Di tengah hiruk-pikuk zaman, ketika kebebasan berbicara semakin semu dan ruang diskusi semakin menyempit, ada satu suara yang tetap nyaring tanpa kehilangan esensinya—suara yang tidak sekadar berbicara, tetapi mengajak berpikir. Dialah Emha Ainun Nadjib, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Cak Nun.
Sebagai budayawan, pemikir, dan penyair, Cak Nun telah lama menjadi suara alternatif bagi mereka yang lelah dengan narasi tunggal kekuasaan. Ia bukan hanya menyampaikan kritik, tetapi juga menawarkan perspektif dan solusi dengan cara yang khas—tenang, jenaka, tetapi tetap tajam. Namun, di tengah situasi sosial dan politik yang semakin rapuh terhadap kritik, mengapa suara seperti Cak Nun justru semakin dibutuhkan?
Kritik yang Halus, tetapi Menyentuh Jantung Persoalan
Sejak era Orde Baru hingga Reformasi, Cak Nun tidak kehilangan ketajamannya dalam membaca realitas. Ia tidak memosisikan diri sebagai oposisi yang hanya melawan demi melawan, tetapi juga tidak tunduk kepada kekuasaan. Ia memilih menjadi cermin, yang memantulkan wajah asli bangsa ini—bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyadarkan.
Dalam banyak ceramahnya, ia menyoroti berbagai ketimpangan—dari politik yang kehilangan akal sehat, ekonomi yang semakin menjepit rakyat, hingga agama yang sering kali disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Namun, berbeda dengan banyak kritikus lain, Cak Nun tidak menyampaikannya dengan teriakan atau kemarahan, melainkan dengan kebijaksanaan yang menyentuh hati.
Baca juga:
“Jangan terlalu serius, tapi juga jangan main-main,” ungkapnya dalam banyak kesempatan. Ini bukan sekadar petuah, tetapi prinsip yang ia pegang dalam menyampaikan kegelisahan tentang negeri ini. Ia sadar bahwa kebenaran sering kali terlalu pahit jika disampaikan secara frontal. Karena itu, ia memilih menyajikannya dengan humor, perumpamaan, dan bahasa rakyat yang lebih mudah dicerna.
Mungkin inilah yang membuatnya berbeda. Di saat banyak orang berteriak tetapi tidak didengar, Cak Nun berbicara dengan tenang, tetapi pesannya justru sampai ke lubuk hati yang paling dalam.
Menjadi Manusia yang Merdeka: Pelajaran dari Cak Nun
Jika ada satu hal yang selalu ditekankan oleh Cak Nun, itu adalah pentingnya menjadi manusia yang merdeka. Namun, kemerdekaan yang dimaksud bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, melainkan juga dari ketakutan, kebodohan, dan doktrin yang membelenggu kesadaran.
Dalam berbagai forum Maiyah-nya, ia mengajarkan bahwa manusia harus berpikir sendiri, mencari kebenaran dengan akal sehatnya, dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu. Ia menolak fanatisme buta—baik terhadap agama, ideologi, maupun tokoh tertentu.
“Kalau engkau sudah bebas dari dirimu sendiri, engkau tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun,” ungkapnya. Ini bukan sekadar refleksi spiritual, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap sistem yang ingin mengontrol pikiran dan kesadaran manusia.
Di era digital, kita seolah memiliki kebebasan berbicara yang lebih luas dibandingkan generasi sebelumnya. Namun, benarkah demikian? Faktanya, banyak orang masih takut menyampaikan opini jujur mereka. Kritik terhadap kebijakan tertentu bisa berujung pada persekusi digital, pembungkaman, atau bahkan ancaman hukum. Di sisi lain, perdebatan publik semakin kehilangan esensinya—bukan lagi soal mencari kebenaran, tetapi hanya soal menang atau kalah.
Baca juga:
Dalam kondisi seperti ini, suara seperti Cak Nun menjadi penting. Ia tidak hanya mengingatkan bahwa kritik adalah bagian dari kecintaan terhadap negeri ini, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara menyampaikannya dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Cak Nun tidak mengajarkan kebencian, tetapi mengajak untuk memahami. Ia tidak meminta kita melawan dengan kemarahan, tetapi dengan kebijaksanaan.
Tak Bisa Dibungkam
Di zaman ketika banyak pemikir memilih diam atau terjebak dalam kepentingan tertentu, Cak Nun tetap menjadi dirinya sendiri. Ia tidak bergantung pada siapa pun, tidak mencari popularitas, dan tidak takut menyampaikan apa yang menurutnya benar.
Dan mungkin inilah yang membuatnya tetap bertahan. Di saat banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap tokoh publik, Cak Nun tetap menjadi salah satu sedikit suara yang dipercaya. Ia bukan politisi, bukan akademisi kaku, bukan aktivis partisan. Ia adalah Cak Nun—seseorang yang berbicara dengan nurani, dan karena itulah ia tidak bisa dibungkam.
Di era ketika kebebasan semakin mahal, Cak Nun mengajarkan bahwa keberanian untuk berpikir adalah bentuk kemerdekaan yang paling hakiki. Dan mungkin, justru itulah yang paling ditakuti oleh mereka yang ingin mengontrol kebenaran.
Sebagai bangsa, kita butuh lebih banyak suara seperti Cak Nun. Suara yang tidak hanya berani, tetapi juga bijaksana. Suara yang tidak hanya kritis, tetapi juga memberi harapan. Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak hanya butuh pemimpin yang kuat, tetapi juga pemikir yang mampu mengingatkan kita untuk tetap waras dalam menghadapi dunia yang semakin kacau.
Seperti yang selalu ia sampaikan:
“Kita ini rakyat, bukan penguasa. Tugas kita bukan merebut kekuasaan, tetapi memastikan bahwa yang berkuasa tetap punya hati.”
Dan itulah mengapa, selama bangsa ini masih punya hati, suara Cak Nun akan selalu hidup.
Editor: Prihandini N