Ketika membicarakan Jepang dan seksualitas, pikiran saya langsung melayang ke JAV (Japan Adult Video) dan festival penis Kanamara Matsuri. Dua produk budaya itu seolah menjadi wakil dari modernitas dan tradisi lama Jepang untuk memberikan ruang pada masyarakatnya untuk dapat ‘merayakan’ seksualitas, alih-alih mencemoohnya. Dalam masyarakat Jepang yang sangat konservatif, tertutup, dan menjunjung tinggi kehormatan, dua produk budaya tersebut tampak seperti anomali, ambivalensi, atau bahkan paradoks. Namun jika dirunut ke belakang, kondisi itu sudah terjadi sejak era Meiji (1868-1912). Salah satu fragmennya dicuplik dengan cukup menarik dalam sebuah novel berjudul Vita Sexualis.
Vita Sexualis adalah novel semi-autobiografi yang ditulis oleh Mori Ogai, seorang dokter yang mahir dalam kepenuliasn fiksi dan tertarik dalam pengembangan media massa. Dalam novel setebal 142 halaman yang diterbitkan ulang oleh Moooi Pustaka tahun 2022 ini Ogai menceritakan tentang perkembangan seksual seorang profesor filsafat sekaligus bagaiaman usahanya untuk memahami seksualitas dalam masyarakat yang sangat tertutup dan menabukan seks.
Shizuka Kanai, tokoh utama dalam novel ini, berusaha menuliskan cerita dinamika di masa kanak-kanak hingga dewasa awalnya terkait usahanya dalam memahami perubahan seksualitas dalam dirinya. Seiring perkembangan usianya, ia juga berusaha memaknai pengalaman-pengalaman seksualnya dari fragmen-fragmen kecil menjadi satu pemahaman yang utuh untuk menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Kemudian ia mencoba mencatatnya dalam sebuah cerita agar menjadi pedoman dan pendidikan seks bagi anak semata wayangnya dari istri yang sudah meninggal.
Kesulitan Penyesuaian
Seperti pada masyarakat ketimuran lainnya, Jepang termasuk negara yang sangat kolot dan ketat terkait seksualitas. Menjunjung tinggi budaya adiluhung yang sarat dengan aturan-aturan ketat, budaya Jepang sangat tertutup terkait pembicaraan seksualitas dan segala hal di sekitarnya. Tabu tentang seks sangat dijaga oleh mayoritas masyarakat, terlebih bagi kalangan ningrat dan masyarakat terhormat di sekitarnya.
Kanai tinggal bersama ibunya di Gojoka, sebuah kota kecil sekitar Yamaguchi. Ayahnya adalah seorang prajurit yang harus pindah-pindah tempat mengikuti tuannya. Pada saat Kanai berusia enam tahun, ayahnya pindah ke Tokyo. Pada usia dini inilah kanai mengingat pengalaman seksual pertamanya ketika menemukan bibinya bersama teman sebayanya yang tak dikenal oleh Kanai, sedang asyik menikmati majalah vulgar. Pada saat itu Kanai benar-benar tidak paham tentang gambar manusia dengan gestur dan posisi yang aneh dalam majalah tersebut. Ekspresi bingungnya membuat bibi dan temannya tertawa. Hal itu menjadi pengalaman pertama yang kurang mengenakkan tentang seks.
Majalah erotis ternyata menjadi barang unik pada masa itu. Tidak semua orang mau mengakui bahwa mereka pernah membacanya, tapi Kanai perlahan tapi pasti menemukan beberapa eksemplar majalah bergambar erotis dari orang-orang di sekitarnya. Iapun menemukan majalah erotis di tempat rahasia ayahnya, orang yang ia anggap tidak pernah membicarakan seks dalam kehidupan sehari-hari.
Selain majalah erotis masyarakat di sekitarnya sangat suka guyonan atau humor tentang seks. Ia pernah ditanya apa yang dilakukan kedua orang tuanya pada saat malam hari oleh seorang pembuat sandal. Kanai tidak bisa menjawabnya karena memang tidak tahu. Hal itupun mengundang tertawaan bernada mencemooh yang kembali membuat Kanai tidak nyaman. Tapi perlahan Kanai mulai belajar memahami hal tersebut seiring beberapa kali masyarakat di sekitarnya juga menggunakan perumpamaan yang lucu untuk menyamarkan substansi cerita seks di dalamnya.
Pada saat memasuki fase remaja awal Kanai mulai memahami pola bagaimana seksualitas menyebar di masyarakat. Karena obrolan seks sangat terbatas di keluarga dan sekolah-sekolahpun belum menganggap pentiong pendidikan seks, pengetahuan tentang seksualitas banyak didapat Kanai dari teman-temannya. Namun tidak seperti orang-orang kebanyakan, Kanai merasa pusing dan tidak nyaman ketika ikut-ikutan menikmati erotisme dari majalah-majalah tersebut.
Usia remaja juga membuat Kanai mulai tertarik dengan lawan jenis. Ia mulai terbawa oleh cerita-cerita romantis yang ia baca. Namun ia merasa tidak relate dengan tokoh-tokoh dan juga cerita terdsebut karena Kanai merasa dirinya bertubuh kecil, tidak mempunyai wajah good looking, dan juga berkulit gelap. Ia sudah merasa patah hati duluan ketika membayangkan bersaing dengan laki-laki lain.
Kehidupan Asrama
Kanai juga mengingat kehidupan seksualitas para pelajar Jepang pada masa-masa ia tinggal di asrama. Di sana siswa terbagi dua yaitu kelompok Koha dan Nanpa. Kelompok Koha memiliki ciri khas macho, gagah, dan sangat maskulin. Sebaliknya kelompok Nanpa sangat stylish dan menunjukkan sikap yang lebih feminim. Kedua kelompok besar itu mempunyai perilaku seksualitasnya masing-masing. Setiap siswa baru yang merasa terancam biasanya masuk ke salah satu dari dua kelompok besar tersebut.
Kebetulan teman Kanai adalah Waniguchi, siswa dari kelompok Nanpa. Ia sangat baik dan menjadi pelindung Kanai dari kelompok yang akan menyakitinya. Namun di sisi lain, ia juga akan melakukan kekerasan pada siswa yang diinginkannya ketika ia merasa ada dorongan dari dalam dirinya.
Pada suatu kesempatan, Kanai pernah hampir mengalami kekerasan berupa pemaksaan seksual oleh kelompok lain. Sodomi adalah kasus yang sering terjadi pada masa itu. Untungnya Kanai dengan sigap segera melarikan diri. Ketika ia melaporkan pada ayahnya tentang kejadian itu hanya ditanggapi dengan dingin seolah itu adalah hal biasa terjadi sehingga Kanai dinasehati agar lebih berhati-hati.
Dalam asrama tersebut Kanai juga bertemu dengan beberapa tokoh yang akan sangat berpengaruh pada pemahamannya tentang seksualitas di masa depan. Ada Koga dan Kojima, dua orang sahabatnya yang mempunyai pandangan seksualias yang saling bertolah belakang. Yang satu liberal semetara lainnya sangat fundamental. Keduanya menjadi kawan baik Kanai bahkan hingga mereka memasuki usia dewasa dan menikah.
Ketertarikan Romantis
Terlepas dari begitu canggungnya Kanai dalam menghadapi perempuan, beberapa orang dengan caranya masing-masing mendekati Kanai dan menunjukkan rasa suka walaupun secara tidak langsung. Ada Nyonya Bito, ibu tiri Eiichi yang mencoba merayunya saat rumahnya sepi.
Sebaliknya Kanai juga mempunyai ketertarikan pada beberapa perempuan walaupun pada akhirnya perasan itu tak pernah terungkapkan. Dimulai dari Katsu, teman perempuan pertamanya pada saat kecil. Walaupun ia belum mengerti apa itu hubungan romantis, ia tertarik bermain dengan Katsu karena ia jarang sekali mempunyai teman dekat wanita.
Kanai juga pernah tertarik dengan tokoh yang ia tak tahu namanya. Ia mengenalnya dengan nama wanita toko “Akasida”, seorang pemain kecapi berusia 30 tahun
Episode kuliah di Jerman juga mempertemukan Kanai dengan beberapa perempuan yang secara terang-terangan menginginkannya. Dalam hal ini, Ogai seolah ingin memberikan penekanan pada rasa minder tentang seksualitas adalah hal yang wajar dimiliki oleh semua orang. Pada kenyataannya tidak sessuram dengan apa yang dikhawatirkannya.
Geisha
Geisha merupakan fenomena yang unik di Jepang. Wanita dengan dandanan kimono dan berbedak putih tebal, alis tinggi, dan sisiran rambut gelung ke atas menjadikannya sosok yang mencolok dalam ruang-ruang hiburan baik di kedai minuman ataupun pesta-perta. Di Jepang, keberadaan Geisha adalah untuk menghibur laki-laki dengan musik dan obrolan-obrolan yang menggairahkan. Walaupun sering disalahpahami sebagai pelacur, geisha mempunyai tempat yang istimewa dalam masyarakat Jepang.
Dalam cerita Vita Sexualis, Mori Ogai memberi porsi yang lumayan banyak tentang Geisha. Kanai membayangkan romansa yang indah dengan perempuan ketika mendengarkan cerita Hanyu, teman baiknya ketika menggenggam tangan geisha. Kanai juga mengiyakan ajakan Hanyu ke kedai minuman untuk bertemu beberapa geisha di dalamnya. Ia juga memndapatkan pengalaman bermalam bersama geisha walau sebentar dan langsung pulang ketika mengikuti ajakan Seiha.
Geisha juga muncul di beberapa acara seperti tari-menari di gedung kesenian dan juga pada saat perayaan kelulusan. Dalam novel ini geisha tidak digambarkan menjadi manusia lemah yang selalu membutuhkan uluran pertolongan laki-laki. Sebaliknya, mereka digambarkan sebagai wanita yang mempunyai banyak cara dan akal dalam memberikan kesenangan pada orang-orang yang hadir pada suatu acara.
Geisha tidak digambarkan sebagai masyarakat kelas rendahan. Bahkan salah seorang geisha bernama Koiku pernah memikat hati Kanai ketika bertemu di suatu pesta. Kanai adalah seorang pelajar jenius, poliglot, dan lulus kuliah di usia 19 tahun. Walau tidak sampai jadian dengan Kanai, pada akhirnya geisha bernama Koiku menikah dengan seorang politikus terkenal dari partai politik papan atas.
Budaya Kontemporer
Terlepas dari begitu aneh dan rumitnya kehidupan seksualitas Kanai, novel Vita Sexualis cukup menarik dan wajib dibaca oleh pemerhati budaya Jepang. Novel itu berhasil mencatat rona budaya yang mempengaruhi seksualitas masyarakat Jepang tak hanya di masa lampau, tapi juga di era kekinian. Kita bisa merunut perkembangan seksualitas di Jepang dari masa ke masa seiring perkembangan teknologi dan politik di dalamnya.
Hiburan-hiburan seks seperti majalah erotis, hentai, dan JAV seolah menjadi pintu keluar dari budaya Jepang yang penuh aturan moral dan dijalankan secara ketat setiap hari. Mereka tidak menganggap itu sebagai aib karena memang pada kenyataannya ada beberapa orang yang membutuhkan hiburan tersebut untuk mengisi jeda aktivitasnya yang penat, sibuk, dan berat. Sebaliknya industri di bidang hiburan dewasa tersebut juga berhasil memutar roda ekonomi dan menambah lapangan pekerjaan.
Walaupun mempunyai industri hiburan seksual yang massif, Jepang termasuk negara Asia yang mempunyai tingkat kehamilan remaja yang rendah. Begitu pula angka penyakit menular seksual juga terbilang rendah. Walaupun masih ada kekerasan seksual, dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, Jepang masih menduduki angka yang sangat rendah. Hal init tentui saja bisa terjadi karena regulasi hukum yang mengatur hiburan tersebut sangat ketat dan dijalankan dengan disiplin. Pendidikan seksual yang komprehensif juga memberikan wawasan seksualitas bagi setiap tahapan usia warganya sehingga mempunyai kesadaran untuk selalu menghindari perilaku seksual beresiko dan tanggap terhadap kejanggalan-kejanggalan di sekitar sehingga pelanggaran seksual lebih lanjut dapat diantisipasi secar individu ataupun kolektif.
Dengan adanya hiburan-hiburan seks tersebut tidak membuat martabat Jepang jatuh. Jepang tetap menjadi negara yang terhormat, disegani, dan mempunyai daya juang tinggi dalam menghadapi dinamika ekonomi, ekologi, dan geopolitik yang terus bergerak dan sulit diprediksi. Jepang berhasil mengatasi permasalahan seksualitasnya dengan caranya sendiri.