Pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru di Desa Suak Puntong, Nagan Raya, Aceh, menghadapi banyak masalah. Mulai dari izin yang bermasalah, sengketa lahan, hingga masalah lingkungan yang ditimbulkan.
Berkenaan dengan masalah izin, tercatat pembangunan PLTU 3-4 diduga tidak sesuai dengan izin lokasi dan tidak sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang diterbitkan. Selain itu, terdapat pula indikasi praktik korupsi atas terbitnya izin pendirian PLTU 3-4.
Dalam konteks sengketa lahan, masalah ganti rugi lahan warga yang terdampak pendirian PLTU yang belum juga selesai. Selain itu, ada kekhawatiran masyarakat akan semakin memburuknya kualitas lingkungan dan kesehatan akibat pendirian PLTU. Kekhawatiran ini cukup beralasan, sebab berdasarkan pengalaman historis, PLTU 1-2 yang mulai beroperasi dari 2014 hingga sekarang telah menyebabkan polusi udara dari hasil pembakaran batu bara dan menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat sekitar, terutama penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Pertentangan PLTU, Masyarakat, dan OMS
Pada bulan Mei 2019, sejumlah masyarakat melakukan aksi protes dengan memblokade jalan masuk ke lokasi pembangunan PLTU 3-4 dan menutup saluran limbah PLTU yang mengarah ke perkampungan warga. Aksi protes itu didasari oleh belum diberikannya ganti rugi tanah warga dan tidak adanya sosialisasi terkait pembangunan PLTU 3-4 kepada warga sekitar. Selain itu, limbah yang dibuang di saluran air warga dinilai dapat membahayakan dan menyebabkan ikan-ikan mati.
Pada bulan Desember 2020, masyarakat sekitar melakukan aksi protes yang serupa dengan sebelumnya. Masyarakat mengeluhkan ganti rugi pembebasan lahan yang tidak sesuai dan banyaknya debu akibat aktivitas keluar-masuk kendaraan perusahaan. Lahan warga yang digunakan oleh pihak perusahaan, berdasarkan temuan Muliadi (2022), diberikan ganti rugi sebesar 400-500 juta yang disesuaikan dengan luas tanah.
Namun, masyarakat menganggap itu tidak sesuai karena dengan uang 400-500 juta, mereka hanya cukup untuk membeli tanah di tempat lain dan tidak bersama rumah. Hal ini juga belum termasuk kerugian dari hilangnya penghasilan beberapa masyarakat, misalnya dari berjualan karena mereka harus pindah. Masalah tersebut sampai hari ini belum juga menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Sejumlah masyarakat bahkan masih bertahan dalam gempuran debu dan berharap pada niat baik perusahaan untuk memberikan ganti rugi yang adil.
Beberapa Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) tercatat juga pernah melakukan advokasi terhadap pendirian PLTU 3-4, misalnya Yayasan Advokasi Masyarakat Aceh (YARA) Nagan Raya dan Aliansi Peduli Lingkungan (APEL) Nagan Raya. YARA mengadvokasi pengurusan izin perusahaan yang dinilai sangat cepat dan diduga terdapat indikasi suap dalam prosesnya. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan pemeriksaan terkait indikasi suap tersebut pada tanggal 28 Oktober 2021. Namun, hingga sekarang KPK belum juga mengumumkan apa hasil pemeriksaan tersebut.
KPK dinilai tidak profesional dan seolah-olah sedang menutup-nutupi kasus tersebut. Berdasarkan penilaian Muhammad Zubir, Ketua YARA Nagan Raya, tidak adanya transparansi KPK semakin memperkuat dugaan masyarakat terkait adanya praktik korupsi perizinan PLTU 3-4.
Tidak berbeda dengan YARA, APEL Nagan Raya juga mengadvokasi tentang adanya suap dalam proses penerbitan izin PLTU kepada KPK. Dibanding YARA, APEL Nagan Raya mengambil sikap yang lebih jelas: menolak pendirian PLTU yang didasari atas pertimbangan lingkungan.
Pola advokasi YARA Nagan Raya dan APEL Nagan Raya
Pola kerja advokasi yang dilakukan oleh YARA Nagan Raya atas indikasi suap izin pendirian PLTU 3-4 sejauh ini melalui media sosial dan media berita. Intinya, YARA mendesak KPK untuk mengumumkan nama-nama tersangka suap PLTU 3-4 kepada publik. Sedangkan APEL Nagan Raya mengambil corak advokasi yang lebih senyap dengan melaporkan perusahaan-perusahaan yang memperoleh izin dengan begitu cepat kepada KPK.
Menurut Syukur, Ketua APEL Nagan Raya, corak advokasi yang lebih senyap dipilih untuk menghindari beragam risiko. Akan sangat berisiko apabila melawan perusahaan secara terang-terangan. Selain itu, APEL Nagan Raya juga membuat acara seminar terbatas dan pesan-pesan melalui spanduk yang berisi penolakan atas pendirian PLTU 3-4. Corak advokasi ini juga dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi.
Sejauh ini, tidak ada penyatuan gerakan antara masyarakat dan OMS, bahkan antara sesama OMS, meskipun memiliki kesamaan kepentingan. OMS melakukan kerja-kerja advokasi terbatas untuk memenuhi agenda kepentingan organisasi. Berdasarkan pengakuan masyarakat yang terlibat dalam advokasi, gerakan yang dibangun oleh masyarakat selama ini sama sekali tidak mendapat sokongan dari OMS. Gerakan yang dibangun murni dari masyarakat, khususnya masyarakat Kecamatan Kuala Pesisir.
Aktivisme Borjuis
Sampai hari ini, berbagai tuntutan mendasar yang dilayangkan baik oleh masyarakat atau OMS kepada pihak perusahaan, pemerintah, atau KPK tidak ada satu pun yang berhasil terpenuhi. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya upaya untuk menghimpun gerakan dan menyusun strategi jangka panjang. Akhinya, gerakan terfragmentasi sebagai kekuatan politik. Corak strategi gerakan yang digunakan juga cenderung elitis, sporadis, parsial, dan reaksioner. Abdil Mughis, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, menyebut model gerakan ini sebagai “aktivisme borjuis”.
Menurut Mughis, absennya pengorganisasian berbasis kelas dalam arena politik secara tidak langsung telah melahirkan model aktivisme borjuis, terutama dalam bentuk organisasi-organisasi masyarakat sipil yang dikenal sebagai non-government organization (NGO), lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau civil society organization (CSO).
OMS yang direpresentasikan oleh kelas menengah reformis cenderung mengambil pendekatan lobi-melobi untuk mempengaruhi kebijakan publik. Para kelas menengah reformis ini berharap pada “political will” aktor yang dinilai reformis atau lembaga untuk melakukan perubahan-perubahan. Namun, alih-alih dapat mendorong perubahan, para aktor atau lembaga tersebut malah terjebak pada praktik-praktik predatorisme. Mereka yang terjebak pada persekongkolan tersebut tentu akan lebih berkepentingan untuk menfasilitasi kelompoknya.
Strategi lain yang digunakan oleh OMS dan masyarakat juga cenderung sporadis dan reaksioner. Bentuk gerakan berupa aksi protes, kampanye media, pernyataan sikap dan sejenisnya yang dilakukan oleh masyarakat, YARA Nagan Raya, dan APEL Nagan Raya cenderung tidak memberikan ancaman berarti kepada pihak perusahaan, pemerintah, atau terkhusus KPK. Gerakan perlawanan tersebut mudah untuk diabaikan atau surut. Selain itu, terdapat anomali dalam gerakan: mereka menginginkan perubahan, tetapi tidak ingin merubah sistem, atau istilah Indoprogress anti-kapitalis in the streets, pro-kemapanan in the sheets.
Baca juga:
Lebih dari Sekadar Masalah Aktor dan Institusional
Sengketa atau perampasan tanah masyarakat atau hak dasar lainnya yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh perusahaan bukan hanya sekadar permasalahan aktor atau institusional. Permasalahan ini jauh lebih mendasar—berhubungan dengan tatanan ekonomi-politik dan struktur kekuasaan.
Pemerintah didominasi oleh aktor-aktor dengan tendensi memenuhi kepentingan kapital. Partai-partai di Indonesia tidak memiliki dasar ideologis—sebagian besar beroperasi dengan agenda kolongmerat berserta kroni untuk memajukan kepentingan bisnis masing-masing. Dominannya pendekatan modernisasi ala neoliberal, serta absennya kekuatan politik progresif yang koheren menjadi penyebab mengapa tidak ada perlindungan terkait hak sosial, ekonomi, dan politik yang menyeluruh bagi masyarakat, meskipun mereka merupakan bagian fundamental dari demokrasi.
Namun, alih-alih menyasar masalah fundamental serta berupaya memobilisasi dan menyusun strategi jangka panjang untuk merubah tatanan ekonomi-politik dan struktur kekuasaan, para kelas menengah reformis malah tetap mempertahankan pendekatannya: bertumpu pada aktor dan institusi. Mereka tetap percaya bahwa aktor mampu melakukan reformasi politik, meskipun telah dipercundangi berkali-kali.
Pendekatan neo-institusional yang bekerja dengan membentuk lembaga-lembaga dan corak kebijakan tertentu untuk menciptakan perubahan struktur kekuasaan tidaklah cukup. Para aktivis OMS yang menggunakan pendekatan ini percaya bahwa masalah-masalah seperti sengketa lahan, korupsi, atau sejenisnya, dapat diatasi dengan pembentukan, penguatan peraturan, atau instrumen-instrumen kelembagaan lainnya.
Padahal, berdasarkan catatan historis, ada banyak kasus lembaga yang tidak hanya dirusak, tetapi juga dibajak dan diubah fungsinya berdasarkan keinginan elite. Misalnya KPK dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Meskipun begitu, mereka masih mengharapkan budi baik para pembuat kebijakan. Misalnya dalam kasus KPK, koalisi masyarakat sipil di satu sisi mengutuk DPR dan presiden sebagai inisiator pelemahan KPK, tetapi di sisi lainnya mereka mengharapkan Presiden untuk membatalkan pelemahan ini.