Limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pegangan kunci, umbun puruak aluang bunian (Hal. 8)
Itu petuah yang diucapkan Anduang Rabiah ke anaknya, Friska. Intinya, dia mau Friska paham betul keputusan yang dia ambil, ketika ingin menikah dengan warga negara Belanda.
Jujur, sebagai orang Minang yang tidak tumbuh dengan kentalnya adat, saya awalnya juga tidak mengerti maksud petuah ini. Tapi setelah mencari tahu, baru faham kalau ini soal peran besar seorang ibu dalam keluarga. Perempuan Minang tak cuma jadi sosok yang kuat dan bijaksana, tapi juga pemegang kunci dalam rumah gadang. Mereka harus bisa mengatur keuangan, menjaga warisan keluarga, sekaligus jadi tempat berbagi kasih sayang.
Nah, novel Harta Pustaka Cinta ini menarik karena konflik utama yang dihadapi Chintiya, sang tokoh utama. Ibunya, Friska, menyuruh dia buat “meminta” hak atas sebagian harta pusaka—sesuatu yang seharusnya jadi milik mereka. Masalahnya, Friska sendiri tidak mau kembali ke Padang atau berurusan langsung dengan ibunya, Anduang Rabiah. Dia lebih memilih menjauh karena menurutnya, kalau balik ke sana, semua kenangan buruknya bakal muncul lagi.
Friska selalu merasa kalau ibunya kolot, keras kepala, dan susah diajak kompromi. Tapi anehnya, waktu Chintiya ketemu Anduang Rabiah, dia malah melihat sosok yang beda. Bukannya ibu yang keras dan kaku, tapi seorang nenek yang bijak dan penuh pertimbangan.
Saya awalnya juga bingung, kok Friska bisa sampai segitunya menganggap ibunya keras dan kolot. Tapi makin lama saya baca, makin terbuka juga sudut pandangnya.
Anduang Rabiah ini bukan sekadar perempuan biasa. Buat orang-orang di sekitarnya, beliau sosok yang dihormati, punya wibawa, dan bijaksana. Chintiya yang awalnya percaya saja sama omongan ibunya, lama-lama sadar kalau anduang Rabiah nggak seburuk yang diceritakan Friska. Justru, dari cara pandang Chintiya, beliau terlihat sebagai nenek yang punya prinsip kuat.
Anduang Rabiah tumbuh dengan adat Minang yang kental. Sebagai ibu di rumah gadang, dia punya tanggung jawab mengajari agama, adat, dan budaya ke anak-anaknya. Terutama Friska, karena sebagai anak perempuan, Friska lah yang bakal mewarisi rumah gadang itu. Makanya, Anduang Rabiah tegas banget, bahkan mungkin sampai kelihatan keras. Hal itu dilakukan supaya Friska paham nilai-nilai Minang dan Islam. Tapi buat Friska sendiri, itu rasanya kayak dikekang.
Baca juga:
- Pengantar Filsafat Minangkabau
- Sajian Budaya Minangkabau dalam Drama Komedi yang Rancak Bana
- Hilangnya Filosofi Minangkabau
Saya sendiri ketika membaca ini, jadi paham sosok Anduang Rabiah. Beliau hanya ingin anaknya tetap terikat dengan akar budayanya. Beliau tidak mau Friska kehilangan identitasnya sebagai orang Minang, apalagi makin jauh dari falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”—yang intinya adat dan Islam harus selalu sejalan. Dari sudut pandang Anduang Rabiah, semua ini demi menjaga warisan dan nilai-nilai yang udah ada turun-temurun.
Ketika melihat Chintiya datang ke Ampek Angkek, Anduang Rabiah tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Cucu yang berdiri di hadapannya itu mengingatkan pada Friska—anak yang pergi bertahun-tahun lalu dan tak pernah kembali. Ada kebanggaan dan ada juga kekhawatiran. Chintiya bukan berdarah Minang sepenuhnya, dan Anduang Rabiah sempat ragu, apakah ia bisa menanamkan nilai Islam dan adat Minang kepada cucunya?
Tapi, lama-kelamaan, Chintiya mulai menuruti kehendak Anduang. Ia belajar memahami nilai-nilai yang selama ini jauh dari kehidupannya. Sampai akhirnya, Anduang pun mulai menaruh harapan, mungkin bukan Friska yang akan mewarisi rumah gadang, tapi Chintiya.
Sebagai orang Minang, saya menjadi ikut merasakan dilema yang dirasakan Chintiya. Ketika pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia disuguhi semua tradisi dan budaya yang dulu mungkin tak terlalu ia perhatikan. Rasanya seperti bertemu dengan bagian dari diri sendiri yang terlupakan. Dan di titik itu, saya paham mengapa Chintiya merasa malu—ternyata ia tak tahu banyak tentang leluhurnya sendiri.
Ia pun menerima ajakan Anduang untuk belajar. Dari mulai hal sederhana seperti berwudhu, salat, dan mengaji, sampai menemani Fikar ke pasar untuk menjual hasil panen kebun.
Fikar ini menarik, bukan hanya karena ia lulusan IPB yang kembali ke kampung halamannya, tapi juga karena misi yang ia bawa. Ia ingin membangun desanya lewat pertanian dan menghidupkan kembali kesenian Minang yang hampir punah, seperti Randai.
Kembali lagi, ada satu momen yang cukup menohok. Saat Chintiya tahu hasil panen yang dijual Fikar hanya menghasilkan sekitar 500 ribu rupiah, ia terkejut. Saya pun juga. Dengan tenaga dan waktu yang dihabiskan, ternyata angka itu tak seberapa. Dan dari sinilah saya sadar, ternyata neneknya hanya mendapatkan pendapatan sebesar itu. Saya bisa bayangin bagimana kagetnya Chintiya, karena saya pun merasakan hal yang sama.
Selain itu, Chintiya juga ikut serta dalam Randai. Kebetulan, kesenian itu sedang digelar karena ada profesor kenalan Zulfikar yang sedang berada di Padang. Chintiya mendapat peran sebagai orang Belanda yang jatuh cinta pada rakyat yang melawan negaranya. Saat melihatnya, Anduang Rabiah tampak termenung. Matanya menerawang jauh, seakan melihat bayangan masa lalunya sendiri.
Di hari lain, ketika tenggat waktu yang diberikan Maminya sudah lewat, Chintiya menemani neneknya berkebun. Di tengah keheningan, Anduang tiba-tiba bertanya, “Apakah kau pikir nenekmu ini orang kaya di kampung ini?”
Chintiya tak langsung menjawab, merasa pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan biasa. Anduang lalu menjelaskan bahwa kekayaannya bukan terletak pada uang, melainkan pada kebunnya yang bisa ia panen sendiri dan rasa syukur karena masih hidup dalam adat dan budaya kampungnya.
Saat itulah Chintiya sadar—neneknya hanya mendapatkan penghasilan sebesar itu.
Saya pun ikut terdiam membaca bagian ini. Kadang, kita menganggap ‘kaya’ selalu soal uang. Tapi di mata Anduang, kekayaan itu adalah bisa hidup di tanah kelahiran sendiri, menjalani adat yang diwariskan, dan tetap menjadi bagian dari kampung halamannya. Saya tak tahu apakah bisa berpikir seperti itu jika berada di posisi Chintiya. Tapi saya paham satu hal—tidak semua orang ingin ‘pergi’ mencari sesuatu yang lebih baik. Bagi sebagian orang, ‘tinggal’ dan menjaga yang sudah ada jauh lebih berharga.
Membaca cerita ini sampai akhir, saya menjadi semakin melihat betapa kentalnya budaya Minang yang diangkat. Sosok Anduang Rabiah benar-benar mencerminkan peran bundo kanduang—perempuan yang bukan sekadar ibu dalam keluarga, tapi juga penjaga adat dan nilai-nilai leluhur. Wajar jika orang-orang di kampungnya begitu menghormatinya.
Dari sini, saya juga mulai memahami, mungkin Anduang memang terlihat keras di mata Friska, tapi sebenarnya itu adalah caranya untuk mempertahankan budaya yang ia yakini. Justru, kalau bukan karena keteguhannya, bisa saja nilai-nilai itu perlahan menghilang. Novel ini bukan hanya soal harta pusaka dalam arti yang sebenarnya, tapi juga tentang warisan yang lebih dalam—identitas, adat, dan akar yang membuat seseorang tetap terikat dengan tanah kelahirannya. (*)
Editor: Kukuh Basuki