Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Otak

Katarina Retno Triwidayati

3 min read

“Ibu dan bapak kecewa! Apa itu kurang jelas untukmu?”

Ren menunduk. Ingin menjawab meski akhirnya tak ada satu kata pun terucap. Ia bergerak gelisah. Hanya sedikit menggeser tubuhnya lalu diam. Ia memilin ujung bajunya. Lalu bergeser lagi dan diam kembali.

Tempat itu terasa dingin meski tanpa kipas atau pendingin ruangan. Jendela-jendela besar masih terbuka lebar. Juga tikar masih terhampar. Beberapa orang masih duduk berbincang di teras rumah.

“Ibu sudah bilang, orangtuamu memang bukan orang kaya. Tapi, bukan berarti kami tidak berusaha. Sebagai anak mestinya kamu mengerti bahwa apa yang Bapak dan Ibu lakukan semuanya untuk kebaikanmu. Kamu itu pintar. Jadi gunakan otakmu sebagaimana mestinya. Apa kamu ndak paham?”

Suara Ibu bergaung-gaung. Rasanya berulang-ulang terus meski itu sudah lama berakhir. Akan berputar lagi di kepalanya seperti pita kaset yang rusak. Terus menerus membuat kepalanya terasa diikat kuat dengan tali dan ditarik dengan arah berlawanan. Itu sakit, sialan!

Ren mengedarkan pandangan. Gelas-gelas masih ada yang berisi air. Juga piring yang semula berisi permen atau roti murahan yang dibawa para tetangga. Semua itu berkumpul di tempat para pelayat semula duduk.

Ren tentu saja ingat dengan jelas. Bapak baru saja dikubur, persis di sebelah makam ibunya. Sialnya, suara Ibu berdengung-dengung sejak tadi. Sejak jenazah Bapak masih ada di ruangan ini.

Terdengar suara berkelontang. Mungkin kucing berbulu cokelat miliknya telah menjatuhkan sesuatu. Wadah makan kucing atau bahkan mungkin kaleng atau panci. Ren menggeleng. Ah, rasanya tak perlu lagi berpikir tentang itu di saat begini.

Ren menutup kedua telinganya. Tak ingin mendengar suara yang bergaung, memantul-mantul itu.

“… kita ini miskin, tapi tidak murahan. Apa saja yang bisa kita kerjakan, ya kita kerjakan. Tapi bukan berarti menghilangkan kehormatan.”

“Kehormatan apa, Bu? Aku toh menggunakan otakku sebagaimana mestinya.”

Ren merasa ia mendengar ibunya mendengkus. Itu sedikit menyebalkan untuknya. Ibu yang keras, selalu meletakkan apa saja yang disebutnya sebagai kehormatan di tingkat paling tinggi.

“Benar kamu pakai otakmu. Tapi kamu punya pilihan mengajari orang, bukan membuatkan tugas akhir mereka. Kamu sama saja membantu banyak orang tidak kompeten jadi punya ijazah. Kamu tahu apa dampaknya? Mereka akan bekerja, mengambil keputusan penting, tapi tidak tahu apakah keputusan itu tepat.”

“Kalau begitu salahkan saja sistem rekrut pekerja yang masih ngeliat ijazah dan angka-angka, Bu. Aku hanya mencari makan.”

“Kamu itu tidak menggunakan otakmu dengan benar. Kamu bisa menolong calon guru itu dengan mendampingi mereka….”

“Mereka mau cepat lulus. Mau cepat kerja biar bisa mengembalikan modal pendidikan mereka!”

Aku sengaja memutus kata-kata Ibu dan memberi penekanan pada kata modal. Perdebatan dengan ibu tentang hal ini memang telah berlangsung lama, berulang-ulang hingga Ren hapal tiap urutan dialognya meski Ibu telah lama berpulang.

Ibu terus saja bicara, menasihati sesuatu yang rasanya tidak relevan sama sekali dengan dunia nyata. Ren terus menutup telinga meski sebenarnya suara itu tetap bisa terdengar. Jelas. Makin jelas. Terasa sangat jelas.

“Kamu sudah membunuh bapakmu!”

DEG! Rasanya jantung Ren menghentak kuat. Perlahan diturunkan kedua tangannya. Diangkat wajahnya dan di sana Na menatapnya. Kenapa Na selalu ada di dekatnya, menempel seolah tak mau lepas dari dirinya?

Mata Na merah. Bibirnya bergetar menahan amarah. Na memang sayang Bapak. Teramat sayang. Mungkin kematian Bapak mengguncangnya juga.

“Aku tidak membunuh Bapak!” teriak Ren.

“Ya. Kamu membunuh Bapak!” balas Na dengan cara yang sama.

“Bapak sudah bilang, kalau punya otak, punya kepintaran, ya digunakan dengan semestinya. Bantu orang bodoh jadi pintar! Bukan membantu orang bodoh tapi berduit itu dengan berpura-pura menjadi mereka.”

“Mereka membayar dengan sangat pantas!” Ren menatap Na dengan tajam. “Apa perlu kuingatkan bahwa baju bagus yang kamu pakai itu pun dibeli dari uang itu?”

“Kalau begitu, uang itu harus mereka gunakan untuk membayar orang yang mau mengajarinya. Bukan membuatkan skripsi, penelitian, dan semua urusan administrasi itu. Mereka harus menyelesaikan masalah mereka….”

“Tidak semua orang memang ingin belajar. Mereka hanya mencari selembar kertas dengan angka-angka cemerlang agar bisa kerja dan dapat gaji besar. Lagipula kuingatkan, dengan membayar supaya aku mengerjakan hal itu, mereka sudah berikhtiar menyelesaikan masalah.” Ren benar-benar tak mau kalah. Ia sudah sangat lelah dianggap salah.

“Ikhtiar? Itu yang kau bilang ikhtiar? Para guru dan calon guru itu membayarmu supaya mengerjakan sesuatu yang dijadikan syarat kenaikan pangkat atau kelulusan itu dan kau bilang ikhtiar?”

Ren merasa sangat marah. Apa salahnya menulis sesuatu untuk mereka? Bukankah mereka juga memberinya uang yang pantas? Setidaknya ia tidak lagi kelaparan.

“Kamu membunuh Bapak, Ren!”

“Tidak. Aku tidak melakukan itu.”

“Bapak sakit begitu karena tahu tentang pekerjaanmu yang sebenarnya. Kamu tahu itu memalukan!”

Memalukan! Suara yang begitu entah kembali bergaung. Ren merasa amat terganggu.

“Tidak. Kenapa memalukan?” tanya Ren bingung sekaligus penuh kemarahan.

“Kalau Ibu dan Bapak bilang itu memalukan ya memalukan!” Na menjawab dengan nada yang sangat tegas.

Bagaimana Na ini? Bukankah dia harusnya menjadi teman paling dekat untuk Ren? Harusnya jadi sahabat terbaik Ren? Orang pertama yang mengulurkan tangan ketika Ren jatuh? Lagipula kenapa dia hanya bisa mengikuti kata-kata orang tanpa tahu alasannya?

“Kamu bahkan tidak bisa menjelaskan kenapa itu memalukan. Jadi berhenti menghakimi orang!” itu suara Ren. Nada frustrasi dan kemarahan kental di sana.

“Memalukan! Mati saja sana daripada membuat malu keluarga!” itu suara Na. Selalu saja ikut-ikutan.

Ren berdiri, memukul, menendang, menggapai apa saja untuk dilemparkan. Dihancurkan. Menghantam kepala Na dengan apa saja yang bisa diraihnya. Berkali-kali. Berulang-ulang.

“Berhenti membeo! Berhenti menghakimi! Kau tidak pernah tahu apa rasanya lapar. Menunggu dan akhirnya tahu bahwa hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk hidup!”

Ren terus berteriak. Mencaci. Mengumpat. Mengeluarkan semua yang ingin dia katakan.

Ia berhenti ketika melihat Na bersimbah darah dengan luka di sekujur tubuhnya. Darah di mana-mana membuat mata Ren ikut memerah.

“Kamu tak tahu rasanya lapar. Kamu tak tahu kehormatan itu hilang di hadapan rasa lapar! Mati saja. Mati saja kamu!”

Napasnya satu-satu. Perlahan Ren ambruk. Tubuhnya bersimbah darah. Penuh luka meski yang paling parah ada di hatinya. Detik itulah Ren membenci dirinya yang selalu lupa bahwa Na adalah juga dirinya.

Orang-orang bereaksi. Mungkin berteriak, mungkin menjerit. Entahlah. Ren hanya merasa kepalanya membesar, makin membesar, lalu meledak. Meledak seperti kembang api. Muncrat ke segala arah.

***

Editor: Gufranars

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email