Sebagian orang menganggap prinsip menolak untuk punya anak sebagai bentuk kegagalan manusia mencurahkan seluruh hakikatnya. Norma masyarakat biasanya akan menolak prinsip-prinsip anti-natalisme. Namun, belakangan ini prinsip tersebut banyak dianut anak muda. Alasannya mereka merasa kualitas hidup saat ini semakin menurun dan dinamika kehidupan semakin rumit. Pertanyaannya adalah, apakah anti-natalisme ini bisa menjadi solusi? atau justru menjadi tanda destruksi peradaban?
Anti-Natalisme sebagai Solusi
Kelahiran dan kematian berjalan inheren. Dalam kacamata anti-natalis, kelahiran dianggap sebagai hal yang seharusnya tidak terjadi. Anggapan tersebut bukan lambang kebencian terhadap manusia, melainkan lebih kepada nilai yang kurang baik untuk dilakukan.
Bagi anti-natalis, kehidupan yang penuh dengan penderitaan pada dasarnya tidak cukup memuaskan untuk dijalani. Dan membawa seorang anak ke dalam dinamika kehidupan yang kompleks adalah kesalahan yang cukup fatal.
Konsekuensi kehidupan secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua hal, yaitu kebahagiaan atau penderitaan. Saya akan menjelaskan sedikit banyak anti-natalisme dari sudut pandang David Benatar. Ia dengan tekun membuat sebuah buku yang khusus membahas anti-natalisme. Buku tersebut berjudul “Better Never to Have Been” (2006).
Baca juga:
Sebelum masuk lebih jauh ke sudut pandang anti-natalisme sebagai solusi, kita perlu menelusuri prinsip etika utilitarianisme dan mengomparasikannya dengan anti-anatalisme. Pada dasarnya, utilitarianisme menghendaki adanya unsur kesenangan paling maksimal yang dapat dirasakan seseorang dari suatu tindakan. Pandangan ini menuntut manusia berfokus pada kesenangan optimal dan memperkecil peluang ketidakbahagiaan. Ketidakbahagiaan dipandang sebagai hal keliru dan tidak layak dirasakan manusia. Dengan demikian, hampir setiap orang yang menggunakan prinsip utilitarianisme akan bekerja cukup keras demi mengusahakan kebahagiaan maksimal dalam hidupnya.
Cukup disayangkan utilitarianisme tidak berlaku dalam konsep anti-natalisme. Katakanlah ketidakbahagiaan seseorang besarnya 10% dan kebahagiaannya sebesar 90%. Bagi sebagian orang, kebahagiaan sebesar 90% merupakan hal yang sangat luar biasa, dan ketidakbahagiaan yang hanya 10% bukanlah sesuatu yang perlu dipusingkan. Dengan begitu, prinsip utilitarianisme dapat berjalan dengan baik, bahkan pada titik tertentu, ketidakbahagiaan masih dapat ditekan hingga menuju persentase yang lebih kecil.
Namun, anti-natalisme tidak peduli dengan seberapa besar kesenangan. Ketidakbahagiaan akan selalu menjadi pokok perhatian, meski ketidakbahagiaan tersebut hanya menyumbangkan 10% di dalam kehidupan. Bagi seorang anti-natalis, hal tersebut tetaplah tidak layak dan manusia baru (bayi) tidak pantas untuk merasakan ketidakbahagiaan tersebut.
Benatar mencoba menjelaskan hal ini di dalam asimetri antara kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Kita akan melihat dua skenario yang ditawarkan oleh Benatar. Pertama, ketika dilahirkan, kita akan merasakan ketidakbahagiaan dan hal itu buruk bagi kita; selanjutnya, kita akan merasakan kebahagiaan yang baik untuk kita.
Kedua, ketika tidak dilahirkan, kita tidak akan merasakan ketidakbahagiaan dan hal itu baik untuk kita; selanjutnya, kita tidak akan merasakan kebahagiaan dan hal tersebut tidak buruk bagi kita—mungkin perlu sedikit penghayatan dan pembacaan yang cukup pelan untuk memahami asimetri David Benatar.
Pada dasarnya, ia mencoba membawa kita kepada sudut pandang yang sebenarnya, mengarah pada implementasi dari sikap welas asih kepada setiap orang, bahwa ia mencoba mengatasi penderitaan lanjutan dari apa yang telah kita rasakan agar tidak berlanjut ke generasi berikutnya.
Dengan demikian, anti-natalisme dapat menjadi solusi bagi orang yang ingin menerapkannya agar mampu membuat perhitungan ekonomis maupun filosofis bagi calon anak yang sedang direncanakan. Solusi yang ditawarkan oleh para anti-natalis adalah tidak melakukan prokreasi atau tidak melahirkan (bagi yang radikal) dan tidak menambah anak (dalam konteks yang tidak terlalu radikal)—walau berhenti untuk menambah anak dapat dilatarbelakangi oleh berbagai macam motif subjektif masing-masing.
Dengan tidak melahirkan anak, kita dapat menghentikan dan mencegah hal-hal buruk menimpa calon anak kita nanti. Dan dengan demikian, kita tidak perlu khawatir atau merasa bersalah karena telah menenggelamkan mereka ke dalam penderitaan dan dinamika kehidupan yang rumit.
Anti-Natalisme sebagai Destruksi
Tidak melahirkan, tidak melanjutkan keturunan, berhenti untuk melanjutkan spesies manusia. Kalimat-kalimat tersebut memiliki makna dasar yang sama, yaitu kehancuran. Kita perlu menyadari bahwa dengan tidak adanya kelahiran manusia di muka bumi ini, cepat atau lambat umat manusia akan menemui kepunahannya.
Meski ancaman-ancaman tersebut sudah semakin dekat dan tidak hanya dipicu oleh penurunan minat untuk memiliki anak—eksploitasi alam, perang, senjata biologis—kita perlu menyadari bahwa anti-natalisme merupakan ancaman terselubung.
Hal ini telah dirasakan oleh Jepang. Bayangkan saja, terjadi penurunan populasi sebesar 0,43% pada tahun 2022 apabila diperbandingkan dengan jumlah populasi pada tahun 2023. Penurunan populasi di Jepang sudah terjadi sejak 2010, dan tren ini masih berlanjut hingga saat ini.
Pemerintah Jepang sendiri telah merasa khawatir dengan populasi di negara mereka. Jika tren ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan di masa depan penduduk Jepang akan semakin sedikit atau bahkan habis. Salah satu penyebab penurunan minat untuk memiliki anak adalah budaya kerja yang cukup ketat dan kompetitif.
Orang-orang di Jepang merasakan lelah yang luar biasa setelah pulang bekerja, dan di dalam pikiran mereka tidak lagi terbesit hal lain selain beristirahat. Akibatnya banyak anak muda yang enggan menikah, atau bagi para pasangan yang sudah menikah, mereka cenderung enggan untuk memilki anak karena tuntutan yang cukup berat dalam bekerja.
Baca juga:
Anti-natalisme dapat menyebabkan penurunan populasi manusia di bumi. Meski anti-natalisme bukan ancaman nyata untuk saat ini, kita tidak dapat menutup mata bahwa anti-natalisme memberikan sumbangan yang cukup signifikan dalam menghentikan laju pertumbuhan penduduk. Bagi sebagian orang, anti-natalisme merupakan solusi yang sangat radikal atau bahkan gila untuk dilakukan.
Belajar dari Jepang, mereka sudah merasakan dampak tidak langsung dari cara pandang anti-natalisme—meski kita tidak terlalu melihat motif-motif anti-natalis dari alasan para penduduk Jepang untuk tidak memiliki anak, kita dapat melihat adanya bayangan anti-natalisme yang terselip dalam prakondisi tertentu.
Saat ini terlalu jauh untuk melihat kehancuran populasi manusia di muka bumi. Tetapi yang pasti, kita akan sedikit mengalami kesulitan pada masa tua ketika kita tidak memiliki anak. Saya tidak bermaksud untuk mengonversi anak sebagai investasi masa depan. Dalam hal ini saya mencoba untuk melihat dari kacamata deontologi, bahwa sedikit banyak anak memiliki kewajiban untuk merawat orang tuanya di hari tua.
Saat orang tua mengalami penurunan daya fisik yang menghambat aktivitas, ia akan membutuhkan orang lain (anak atau cucu) untuk menjaga atau merawatnya ketika sakit. Dengan keadaan tersebut, kita dapat menyadari bahwa anti-natalisme akan menimbulkan kesulitan nyata bagi diri seseorang. Dan terlepas dari proyeksi di masa depan tentang peradaban manusia, anti-natalisme dapat dianggap sebagai solusi yang radikal dan melibatkan konsekuensi yang tidak sedikit pula.
Pilihan Subjektif
Menjadi anti-natalis atau bukan, tentu saja bukan dikotomi yang bersifat mutlak. Keputusan seseorang untuk menjadi anti-natalis atau bukan merupakan sikap subjektif yang sudah menyangkut kepercayaan. Kita boleh percaya bahwa melahirkan anak ke dunia merupakan hal yang buruk karena dunia ini penuh dengan penderitaan. Atau kita juga dapat mengambil pendapat yang menegasikan pernyataan tersebut. Keduanya aksi yang bebas-bebas saja.
Namun, yang menjadi kekhawatiran saya adalah adanya romantisasi atas suatu pandangan dan upaya publikasi suatu teori yang berlebihan. Ini adalah masalah nyata yang kita alami saat ini.
Baik seorang anti-natalis atau natalis, menerapkan prinsip masing-masing merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu oleh orang lain. Kebebasan untuk memilih adalah hak yang sudah kita bawa sejak lahir. Pelanggaran atas hak tersebut lebih buruk daripada pada penerapan prinsip-prinsip yang heterogen. Di dalam masyarakat yang plural, memaksakan kehendak atau prinsip adalah kejahatan intelektual, sebab pada dasarnya prinsip subjektif setiap orang akan sangat berbeda.
Dengan demikian, menjadi seorang anti-natalis atau natalis bukanlah dikotomi yang harus segera diputuskan, sebab hal tersebut tidak terlalu berimplikasi secara menyeluruh pada masyarakat dalam waktu dekat. Dan sudah selayaknya setiap orang tidak saling menekan pendapatnya masing-masing. Urgensi setiap orang sangat berbeda, jadi bijaklah dalam berpendapat dan berprinsip.