Perjudian bukanlah fenomena baru dalam kehidupan manusia, perjudian sudah ada jauh sebelum peradaban modern terbentuk. Riset Nugroho E pada 1997 bahkan mengungkapkan bahwa dalam temuan arkeologis ditemukan jenis permainan yang diduga telah ada sejak tahun 3.500 sebelum masehi—permainan ini secara teknis dapat dikatakan sebagai bentuk perjudian di masa itu. Secara definitif, perjudian dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mempertaruhkan sesuatu yang bernilai permainan, perlombaan, dan hasil yang belum dapat diketahui (gambling).
Bentuk-bentuk perjudian pun mengalami transformasi mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat dari masa ke masa, hingga sampailah pada perkembangan terkini di mana teknologi menopang berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam konteks ini pula, perjudian mulai banyak berubah bentuk menjadi daring atau online. Praktik-praktik judi konvensional seperti dadu dan togel, kini mulai bergeser ke perjudian online seperti parlay dan slot.
Dalam diskursus sosial, perjudian diidentikkan dengan tindakan negatif yang melawan hukum, baik hukum negara maupun hukum agama. Sehingga, literatur-literatur yang mengangkat isu tentang perjudian didominasi oleh pendekatan normatif. Selain itu, banyak yang menganggap bahwa judi adalah kegiatan sia-sia yang irasional, dalam salah satu platform media sosial, saya menemukan banyak orang yang mengutuk mereka-mereka yang kecanduan judi.
Kajian-kajian maupun diskursus yang muncul di media sosial menurut saya tidak cukup memadai untuk memahami fenomena ini secara komprehensif, untuk itulah tulisan ini saya susun, mencoba untuk memahami fenomena perjudian dari sisi kebudayaan. Tidak memadainya kajian-kajian normatif ini tentu membutuhkan pandangan alternatif untuk membahasnya, dan sebagai sebuah permainan, perjudian sudah sepantasnya dibahas dari perspektif kebudayaan.
Jika berangkat dari definisinya, perjudian adalah permainan. Artinya, ada sebuah objek yang dimainkan dan ada efek kesenangan yang tentunya diharapkan. Banyak yang menganggap permainan adalah cara manusia untuk mencari kesenangan, kegembiraan, dan membunuh kebosanan. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi seorang pemikir asal Belanda, Johan Huizinga menolak asumsi ini, menurutnya, kegiatan bermain bagi manusia adalah salah satu elemen kebudayaan, permainan lahir dari kebudayaan dan membentuk kebudayaan itu sendiri. Pandangan ini kemudian ia ramu menjadi suatu konsep antropologis, yakni Homo Ludens.
Homo Ludens dapat dipahami secara sederhana sebagai pandangan yang menganggap bahwa manusia pada dasarnya merupakan seorang pemain yang suka memainkan permainan. Dalam nomenklatur lain, kita tahu manusia sering disebut sebagai Homo Sapiens dan Homo Faber, yang menganggap manusia sebagai makhluk berpikir dan mencipta, sehingga kegiatan berpikir dan menciptakan sesuatu adalah keniscayaan dari eksistensi manusia. Homo Ludens pun begitu, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang bermain, permainan dan memainkan sesuatu adalah keniscayaan bagi keberadaan manusia. Jika meminjam terminologi Heidegger, permainan merupakan bagian dari cara berada manusia yang terlempar ke dunia bersama hasrat bermain mereka.
Dalam konsep Homo Ludens, permainan adalah hasil produk kebudayaan yang sekaligus menciptakan kebudayaan itu sendiri, ia juga ada dalam kebudayaan sekaligus terlepas darinya. Huizinga mencontohkan aktivitas bermain yang dilakukan oleh hewan dan anak kecil, mereka tidak membutuhkan kebudayaan untuk asyik bermain dengan objek yang dimainkannya, sedangkan melalui bahasa, kebudayaan kemudian menciptakan aturan dan ketentuan tentang batasan-batasan permainan tersebut. Untuk itulah, bermain sejatinya dianggap lebih purba dari kebudayaan.
Judi Online dan Homo Ludens
Perkembangan teknologi membuat kehidupan masyarakat menjadi semakin mudah, tak terkecuali dalam mengakses permainan, judi misalnya. Situs judi online seperti parlay dan slot yang menjamur membuat masyarakat semakin dekat dan mudah dalam mengaksesnya, sehingga penggunanya pun meningkat pesat. Hal ini pula yang membuat judol menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, banyak masyarakat yang mulai resah karena teman, tetangga, maupun anggota keluarga mereka yang kecanduan. Secara praktiknya, perjudian memang cenderung merugikan pemainnya, bahkan ada anggapan yang mengatakan bahwa penjudi tidak akan pernah menang melawan bandar. Hal itu telah menjadi rahasia umum, sehingga tulisan ini tidak akan banyak membahas terkait hal tersebut. Melainkan akan lebih fokus untuk melihat judol dalam konteks kebudayaan, bagaimana kebudayaan berhasil merangsang hasrat bermain Homo Ludens? Lalu, apa yang dicari oleh Homo Ludens dari permainan yang “katanya” merugikan tersebut?
Sebagai sebuah permainan, judol merupakan hasil dari kebudayaan modern—bentuk perjudian konvensional yang “nebeng” pada perkembangan teknologi terkini—yang awalnya hanya bisa ditemui di tempat-tempat khusus, kini, dapat diakses di manapun. Di samping itu, judol juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang “sakaw”—hal ini tak lepas dari sistem seduksi yang tersemat dalam promosi, sehingga merangsang naluri alamiah Homo Ludens untuk memainkannya.
Dalam konsepsi ini, dapat disimpulkan bahwa judol merupakan sebuah produk kebudayaan dan kecanduan judi online merupakan konstruksi kebudayaan. Namun, hasrat memainkannya berangkat dari naluri alamiah manusia. Lalu, apa yang hendak dicapai oleh Homo Ludens? Menurut Huizinga, salah satu sifat dari permainan adalah autotelic, yaitu memiliki tujuan untuk dirinya sendiri. Kecanduan judol terlihat tidak rasional bagi orang lain, tapi tidak bagi si pecandu. Bermain judi memiliki tujuan yang “rasional” menurut dirinya sendiri. Meski banyak yang mengatakan bahwa tujuan pemain judi adalah kemenangan, tetapi menurut Huizinga itu bukan tujuan utamanya, tujuan mereka adalah sensasi kesenangan dan pengalaman yang terjadi saat permainan itu berlangsung. Kesenangan dalam permainan tidak ada hubungannya dengan dampak yang didapat setelah permainan itu selesai. Dalam konteks ini, pada dasarnya para penjudi tahu bahwa persentase kemenangan mereka sangatlah kecil, namun sensasi dari bermain-main dengan “untung-untungan” inilah yang mereka nikmati.
Menyikapi Permainan yang Cenderung Merugikan
Jika bermain adalah hasrat dan kehendak alamiah Homo Ludens untuk mencari sensasi dan kesenangan saat permainan itu berlangsung, maka hal ini mungkin sejalan dengan konsep id dalam struktur kepribadiannya Sigmund Freud. Menurut Freud, manusia memiliki tiga bagian struktur kepribadian, yakni id, ego, dan superego. Id merupakan struktur kepribadian terdalam dari diri manusia, berisi naluri primitif, kekanak-kanakan, dan cenderung irasional, tujuan id adalah kesenangan. Ego merupakan bagian dari sisi kesadaran manusia, ego berkembang sebagai perantara antara id dan superego, ego bekerja berdasarkan nalar rasional. Sedangkan superego mencakup nilai moral yang ada dalam masyarakat, superego bekerja berdasarkan prinsip moralitas.
Menurut Freud, ketiga lapisan kepribadian ini harus seimbang, ketidakseimbangan ketiganya akan berdampak tidak baik bagi diri seseorang. Misalnya, ketika ego dan superego tidak mampu mengontrol id seseorang, akan membuat orang tersebut cenderung melakukan tindakan yang irasional dan tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, ketiganya harus berjalan seimbang dalam diri manusia.
Dalam konteks ini, naluri bermain Homo Ludens yang lahir dari struktur id manusia semestinya mendapat kontrol dari ego dan superego manusia tersebut. Ego yang berisi kesadaran harus mampu mengolah kenyataan secara lebih rasional, mempertimbangkan dengan baik persentase kekalahan dengan modal yang mereka miliki, serta memahami secara lebih jernih konsep judi yang tidak akan pernah menjanjikan keuntungan mutlak bagi mereka. Sedangkan superego yang mencakup keberadaan nilai-nilai dan norma, dalam hal ini lingkungan sosial dan keluarga—harus mampu memberikan kontrol yang baik kepada seseorang, khususnya pecandu permainan yang lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan, seperti judol.
*****
Editor: Moch Aldy MA
One Reply to “Homo Ludens dan Kecanduannya terhadap Judi Online”