan dengan secangkir cokelat, perapian, dan sedikit candaan sewajarnya manusia. Kini mereka menghadapinya. Namun dengan seluruh indra yang tengah berhenti. Lagi pula siapa yang membutuhkan indra pada saat seperti ini. Kurasa tak ada seorang pun. Kecuali aku, yang tengah mengatur ketakutanku.

Ada suara gemuruh. Datang tiba-tiba. Sedikit bergetar. Tanah. Pepohonan. Rumah-rumah. Nyaris hilang keseimbangan. Gemuruh kedua. Aku terhuyung jatuh ke aspal.

“Bangun.” Sebuah suara. Seperti suaraku waktu kecil. Entah dari mana. Tapi cukup menggema.

“Banguunn!” aku terenyak. Membuka mata.

Untuk kedua kalinya. Serasa aneh. Seperti teleportasi.

Tiba di dunia yang berbeda. Langit-langit kamar. Kukenal. Jendela terbuka. Kukenal. Selimut tebal. Kukenal. Wajah susu, mata susu, bibir susu. Asal suara tadi. Juga kukenal.

Keponakanku. Pukul delapan pagi.

Bukan waktu yang tepat untuk bangun. Tapi keponakanku sudah datang. Di luar jadwal. Pukul sebelas siang harusnya.

Aku menciumnya pelan. Meraih kertas kuning di samping bantal.

Celaka. Tak ada tulisan.

Penaku kering.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Kala Lail
Kala Lail Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email