Serial WandaVision (2021) mengisahkan perjalanan Wanda Maximoff menjadi Scarlet Witch. Dalam perjalanannya, penonton disajikan perjuangan eksistensial seorang perempuan dalam dunia postmodern.
Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) tak mengira malam itu kehidupannya akan berubah 180 derajat. Padahal malam itu sudah ia nantikan: malam ketika ibu, ayah, dan saudara kembarnya Pietro duduk bersama menonton sitkom TV favorit Wanda. Namun, semua berubah jadi malapetaka ketika sebuah ledakan menyasar ke rumah Wanda. Situasi politik di negara tempat Wanda tinggal memang sedang kacau. Beruntung Wanda dan Pietro selamat, namun kedua orang tuanya meninggal seketika. Saat itu, mereka masih 10 tahun.
Pengalaman traumatis itu membuat masa remaja Wanda dan Pietro diisi dengan berbagai aktivitas politis: menentang dan mengorganisir protes kepada pihak yang mereka anggap bertanggung jawab atas kematian kedua orang tuanya. Ketika situasi politik di negaranya semakin kacau, mereka bergabung dengan HYDRA—sebuah organisasi politik yang kemudian dianggap sebagai organisasi teroris.
Bersama HYDRA, Wanda setuju melaksanakan sebuah eksperimen yang ternyata membangkitkan kekuatan sihir dalam dirinya. Mau tak mau, Wanda dan Pietro makin terjun ke dalam pertempuran politis. Pada kesempatannya, aktivitas politis mereka ini buat Pietro terbunuh.
Wanda tinggal seorang diri. Semua anggota keluarganya sudah tiada. Namun ketika bergabung dengan Avengers, ia bertemu Vision (Paul Bettany)—sebuah robot sintesis yang memiliki kemampuan kecerdasan buatan (artificial intelligence) super. Singkat cerita, mereka memulai hubungan romantis.
Sayangnya nasib sial selalu di sisi Wanda. Saat Avengers bertarung melawan Thanos—sebuah makhluk luar angkasa yang ingin memusnakan setengah populasi semesta, Vision terbunuh.
Sekali lagi, Wanda tinggal seorang diri. Saat kecil orang tuanya, saat remaja saudara kembarnya, dan saat dewasa giliran kekasihnya: semua terbunuh tepat di depan mata Wanda.
Realitas hidup yang suram buat Wanda tak tahan lagi. Dengan kekuatan sihirnya, ia menciptakan dunia dengan realitas sesuai impiannya: kehidupan indah suami-istri layaknya sitkom TV favoritnya saat kecil dulu. Dalam realitas itu, Wanda membangkitkan kembali Vision dan hidup bersama sebagai keluarga kecil.
Wanda berperan jadi ibu rumah tangga yang mengurus semua kerjaan rumah dan setia menunggu sang suami, Vision, pulang kerja. Ya, walau bisa jadi apa saja di dalam realitas yang ia ciptakan sendiri, Wanda memilih peran istri di sebuah keluarga patriarki tradisional. Realitas itulah yang diinginkan Wanda. Bagaimanapun, memang itulah citra keluarga bahagia sesuai sitkom TV favoritnya.
Yang terjadi di sini adalah apa yang ahli semiotika Marcel Danesi sebut “TV sebagai teks sosial” dalam bukunya Pesan, Tanda, dan Makna (2010, Jalasutra). Apa yang dimaksud teks sosial? Danesi mencontohkan kehidupan abad pertengahan di Eropa ketika skema hidup sehari-hari masih dibimbing oleh teks sosial religius.
Di era itu, masyarakat hidup dengan kode moral ketat yang diambil dari teks religius. Orang beribadah secara teratur dan menjalankan nasihat serta perintah pemuka agama di kehidupan sehari-hari. Pesan dari teks sosial religius ini adalah setiap hari manusia makin dekat ke takdir sejatinya: keselamatan dan kehidupan setelah mati bersama Tuhan—sehingga kehidupan sehari-hari harus sesuai teks religius. Hidup menurut teks sosial ini memberi perlindungan emosional dan makna spiritual pada kehidupan setiap orang yang menjalankan.
Setelah Renaisans, teks sosial religius makin diganti dengan teks yang lebih sekuler. Dan sejak 1950-an, ketika TV mulai masuk ke kehidupan sosial masyarakat, TV langsung jadi media tempat orang menangkap informasi mengenai kehidupan. TV telah jadi teks sosial masyarakat. TV jadi patokan orang untuk menata kesehariannya. Artinya, masyarakat akan mengambil makna dari TV untuk rutinitas keseharian mereka. Program TV kerap jadi patokan kehidupan nyata yang semestinya—seperti Wanda yang mengambil makna keluarga bahagia sesuai sitkom yang kerap ditontonnya.
Masalahnya, sesuai kritik Danesi, program TV jarang sekali inovatif. Program TV cenderung mengukuhkan tren gaya hidup yang sudah dibentuk sebelumnya—karena lebih mudah diterima masyarakat. Maka tak heran jika sitkom favorit Wanda menggambarkan keluarga bahagia berdasarkan struktur patriarki. Para tokoh pertelevisian kurang tertarik menciptakan program TV yang progresif dan inovatif karena dianggap riskan secara komersil.
Istilah ‘riskan secara komersial’ perlu ditekankan karena sesuai dengan laporan Filsuf Prancis Jean-Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition (1979). Lyotard berceloteh bahwa kini pengetahuan telah jadi komoditas. Akibatnya, pengetahuan tak lagi jadi suatu yang bisa membantu perkembangan pemikiran kita. Ini karena korporasi mulai mengontrol aliran pengetahuan dan dapat memutuskan tipe pengetahuan apa yang bisa diakses oleh masyarakat luas—seperti korporat pertelevisian yang memutuskan program TV seperti apa yang dibuatnya.
Terciptalah gambaran dalam benak Wanda bahwa keluarga bahagia adalah keluarga yang sesuai struktur patriarki. Namun setelah beberapa lama menjalani peran istri yang patriarkis, Wanda mulai menyadari kehidupannya tak seindah yang ia harapkan (Ep. 7). Ia sadar ada yang salah namun tak tahu pasti apa itu. Ia bahkan ingin mengkarantina diri seharian: lepas dari segala tanggung jawab rumah tangga.
Pada saat krisis itu, beruntunglah Wanda bertemu dengan diri asli Agatha Harkness (Kathryn Hahn)—sesama penyihir yang sudah hidup lebih dari 300 tahun. Agatha menghadapkan Wanda dengan realitas hidup yang sesungguhnya: ia menyadarkannya Wanda dari fantasinya. Bahkan, Wanda sadar akan potensi kekuatan sihirnya berkat Agatha.
Walau Agatha diproyeksikan sebagai si antagonis, namun ia lah yang ‘membebaskan’ Wanda. Berkat Agatha, Wanda berani mengakhiri realitas palsu yang ia buat. Wanda jadi sadar bahwa ia tak harus hidup sesuai peran yang diharapkan masyarakat. Ia bisa memaksimalkan potensi dirinya sebagai Scarlet Witch—bukan hanya sebagai seorang istri atau ibu seperti peran yang diharapkan masyarakat kepadanya. Ia tak lagi menyangkal diri sendiri.
Namun, pilihan Wanda tak disenangi masyarakat. Seperti yang dikatakan Wanda kepada Doctor Strange dalam trailer Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022): “Kau langgar aturan dan jadi pahlawan. Aku melakukannya dan jadi musuh. Tampaknya itu tak adil.”
Dalam buku The Second Sex (1949), filsuf eksistensialis Simone de Beauvoir memang sudah mengingatkan bahwa perempuan yang menjalani kehidupan yang benar-benar autentik—seperti Wanda—membawa beban yang lebih berat daripada ia yang sekadar menerima peran dari masyarakat. Namun, itu satu-satunya jalan untuk mencapai kesetaraan dan kebebasan.
Jadi, yang perlu ditanyakan sekarang: siapa musuh sebenarnya? Apakah Agatha atau para korporat yang mengontrol aliran pengetahuan untuk keuntungan semata?