Perempuan itu meninggalkan rumah dengan perut yang belum terisi di pagi hari yang dinginnya menusuk tulang. Sebelum pergi, ia menyiapkan makanan untuk keluarganya lalu masuk ke bilik anak-anaknya; membetulkan selimut, mencium kening anak laki-lakinya, dan meletakkan selembar kertas di samping bantal putrinya—sebuah daftar yang harus dia lakukan saat ibunya belum pulang. Dengan tas selempang berisi uang pecahan serta dagangan yang dibungkus dengan kain sarung dan dimasukkan ke karung goni, perempuan itu pun berangkat bersama perempuan-perempuan lainnya.
***
Parengge-rengge merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Batak, khususnya yang menetap di pedesaan. Parengge-rengge adalah sebutan untuk orang-orang yang berjualan sayur-sayuran dan rempah-rempah seperti cabe, jahe, kunyit, lengkuas, bawang merah, dan andaliman di pasar-pasar. Jualan mereka biasanya hanya beralaskan tenda atau terpal.
Awalnya, parengge-rengge lumrah dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Namun, sekarang ini, perempuanlah yang identik dengan dan mau melakukan pekerjaan ini sehingga mendapat sebutan inang-inang parengge-rengge (ibu-ibu pedagang). Para laki-laki atau para suami hanya sibuk menjadi pengamat politik, ekonomi, dan olahraga di lapo kopi.
Baca juga:
Parengge-rengge berasal dari kata rengge-rengge yang bermakna tomat kecil yang rasanya asam. Masyarakat Batak biasanya menanam tomat kecil itu di belakang rumah atau di lahan-lahan yang masih kosong di sekitaran rumah. Itulah mengapa rengge-rengge sering disebut tomat batak. Tomat kecil itu biasanya digunakan untuk keperluan sehari-hari rumah tangga, tetapi selalu berlebih. Akhirnya, tomat yang berlebih itu dijual di pasar-pasar. Harga yang lebih murah dibanding tomat besar membuat tomat kecil laris di pasaran. Lama-lama, tomat kecil menjadi representasi masyarakat kecil dan pedagang tak bermodal yang hanya mengandalkan kesuburan lahan dan pekarangan.
Parengge-rengge jugalah seorang pengembara. Mereka akan berjualan dari satu pasar ke pasar lainnya. Hal tersebut dilakukan karena pasar-pasar di kabupaten tidak setiap hari buka, tetapi terjadwal setiap daerah. Misalnya, hari Senin pasar buka di daerah A, hari Selasa di daerah B, begitu seterusnya. Jarak dari rumah parengge-rengge ke pasar terkadang dekat, terkadang harus ditempuh dengan melakukan perjalanan selama berjam-jam.
Parengge-rengge akan berangkat pagi sekali—pukul 3 atau pukul 4 pagi—menaiki mobil bak terbuka seperti L300. Suasana di atas mobil terkadang riuh dengan gosip-gosip hangat, terkadang juga hening karena dinginnya angin yang berembus seiring laju mobil yang semakin kencang membelah jalanan beraspal. Beberapa perempuan biasanya memilih menyalakan rokok sambil melilitkan paroppa (kain) ke tubuh. Mereka harus berpacu dengan waktu menuju pasar yang terletak cukup jauh. Sesampainya di pasar, mereka akan sibuk menata dagangan masing-masing, kemudian menyambut para pembeli. Kalau mobil rusak, mereka bisa terlambat ke pasar atau bahkan tidak jadi berjualan.
Peran Ganda Perempuan Batak
Parengge-rengge adalah potret peran ganda perempuan Batak di tengah masyarakat patriarkis. Ada banyak ibu yang menjadikannya sebagai batangan dan tulang punggung dalam melanjutkan hidup.
Masyarakat Batak memang sangat memuliakan seorang laki-laki. Anakhon hi do hamoraon di au (anak laki-lakiku adalah harta paling berharga bagiku) adalah kalimat yang sering terngiang di sana-sini. Anak laki-laki dianggap istimewa karena dapat meneruskan marga, sedangkan anak perempuan hanya menjadi bagian dari keluarga orang lain.
Saat seorang perempuan menikah, ia harus menghafal silsilah keluarganya dan juga keluarga suaminya. Sementara itu, suami hanya perlu mengetahui silsilah keluarganya saja. Saat makan keluarga, seorang ayah punya piring, gelas, dan tempat cuci tangan khusus yang berbeda dengan anggota keluarga lainnya. Tidak boleh ada yang memakainya. Apabila ada orang yang melanggar, ibu yang akan menjadi hakim.
Pada konteks ekonomi rakyat, parengge-rengge punya peran luar biasa. Ia menjadi sandaran bagi perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebab, selain masalah reproduksi, mengasuh anak, melayani suami, dan mengurus rumah tangga, perempuan juga harus menghidupi keluarganya. Parengge-rengge menjadi pilihan yang paling rasional bagi perempuan Batak sekaligus saksi betapa besarnya kontribusi ibu untuk pendidikan anak-anaknya. Ada banyak anak yang bisa bersekolah hingga ke perguruan tinggi dari ibu yang hanya seorang parengge-rengge.
Parengge-rengge biasanya dilakukan oleh perempuan yang berumur 18-71 tahun selama berpuluh-puluh tahun. Biasanya, mereka hanya tamatan SD atau SMP, tapi beberapa ada juga yang tamat SMA. Alasan perempuan mengambil pekerjaan ini tidak lain adalah tekanan ekonomi—suami tidak bekerja, utang banyak, serta anak-anak yang butuh makan dan biaya sekolah. Mereka bisa mengantongi pendapatan bersih hingga 750 ribu sampai 1 juta rupiah setiap hari. Boleh dibilang, hanya usia dan modal yang bisa menghentikan parengge-rengge mengembara.
Menjadi parengge-rengge jugalah upaya perempuan Batak untuk keluar dari ruang privat dan tampil di ruang publik. Di pasar, mereka bisa bertemu dengan banyak orang dan teman lama, mengobrol sepuasnya, dan sejenak melupakan segala persoalan hidup. Mereka juga bisa melakukan dan membeli apa saja tanpa kungkungan suami maupun memikirkan cibiran tetangga.
Baca juga:
Namun, banyak di antara parengge-rengge yang tidak bisa hadir dalam tumbuh kembang anak-anak, serta menjadi orang asing dan kurang bersosialisasi di kampung. Hal ini menyedihkan dan mereka sesali. Parengge-rengge berangkat pagi sebelum subuh dan pulang sore. Kalau pasarnya jauh, bisa pulang pukul 6 hingga 10 malam. Kakak perempuanlah yang pada akhirnya berperan menjadi ibu kedua untuk adik-adiknya; memandikan, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, dan semua yang biasa ibu lakukan.
Bagaimana dengan ibu lainnya dengan kondisi yang sama? Mereka biasa menitip barang untuk dijual atau dibeli ke parengge-rengge sambil sesekali berharap suaminya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan hidup lebih baik bersama anak-anak mereka.
Parengge-rengge yang pulang sore hari sudah ditunggu oleh anak-anak mereka di pinggir jalan. Anak-anak itu menunggu ibunya yang pasti membawa oleh-oleh berupa makanan dan mainan, lalu mereka pulang bersama ke rumah masing-masing. Sementara itu, parengge-rengge yang pulang larut malam hanya bisa melihat anak-anak mereka tidur pulas dari balik celah pintu yang sedikit terbuka.
Benar kata orang, perempuan Batak memang tercipta dari tulang rusuk punggung.
Editor: Emma Amelia