Belum selesai kasus rekening gendut eks pejabat Ditjen Pajak dan Bea Cukai, serta transaksi Rp300 triliun yang mencurigakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali menjadi sorotan. Permintaan maaf pun dilayangkan melalui akun resmi dan staf khususnya. Namun, langkah itu bukan solusi atas kondisi yang sedang dihadapi.
Baca juga:
Pada 2015, seorang warga yang membawa pulang piala lomba menyanyi dari Jepang diminta membayar pajak Rp4 juta. Meski akhirnya tidak sampai membayar dan piala bisa dibawa pulang, tapi perjuangannya cukup alot. Bahkan, dia harus menyanyi di depan petugas untuk membuktikan bahwa dirinya bisa menyanyi. Lantas, bagaimana jika yang membawa pulang piala adalah Timnas Indonesia atau artis terkenal? Apakah perlakuan yang mereka terima juga sama?
Mengiringinya, banyak warga yang speak up tentang pengalaman buruk mereka ketika berurusan dengan petugas bea cukai. Bahkan, koper putri sulung Presiden Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid, yang dikira TKI yang baru pulang dari Taiwan, juga diperiksa dan diaduk-aduk isinya saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta.
Terkait pajak, seorang komika mengeluhkan soal kurang bayar pajak karena minim edukasi. Dia dikenai denda sekitar Rp80 juta dan surat permohonan pengurangan/penghapusan dendanya ditolak pada 2016.
Kejadian-kejadian itu menjadi tambahan pemantik bagi kekesalan masyarakat di jagat maya. Begitu viralnya kejadian di atas, ucapan maaf pun dilayangkan oleh pihak Kemenkeu. Namun, bagaimana jika kejadian itu tidak viral? Akankah ada ucapan maaf dari kementerian bersangkutan?
Fenomena gugatan melalui media sosial adalah salah satu bentuk gerakan modern. Media sosial menjadi ruang protes andal karena mampu menjangkau semua kalangan dan usia. Maka, tidak heran jika masyarakat lebih memilih bersuara di media sosial ketimbang melapor langsung ke pejabat berwenang yang sudah pasti jalurnya akan berbelit-belit dan memakan waktu lama. Hanya dengan duduk atau rebahan, masyarakat melakukan perubahan dengan menyuarakan persoalan-persoalan dalam sistem pemerintahan.
Selain kasus piala, tagar #stopbayarpajak dan #janganlupabayarpajak jugalah bentuk gugatan melalui media sosial. Ini menunjukkan, pemanfaatan ruang media sosial ternyata makin masif sekalipun pemerintah telah menetapkan aturan karet tentang informasi dan transaksi elektronik.
Sebenarnya, jika yang dilakukan petugas di jajaran Kemenkeu sudah sesuai prosedur, Kemenkeu tidak perlu mengeluarkan ucapan maaf. Namun, apakah permintaan maaf Kemenkeu itu keliru? Tentu tidak. Justru, itu adalah salah satu langkah awal yang sangat baik di tengah kondisi masyarakat yang semakin apatis pada birokrasi. Namun, jika ucapan maaf itu tidak disertai dengan aksi nyata berupa reformasi sistem tata kelola dan kerja, maka ucapan maaf hanya akan menjadi pencitraan atau sekadar mengugurkan kewajiban. Masyarakat butuh kenyataan, bukan sekadar pernyataan.
Permohonan maaf memang sudah lazim digunakan, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Belanda kepada Indonesia. Sedikitnya, ada tiga permintaan maaf yang pernah mereka sampaikan. Pada 2020, Raja Willem Alexander meminta maaf atas kekerasan selama 300 tahun di masa kolonial. Kemudian, Perdana Menteri Mark Rutte meminta maaf atas agresi militer 1945 hingga 1949 pada 2022. Tidak cukup sampai di situ, bulan Desember di tahun yang sama, Mark Rutte kembali meminta maaf atas perbudakan di koloni-koloni luar negeri Belanda seperti Suriname, Curacao, dan Aruba.
Di Jepang, budaya meminta maaf pada pejabat sudah lama terbangun. Bahkan, setelah meminta maaf, akan langsung diikuti dengan pengunduran diri pejabat tersebut. Sementara itu, di Indonesia sendiri, permintaan maaf pernah dilakukan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait penanganan Covid-19.
Pemerintah seharusnya tidak perlu menunggu pemantik untuk meminta maaf dan memperbaiki kinerja. Jika masih menunggu pemantik, itu justru membuktikan bahwa benar ada ketimpangan di tubuh pemerintahan dan tidak ada keseriusan perbaikan sistem. Tata kelola pemerintahan tidak pernah bisa maju hanya dengan permintaan maaf yang setengah hati.
Para petugas lapangan dari sektor publik mana pun seyogyanya bersikap ramah. Sudah sepatutnya rakyat mendapat perlakukan sesuai aturan tanpa dibeda-bedakan atas dasar kelas sosialnya. Pemerintah wajib bisa menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan menindak petugas yang melanggar. Jadi, sanksi tidak cuma diberlakukan pada warga yang melanggar aturan.
Tulisan lain oleh Amy Djafar:
Alur birokrasi, serta keterbukaan informasi dan pengelolaan keuangan negara selama ini sulit diakses. Ketika muncul pemantik berupa kasus viral, banyak hal yang kemudian tersorot, termasuk kejadian masa silam. Padahal, jika punya kemauan, Kemenkeu atau instansi pemerintahan mana pun pasti bisa membagikan akses terhadap semua informasi itu; tidak perlu menunggu ada keluh kesah warga yang viral.
Apa gunanya meminta maaf berbanyak kali jika persoalan fundamentalnya tidak diperbaiki? Hal yang dibutuhkan masyarakat adalah perbaikan mendasar dan menyeluruh sistem birokrasi dan transparansi pengelolaan keuangan, serta pengusutan hingga tuntas dugaan perilaku korup dan aliran dana mencurigakan para pejabat.
Editor: Emma Amelia