absurddd~

Anamnesis dan Puisi Lainnya

Aditya Yudistira

2 min read

anamnesis

ruhnya diperam dalam gubuk tua
busung lapar berlarian mengejar maut
dengan lembaran kening berbulir asin
yang pepat dijilati petapa
di tepi kenanaran orde baru
yang tak sempat menggurat tamsil
pada palung petang.

ia tak pernah memilih untuk lahir
di suatu tubuh ini atau itu.

namun, keterlemparannya memilih dunia
ia dipaksa pakai seragam dari bendera usang
yang sebelumnya tak pernah merdeka
selalu sembunyi di impitan nama raya yang sesak.

sejak itu ia tak lagi pernah terlihat bahagia
sebab kain di tubuhnya tanggal oleh malam
segala yang tampak hanyalah kehendak tunggang-langgang
menuju merbah yang akan tarah.

(Palimo, 2022)

a posteriori

keterlemparan waktu yang menginjak bilangan awal dua puluh; semua entitas di luar diri bergerak menuju asing dan sangsi. kesadaran diri adalah teman yang merangkul gelap dalam ruang isolasi; semuanya―menjadi asing dan sangsi.

kepalanya menghilangkan susunan angka yang menjadi password laptopnya. persis ketika perut belum terisi selama dua hari. “apakah masa tubuhmu masih dapat ditimbang ke pengepul barang bekas demi sebutir beras?” katanya. saat itu pula, ia mulai tidak merayakan kedatangan angin muson barat seperti biasanya. karena tubuhnya khawatir pada angin asing yang datang tanpa permisi, menyeretnya ke rumah pengepul ketika banjir.

kehidupanmu kini adalah setumpuk lembaran kegundahan dan kebanalan yang selalu ada mendung bergelayut. memungut aksara yang hanyut pada keanekaragaman kesan indrawi. hingga datang waktu ketika bola mata jadi saksi keganasan despot tirani. dan kau masih berusaha menyulut bara api pada derai-derai halaman suram. sambil bertepuk tangan pada sepinya malam, walau lidah-lidah tetap riuh menari di dasar lantai. asyik cumbui mimpi hingga sabtu pagi.

(Palimo, 2022)

banal yang binal

selama ini penindasan adalah keseharianmu
putih, absurd, dan masif. orang-orang melabeli kau
sebagai inferioritas yang wajar, sebentar lagi sekarat menjadi mayat.

meskipun sebetulnya kau sekarat; tubuh, jiwamu
dipaksa parkir dalam oase monopoli penafsir.

setiap detik kau memungkiri dunia mungkin adalah segala lakon.

dan kau adalah aktor amatir, tanpa naskah
maupun segala sorot cahaya. takdirmu
satu-satunya penonton. tak ada tepuk tangan,
dan kau masih saja meyulut api perlawanan.

di awal hari yang masih gelap kau terbangun―
memikirkan kehidupanmu kini yang hanyalah kesia-siaan
hidup tak bermakna dan sisa-sisa pait tuak di tenggorokan;
lalu kau meraih amplop yang berisi surat darinya; ini nasib harus diludahi dan dicintai;
dan kau pun menangis membawa air mata api yang tersisa.

(Palimo, 2022)

tak ada ia hari ini

semakin hari
ia tak tahu apa yang terjadi.
kepalanya membentur ketiadaan,
tangannya tak lagi lihai menari
segalanya
teralihkan buyarkan nyata.

bagaimana
jika kita benar mereguk kesia-siaan,
menepis sejubel atribut yang mungkin
dari pemukiman tubuh-tubuh di malam hari.
segalanya
tergantung atas tanya.

bilakah siklus hidup menjemput,
bermetamorfosis menjadi kumbang kotoran
di pagi hari; di atas kasur keras tak berseprai
seperti remah roti; pada malam natal yang berjarak
dari perapian yang dipancang
terang benderang di layar acang.

(Palimo, 2022)

hujan-hujan, kali ini

angin semilir menerpa batang pohon
akarnya mencengkram tanah menari-nari
laksana waktu yang menggebu-gebu
saat meracik langit dalam racauan presipitasi

misal, mengapa hujan kali ini:
sangat ganas memeras perutku
yang sudah lama dalam ketiadaan;
tanpa permisi penaka merenggut
tawamu dalam lingkaran penuh
usia pohon di belakang halaman rumah
yang juga bukan milik kita

mungkinkah, hujan kali ini:
mengakumulasi momen-momen canggung,
memanifestasikan mata-mata wajar yang melihat
nasi lebih segalanya daripada kertas
padahal kau sangat tahu itu!
ia diproduksi oleh badan-badan negara
dengan bercak-bercak keringat dan daki di pantatnya
sedang tangannya sibuk melinting tembakau yang besar
sebesar amerika latin yang ditulis dengan gejolak darah pembangkangan
dalam atlas di halaman seribu sembilan ratus empat puluh sekian
yang tersedia di taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi

barangkali, hujan kali ini:
negara versus swasta, siapa yang menang, ya?
belalang sembah adalah makhluk paling berani
buktinya ia mengintip dari balik alang-alang di ujung gang
menyaksikan negara dan swasta birahi, saling tusuk dari belakang
bahkan angin tak diberi masuk ke hidung mereka, yang bergerak
memanjang dan memendek, bersamaan dan
tergantung kaki-kaki yang menginjak lantai di bursa efek
tergantung jempol-jempol yang memperhatikan gravitasi grafik.

pada saat prosesi pernikahannya yang paling dramatis
disiarkan daring secara gratis
walau tak ada syarat dan ketentuan yang berlaku
kaum papa tak mampu menyaksikannya
sebab baginya, nasi lebih nyata daripada segalanya.

(Palimo, 2022)

*****
Editor: Moch Aldy MA

Aditya Yudistira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email