Aceh Tamiang adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Aceh yang memiliki beragam kekayaan alam, baik kekayaan di daratan atau pun di perairan. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Aceh Tamiang adalah hutan mangrove. Sebagian besar wilayah pesisir yang ada di Aceh Tamiang memiliki ekosistem hutan mangrove yang jika dijumlah seluas 24.013,5 hektare. Dari jumlah tersebut, 18.904.26 hektare tergolong hutan produksi, sedangkan 5.109.24 hektare berstatus hutan lindung.
Namun, hutan mangrove Tamiang telah rusak, bahkan terancam punah. Di tahun 2008 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Tamiang melaporkan bahwa 476 hektare (9,05%) dari 5.255 hektare hutan mangrove di kecamatan Seruway terdata rusak berat, seluas 234 hektare (4,45%) rusak ringan, seluas 1.867 hektare (35,52%) masih dalam kondisi baik, sedangkan sisa hutan mangrove seluas 2.678 hektare (50.96%) telah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, lahan tambak, dan pemukiman. Sementara di tahun yang sama di area dominan hutan mangrove yakni di Kecamatan Manyak Payed dengan luas 13.880,66 hektare juga dilaporkan rusak.
Jumlah luas hutan mangrove Aceh Tamiang dilaporkan terus menurun. Pada tahun 2013 hingga tahun 2017 terjadi penurunan luas sebesar 1.342 hektare. Bahkan menurut hasil temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh pada tahun 2018 menyebutkan bahwa sekitar 85% hutan mangrove di Aceh Tamiang telah rusak. Dan saat ini lebih kurang luas hutan mangrove Aceh Tamiang hanya tersisa 35%.
Kerusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang umumnya disebabkan oleh aktivitas ilegal, seperti beralihnya fungsi hutan mangrove menjadi lahan sawit, pembukaan tambak, dan perambahan untuk kebutuhan pembuatan kayu arang.
Implikasi yang ditimbulkan dari rusaknya ekosistem hutan mangrove akan mengancam kehidupan masyarakat pesisir, penurunan pendapatan masyarakat sekitar (nelayan tradisional), mengancam kelangsungan beragam spesies burung, serta kekayaan hayati sebagai nilai penting baik untuk pariwisata, pendidikan, dan obat-obatan dikhawatirkan juga akan hilang.
Baca juga:
Restorasi dan Rehabilitasi Hutan Mangrove
Karena degradasi ekosistem yang terjadi pada hutan mangrove di Aceh Tamiang akibat aktivitas antropogenik seperti pengalihfungsian hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, pembukaan tambak, eksploitasi tidak terkontrol, dan seterusnya, maka perlu dilakukan upaya restorasi atau rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi dan peruntukan hutan mangrove yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan. Restorasi atau rehabilitasi perlu dilakukan bagi hutan-hutan mangrove yang telah mengalami penurunan kualitas lingkungan maupun yang telah mengalami kerusakan.
Restorasi atau rehabilitasi ekologi menurut Society for Ecological Restoration International adalah proses membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, rusak, atau punah. Langkah pemulihan ekologi ini dapat dilakukan ketika suatu ekosistem telah berubah ke tingkat tertentu sehingga tidak bisa lagi diperbaiki atau memperbaharui diri sendiri.
Terdapat beberapa alasan mengapa pemulihan hutan mangrove harus dilakukan: 1) demi kepentingan ekologis dan nilai-nilai lingkungan hutan mangrove yang telah lama terabaikan; 2) tingginya subsistensi ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam hutan mangrove; 3) kerusakan hutan mangrove skala besar yang terjadi dan sedang terjadi di dunia mengarah ke erosi pesisir, penurunan sumber daya perikanan, dan konsekuensi lingkungan lainnya. Selain itu pula, upaya pemulihan perlu dilakukan dengan tujuan pemenuhan fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial budaya yang dapat mendorong “sistem penyangga kehidupan” bagi daerah di sekitarnya.
Teknik Pemulihan Hutan Mangrove
Terdapat beberapa teknik dalam melakukan restorasi atau rehabilitasi hutan mangrove yang dapat digunakan. Salah satunya teknik restorasi yang dikembangkan oleh Mangrove Action Project (MAP), sebuah NGO yang berbasiskan di Amerika Serikat yang bertujuan mempertahankan, melestarikan, dan memulihkan hutan mangrove dunia. Terdapat lima tahapan penting yang dapat mendorong kesuksesan pemulihan mangrove menurut MAP. Pertama memahami autekologi yaitu sifat-sifat ekologi tiap-tiap jenis mangrove di lokasi, terutama pola reproduksi, distribusi benih, dan keberhasilan pertumbuhan bibit.
Kedua, memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan pertumbuhan spesies mangrove. Pola hidrologi normal artinya memahami tingkat kedalaman, durasi, dan frekuensi genangan air dari tanaman mangrove alami di area yang akan direstorasi atau rehabilitasi.
Ketiga, melakukan penelitian tentang perubahan pada lingkungan mangrove yang diprediksi menghambat terjadinya regenerasi alami. Bentuk gangguan terhadap mangrove dapat berupa hambatan masuknya air, pengembalaan ternak, abrasi garis pantai dan penurunan ketinggian substrat, kurangnya air tanah, dan lainnya.
Keempat, membuat desain program restorasi hidrologi yang memungkinkan pertumbuhan mangrove secara alami. Prinsip dasarnya adalah menciptakan kembali kemiringan dan ketinggian substrat alami sehingga mendukung aliran air secara normal, serta pembentukan dan pertumbuhan alami bibit mangrove. Kelima melakukan pembibitan dan penanaman hanya jika keempat langkah yang disebutkan telah dilaksanakan namun tidak menghasilkan pertumbuhan seperti yang diharapkan.
Pengembangan Ekowisata Hutan Mangrove
Setelah melakukan langkah-langkah pemulihan hutan mangrove, maka perlu menentukan langkah selanjutnya agar pola pemanfaatan yang bersifat merusak dan mengancam kelestarian hutan mangrove tidak terulang kembali. Pengembangan ekowisata merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Pemanfaatan hutan mangrove sebagai area ekowisata dinilai dapat berkesesuaian dengan langkah konservasi ekosistem hutan secara nyata. Tidak hanya itu, ekowisata juga dapat memberikan manfaat ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat.
Menurut Fennel, ekowisata adalah wisata berbasiskan alam yang mengutamakan nilai keberlanjutan dengan menitikberatkan pada pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem tertentu yang dampak negatifnya paling rendah terhadap lingkungan, tidak bersifat konsumtif, dan berorientasi pada lokal—baik kontrol, manfaat yang diterima, dan lainnya.
Konsep ekowisata merupakan konsep alternative tourism yang posisinya sebagai anti-tesis dari paradigma pariwisata lama yang bercirikan eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kelestariannya dan marginalisasi kepentingan masyarakat lokal. Konsep dasar ekowisata diuraikan oleh Damanik dan Weber yang terdiri atas tiga. Pertama perjalanan outdoor di alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Kedua mengutamakan fasilitas akomodasi yang dibuat dan dikelola oleh masyarakat kawasan wisata. Ketiga perjalanan yang ditawarakan menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal.
Kerjasama pemerintah terutama pemerintah daerah, NGO, atau masyarakat sekitar sangat dibutuhkan demi kesuksesan pengembangan ekowisata. Pemerintah sebagai pihak berwenang dibantu oleh NGO dan masyarakat perlu melakukan penelitian mendalam untuk menggali informasi empiris serta melakukan analisis jangka panjang terkait perubahan pemanfaatan lahan, yang mana hutan mangrove dibentuk menjadi sebuah potensi yang bisa kembangkan menjadi ekowisata. Penelitian ini juga bertujuan untuk menggali kekhasan dan keunikan wilayah tersebut untuk membuatnya lebih bernilai sehingga dapat menarik wisatawan.
Hutan mangrove sendiri secara alami sudah memiliki keunikan, yaitu suatu habitat yang terdiri dari tiga kelompok yang memiliki aktivitas yang saling berhubungan: biota aquatik (perairan), semiaquatik, dan teresterial (darat). Di sisi lain, ekosistem mangrove merupakan satu habitat beragam hewan liar seperti primata, reptil, burung, serta komponen-komponen ekosistem estuarin yang merupakan bagian penting bagi kehidupan unggas air, terkhusus bagi yang sedang bermigrasi. Kekayaan sumber daya ekosistem mangrove berupa kehidupan tumbuhan atau satwa yang unik memiliki potensi yang dapat dijual sebagai objek wisata, khususnya ekowisata yang sekaligus menawarkan konsep pendidikan dan konservasi.
Selain melakukan penelitian untuk menggali kekhasan atau keunikan yang dapat dijual kepada wisatawan, pemerintah juga harus memfasilitasi sarana dan prasarana yang memadai untuk mendorong pengelolaan serta pelayanan sehingga dapat menarik minat pengunjung. Pemerintah juga dapat melibatkan masyarakat sekitar dalam proses pengembangan sarana dan prasaran ekowisata (atau secara keseluruhan) hutan mangrove, mengingat hal ini adalah esensi dari konsep ekowisata.
Pelibatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat sebagai usaha untuk mengantisipasi eksploitasi destruktif oleh masyarakat terhadap ekosistem mangrove lebih jauh serta di masa depan. Apabila pemerintah, masyarakat sekitar, NGO, atau para stakeholders mampu mengembangkan daerah ekowisata hutan mangrove di Aceh Tamiang maka tidak hanya akan mengatasi masalah lingkungan, namun juga memberikan manfaat ekonomi maupun budaya.