Mendiang Arswendo Atmowiloto selama hidupnya telah melahirkan banyak karya. Tidak heran, karena dia sendiri dulunya adalah seorang wartawan yang aktif di majalah Hai dan koran KOMPAS. Dia sudah menulis berbagai cerpen, novel, naskah drama, serta skenario film. Arswendo lahir pada 26 November 1948 dan meninggal dunia pada 19 Juli 2019. Cerita ikonik Keluarga Cemara lahir dari tangan Arswendo di tahun 1970-an. Sebuah cerita hangat tentang keluarga yang kemudian diadaptasi menjadi sinetron dan film.
Salah satu karya Arswendo yang tak kalah ikonik adalah Dua Ibu. Karya ini diterbitkan pada tahun 1981, dan saya baru membacanya di pertengahan kuliah tahun 2013. Namun, sampai sekarang, Dua Ibu terasa dekat, mungkin karena cara penulisan Arswendo yang khas dan cara penceritaannya yang seru. Yang pasti, cerita Dua Ibu berbeda dengan cerita-cerita lain yang pernah saya baca.
Jika penulis-penulis Indonesia kebanyakan gemar bersaing dalam genre fiksi sejarah dan menceritakan kisah perjuangan bangsa, Arswendo meninggalkan itu semua dalam karyanya Dua Ibu. Novel ini dengan sederhana menceritakan sebuah keluarga yang terdiri atas sosok Ayah, Ibu, dan sembilan orang anak.
Kisah keluarga ini diawali dengan manis, dengan sudut pandang utamanya dari tokoh Mamid, salah satu anak dari keluarga besar tersebut. Lambat laun barulah diketahui bahwa Mamid bukan anak kandung, demikian pula dengan anak-anak Ibu dan Ayah yang lain. Bahkan, dari sembilan bersaudara tersebut hanya satu anak yang merupakan anak kandung Ibu, tapi bukan anak kandung Ayah. Ya, Dua Ibu adalah cerita mengenai anak angkat, ibu tiri, dan keluarga sambung yang berkumpul untuk mencari cinta serta kasih sayang. Cerita seperti ini banyak dijual dalam bentuk sinetron maupun film di Indonesia, tapi bagi saya, Dua Ibu sangat berkesan.
Seperti halnya kehangatan yang terasa dari Keluarga Cemara, saya merasakan kehangatan di Dua Ibu, tapi dengan bentuk yang berbeda. Masih terbayang dengan jelas bagaimana perasaan Mamid mengetahui bahwa Ibu yang selama ini mengasuhnya ternyata bukanlah ibu kandungnya dan ternyata selama ini dia dititipkan kepada Ibu karena orangtua kandungnya kesulitan untuk menafkahinya. Anak-anak yang lain juga dititipkan karena alasan yang sama: keuangan.
Meski begitu, mereka justru mendapatkan cinta yang berlebih dari Ibu yang merupakan orangtua sambung. Ibu memberi kasih sayang sama besarnya kepada setiap anak. Menariknya, tokoh Ibu punya motif egois untuk membesarkan anak-anak yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya itu.
Dikisahkan bahwa Ibu jatuh cinta kepada Ayah, dan ingin membangun keluarga bersama Ayah. Ayah awalnya menolak Ibu, tapi Ibu dengan segera mulai mencari cara agar Ayah tidak meninggalkannya, dan cara itu adalah membesarkan anak-anak orang lain sendirian. Tentu saja Ayah tidak bisa meninggalkan Ibu karena itu. Kemudian ketika anak-anak Ibu sudah dewasa dan harus menikah, Ibu mencari cara untuk menikahkan satu-persatu anaknya. Cara ini tidak disadari anak-anaknya, tapi Ibu mulai menjual perabot rumahnya sendiri untuk menikahkan anak-anak angkatnya. Ketika anak ketiganya menikah, Ibu harus menjual rumahnya dan pindah ke tempat yang lebih kecil. Saat itu Ibu mulai lemah dan memasuki usia senja.
Dari Dua Ibu, selain saya memahami bahwa kasih sayang juga bisa datang dari orang-orang yang tidak berhubungan darah dengan kita, saya juga menyadari jika wanita punya keegoisan menjadi ibu dan secara alami memiliki dorongan untuk merawat anak dan membangun keluarga. Di tengah terpaan pilihan childfree dan tidak menikah, tentu saja ego wanita untuk membangun keluarga tanpa disadari banyak ditekan oleh berbagai faktor.
Arswendo dengan gamblang menceritakan bahwa wanita juga mampu secara egois memilih kodratnya untuk menjadi istri dan ibu, entah dengan cara apa pun. Keegoisan wanita untuk bertindak sesuai kodratnya inilah yang kini jarang dibicarakan lagi. Mungkin memang sejak dahulu jarang dibicarakan karena dalam dunia patriarki, memilih untuk menikah dan memiliki anak justru dibuat sebagai hal yang harus dilakukan wanita, sehingga banyak yang melakukannya tanpa kesadaran dari diri sendiri.
Pemikiran sederhana ini masih sulit diamini di kebanyakan lingkungan masyarakat Indonesia, karena wanita menikah dan berkeluarga cenderung diakibatkan karena keharusan, dianggap ada yang salah dari diri wanita jika tidak menikah atau tidak memiliki anak, sehingga banyak wanita di masyarakat patriarki yang menikah tanpa rasa cinta dan hanya terkungkung dalam keharusan, seakan-akan wanita berhutang kepada masyarakat. Padahal wanita bisa menikah atas dasar dorongan dari diri sendiri, dan memiliki anak juga atas dasar yang sama, tanpa harus menjalankannya karena dituntut masyarakat.
Novel Arswendo satu ini justru dengan bahasa sederhana mampu menggambarkan bahwa wanita yang memilih untuk menikah dan memiliki anak sama saja dengan wanita yang memilih berkarir dan tidak menikah: bahwa sebenarnya pilihan apa pun yang dibuat wanita adalah bentuk kemerdekaan pikirannya.
Pemikiran yang kurang lebih serupa ternyata saya temukan lagi dalam film Soshite, Baton wa Watasareta, karya sutradara Tetsu Maeda yang dirilis Oktober 2021 lalu. Film yang memiliki judul bahasa Inggris And, The Baton was Passed ini dibintangi oleh Nagano Mei, Tanaka Kei, Ishihara Satomi, Okada Kenshi, dan Masachika Ichimura. Film ini diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh novelis Jepang Maiko Seo yang diterbitkan tahun 2018. Novel tersebut memenangkan penghargaan Japan Booksellers ke-16 di tahun 2019.
Film Soshite mengisahkan kehidupan seorang anak perempuan bernama Miitan (Inagaki Kurumi) yang hidup hanya dengan ayahnya, karena ibu kandungnya meninggal dunia. Kemudian ayahnya menikah dengan Rika (Ishihara Satomi), yang dengan segera menjadi ibu tiri yang sangat baik untuk Miitan.
Mereka hidup dengan bahagia pada awalnya, tetapi ayah Miitan justru memutuskan pergi ke Brasil untuk mengembangkan bisnis cokelat yang dia miliki. Rika menolak ajakan tersebut dan memaksa Miitan untuk menetap dengannya. Akhirnya, saat itu menjadi pertama kali Miitan berpisah dengan ayah kandungnya.
Sepeninggal ayahnya, hidup Miitan dan Rika baik-baik saja walaupun kesulitan, hanya saja Miitan merindukan ayahnya dan kerap menulis surat untuk ayahnya. Surat-surat itu tidak pernah dikirimkan oleh Rika, karena Rika merasa tidak ingin ditinggalkan oleh Miitan.
Datang satu masa Rika kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya, dan ketika Rika menikah lagi dengan seorang duda yang kaya raya, Izumi Gahara (Masachika Ichimura), banyak yang mengira keputusannya adalah agar kebutuhan Miitan terpenuhi. Namun, setelah menikah dengan duda tersebut, Rika jarang berada di rumah besar milik suami barunya, dan membuat Miitan tidak bersemangat dan takut ditinggal oleh Rika.
Rika mengatakan bahwa ia bosan berada di rumah besar itu dan tiba-tiba menikah dengan seorang pria bernama Morimiya (Tanaka Kei) yang dulunya adalah teman SMA Rika. Saat mereka mengadakan pesta pernikahan, Rika mengganti nama Miitan menjadi Yuko, dan keluarga itu bisa hidup lebih baik dengan anggota yang baru. Yuko tidak keberatan ibu tirinya menikah beberapa kali selama mereka masih bisa bersama.
Sayang, ketika Yuko duduk di bangku SMP, Rika memilih pergi, meninggalkan Morimiya menjadi ayah untuk Yuko, anak yang bukan anak kandungnya. Cerita bergulir dengan alur maju mundur menceritakan Miitan di usia kecil dan Yuko di usia SMA, yang diperankan oleh aktris cantik Nagano Mei.
Yuko remaja dijauhi teman-temannya karena terlalu sering tersenyum, tanpa teman-temannya tahu bahwa hal itu yang diajarkan oleh Rika sejak ia kecil. Meski begitu, Yuko disukai oleh seorang temannya, Hayase Kento (Okada Kenshi) dan setelah Yuko lulus kuliah mereka memutuskan untuk menikah.
Morimiya tidak merestui pernikahan tersebut karena Kento belum selesai kuliah, bahkan hampir membuang impiannya menjadi pianis hanya karena ingin menikahi Yuko. Yuko pun tidak kehilangan akal, dan memutuskan mencari ayahnya untuk memohon restu.
Pencariannya dimulai ketika ada kiriman misterius dari Rika yang menunjukkan surat-surat dari ayah kandung Yuko yang ternyata setelah pergi ke Brasil, ayahnya memutuskan segera kembali ke Jepang.
Yuko dan Kento mencari ayah kandung Yuko. Setelah reuni yang mengharukan bagi Yuko dan ayahnya, barulah Yuko mengetahui nasib Rika dan kenyataan tentang ibu tirinya itu.
Rika awalnya adalah seorang wanita yang bekerja dengan ayah Yuko di sebuah pabrik. Dia sering melihat ayah Yuko membawa Yuko ke pabrik agar bisa pulang bersama, dan Rika iri melihat hal tersebut. Itu semua karena Rika mengidap penyakit yang membuatnya tidak bisa memiliki anak. Akhirnya karena ayah Yuko kesulitan mengurus anaknya, dia menikahi Rika. Rika menolak ikut pergi ke Brasil karena dia tidak yakin kondisi di Brasil akan mendukung pemulihannya, dan dia menolak Yuko untuk ikut ayahnya karena Rika merasa tidak bisa melepaskan Yuko.
Rika kemudian melakukan cara apa pun agar kebutuhan Yuko terpenuhi, termasuk menikah beberapa kali. Ketika akhirnya Rika memutuskan pergi dari Morimiya, hal itu bukan karena sifat Rika yang bebas, melainkan karena penyakit Rika sudah semakin parah. Izumi adalah pria yang merawatnya, dan diam-diam, Rika dan Izumi menyaksikan kelulusan Yuko.
Akhirnya, saat Yuko hendak meminta restu dari Rika, diketahui kabar bahwa Rika sudah meninggal dunia. Namun, Rika sudah menyiapkan banyak hal untuk pernikahan Yuko, karena dia mendengar kabar tersebut sejak lama dari tiga pria yang pernah dinikahinya.
Cerita tentang Rika adalah inti penting film Soshite, Baton wa Watasareta. Tentang bagaimana seorang wanita berupaya memenuhi hasratnya untuk berkeluarga dan memiliki anak, meskipun dia punya kemerdekaan penuh untuk hidup jauh dari itu.
Kenyataannya, Rika memutuskan hidupnya tidak akan penuh tanpa kedua hal tersebut: berkeluarga dan memiliki anak. Keegoisan tokoh Rika dan Ibu menceritakan hal serupa dan menyadarkan bahwa wanita pun boleh menginginkan hal yang dalam dunia patriarki justru menjadi keharusan semata.
Sedikit informasi, Jepang sendiri masih merupakan negara yang menganut sistem patriarki. Wanita mendapat upah kerja lebih sedikit dibandingkan pria, dan meskipun kesetaraan gender di sana sudah lebih baik dibanding di Indonesia, masih banyak yang menganggap wanita yang memilih pilihannya sendiri itu aneh, sama halnya dengan di Indonesia.
Sementara itu, peran ibu tiri masih sering dilihat sebelah mata. Padahal banyak wanita yang tidak punya kesempatan untuk memiliki anak kandung dan akhirnya harus ikhlas untuk menyayangi anak orang lain. Meskipun ibu tiri bukanlah orang yang mengandung kita dalam rahimnya, apakah kasih sayang mereka patut diabaikan?
Editor: Ghufroni An’ars