Penikmat buku, film dan senja

Jumbo: Kisah Anak yang Menawan dan Jujur

Rahmat Al-Barawi

3 min read

Jumbo, film animasi musikal pertama Indonesia yang disutradarai Ryan Adriandhy, patut diacungkan jempol. Setelah sepekan lebih penayangan, film ini berhasil mengundang lebih dari satu juta penonton. Bukan hanya kisahnya yang menawan, teknologi animasinya pun rupawan, dengan melibatkan 420 kreator Indonesia. Dan film ini sudah dipersiapkan sejak lima tahun silam.

Di tengah gempuran desain instan Studio Ghibli yang dihasilkan oleh ChatGPT, kehadiran film Jumbo dapat memberikan makna penting sebuah proses menghasilkan karya dan sentuhan kreatif manusia. Teknologi bisa menghasilkan desain yang cepat, tapi tidak mempunyai daya pikat yang kuat. Satu hal yang menjadi kekuatan manusia adalah bercerita. Homo fabulans, makhluk pencerita, kata Yuval Noah Harari.

Kekuatan Bercerita

Kisah utama yang diangkat dalam film Jumbo adalah mimpi Don untuk mementaskan cerita dongeng yang menjadi warisan orang tuanya. Dengan tekad yang membaja, Don berusaha mengemas cerita tersebut menjadi pentas yang memesona. Kekuatan cerita ini menjadi poin utama yang membuat penonton terkesima. Jumbo menghadirkan cerita yang epik dan real, meski dikemas dengan fantasi.

Baca juga:

Hari ini kita melihat dua kecenderungan ekstrem. Ada orang yang kesulitan bercerita. Tak tahu bagaimana cara menyampaikan kisah atau minder mendengar cerita pencapaian orang lain. Di saat yang sama, ada orang yang berlebihan menceritakan kisahnya. Semua hal diceritakan hingga melepas batas privasi. Keduanya perlu diperbaiki. Tidak semua cerita layak diumbar dan tidak semuanya juga harus dipendam.

Dalam film Jumbo, kita diajak untuk mengenali diri. Kapan perlu bercerita, kapan harus diam mendengar. Ini selaras dengan nasihat Oma Don ketika Don merasa frustrasi karena dijauhi temannya, “Setiap cerita punya banyak peran, ada peran penyedih, ada juga yang penggembira. Pun setiap cerita hanya berarti karena ada pendengarnya. Karenanya, pencerita yang baik adalah juga pendengar yang baik”.

Makna menjadi Keluarga

Salah satu cerita kuat yang diangkat dari film Jumbo adalah makna keluarga. Kehadiran keluarga yang bukan sebatas fisik, tapi juga hati. Penonton disuguhkan dengan beberapa anak yang kehilangan orang tuanya. Ada yang hidup bersama nenek, ada yang tinggal bersama kakak. Ada pula bapak yang kehilangan istri dan anak.

Meski mereka kehilangan orang terkasih, kehidupan mereka tetap berjalan karena merawat ingatan yang terkenang. Memang kehadiran fisik adalah yang utama, tetapi bukan segalanya. Banyak yang kehilangan sosok raga, tetapi bisa menghidupi spirit jiwa. Atau sebaliknya, bisa pula memendam luka.

Hari ini, banyak keluarga yang fisiknya hadir, tetapi hatinya tak mengukir. Satu rumah tetapi tak tegur sapa. Semua terhubung melalui sosial media. Komunikasinya pun beralih dalam ruang semu dunia maya. Belum lagi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kian marak terjadi yang berbanding lurus dengan kenakalan remaja yang makin menjadi.

Selain itu, film ini juga membawa kita untuk melihat keluarga dalam arti yang lebih luas. Keluarga bukan hanya yang senasab kelahiran, tetapi juga yang senasib perjuangan. Keluarga bukan hanya identitas yang terberi (given) yang tak bisa diubah, melainkan juga dapat diciptakan, dihadirkan, dan diperjuangkan.

Mereka yang hidup lama bersama dalam pengungsian akan merasakan keluarga baru. Mereka yang berjuang bersama di tanah rantau akan menciptakan keluarga baru.

Hidup dalam Pusaran Perundungan

Salah satu konflik persahabatan anak dalam film Jumbo adalah perundungan. Ejek-mengejek sering dianggap lumrah di kalangan anak-anak. Namun, budaya perundungan ini adalah praktik yang tidak sehat sama sekali. Sebab mereka yang berani menyakiti temannya adalah orang yang sudah tersakiti.

Beberapa saat yang lalu, kita melihat dunia maya dihebohkan dengan anak kecil yang menghina orang dewasa dan dibenarkan oleh orang tuanya. Dalihnya dia masih anak-anak. Melihat orang lain lebih rendah dan karenanya layak diejek adalah sebuah kesalahan berpikir. Diperparah lagi dengan pengabaian dan pembiaran orang dewasa.

Ini poin penting yang dapat ditangkap oleh anak-anak yang menonton. Bahwa dalam persahabatan ada konflik, itu pasti. Bahkan makin dekat relasinya, makin hebat masalahnya. Dua hal yang mesti diajarkan adalah mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf. Dua kata itu sering ditanamkan orang tua kepada anak, tetapi susah diterapkan orang dewasa dalam bertindak.

Sentuhan Lokalitas

Film Jumbo kian mendapat tempat di masyarakat karena sentuhan lokalitas yang diangkat. Bukan meniru super hero Barat ataupun animasi Jepang yang sudah lebih dulu mendunia, film ini mengangkat budaya lokal, dikemas dengan nuansa global. Ada budaya 17-an, lenong, dan pementasan yang disorot.

Teknologi radio yang mungkin tak tersentuh oleh Generasi Alpha menjadi hidup dalam film ini. Bagi yang sudah menyimak filmnya, akan tahu bagaimana eksekusi radio dalam ceritanya. Alih-alih menggunakan smartphone atau kecanggihan alat modern, kehadiran radio dapat membawa nuansa klasik era tahun 90-an ketika orang menggunakannya sebagai alat komunikasi. Ada satu perasaan yang dapat dipelajari dari penggunaan radio: fokus pada substansi, visual tidak mendistraksi. Dari radio ini juga, selama menonton kita diajak untuk berbahagia, sedih, tertawa, takut, geram, was-was secara bergantian.

Warisan Literasi

Selain soal radio, film ini juga membawa pesan yang tersirat seputar perlu meninggalkan warisan. Iya, warisan adalah upaya merawat semangat perjuangan yang tidak usang. Orang tua yang visioner akan mempersiapkan warisan terbaik bagi penerusnya. Sayangnya, selama ini makna warisan itu hanya berkutat pada harta gono-gini. Ketika orang meninggal, ahli waris akan bertengkar berebut aset yang ditinggalkan. Tentu tidak sepenuhnya keliru. Harta dapat diwariskan. Tetapi harta bukanlah satu-satunya warisan.

Baca juga:

Ada semangat idealisme, nilai moral, agama, dan kenangan bersama yang dapat menjadi warisan berharga. Film ini menambahkan satu warisan utama, yaitu warisan literasi alias buku. Mungkin bagi sebagian orang tabu mewariskan buku. Padahal dalam buku terkemas cerita, gagasan yang dapat diteruskan oleh sang anak. Dengan mewariskan buku, berarti orang tua memupuk rasa ingin tahu, semangat mencari ilmu.

Kesenjangan Sosial

Bagi penonton dewasa, film ini juga punya kritik sosial yang kuat dengan kehadiran Pak Kades sebagai korban yang kemudian bertransformasi menjadi pelaku penggusuran lahan demi pembangunan jalan. Bagian akhir ini agak samar terlihat, karena film ini awalnya dikemas untuk anak-anak. Namun, kita juga perlu tahu bahwa film ini ditujukan untuk semua kalangan dan karya ini juga berangkat dari kegelisahan sosial yang terjadi di Indonesia.

Kehilangan demi kehilangan itu menyisakan luka. Dari luka, orang bisa melukai. Itulah yang dapat terlihat dari sosok Pak Kades. Poin besarnya, kesenjangan sosial yang diciptakan oleh negara membuat banyak keluarga menjadi hidup merana.

Film Jumbo keren dan layak ditonton. Film ini dapat memberikan semangat baru bagi kita dalam bekerja, belajar, berkeluarga dan beraktivitas.

 

 

Editor: Prihandini N

Rahmat Al-Barawi
Rahmat Al-Barawi Penikmat buku, film dan senja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email