Kampung Raja Prailiu adalah satu-satunya kampung adat yang terletak di tengah kota Waingapu, kabupaten Sumba Timur. Di kampung itu, Marapu, agama leluhur yang kian terasing, tetap hidup dan tumbuh. Sore itu, 2 Desember 2021, saya datang ke kampung Raja Prailiu untuk bertemu dengan Umbu Remi (41), pemuda asli kampung Prailiu yang seorang penghayat kepercayaan Marapu.
Di salah satu rumah adat, Umbu Remi yang duduk bersila di atas tikar putih tersenyum menyambut kedatangan saya. Ia memakai lilitan kepala bercorak merah biru sepadan dengan balutan selimut di pinggang dan bahunya. Penampilannya terlihat indah dan menawan mengenakan kain yang merupakan karya jemari perempuan Sumba Timur. Penampilan itu akan kian lengkap ketika terselip parang bergagang gading di pinggangnya, sebagai simbol ksatria dan kebijaksanaan orang Sumba.
Ia menyodorkan sebuah wadah anyaman pandan, wadah itu berisikan buah sirih, beberapa irisan pinang kering dan kapur. Ini merupakan bentuk penghargaan bagi setiap tamu yang berkunjung ke rumah orang Sumba. Saya pun mulai menikmati sirih pinang tersebut sambil menanyakan kabarnya dan keluarga.
Di keluarga Umbu Remi, dari delapan orang bersaudara, hanya dia yang tetap menjadi penghayat Marapu. Saudaranya yang lain telah menganut salah satu agama Abrahamik. Kini, Umbu Remi menjadi penghayat Marapu bersama keluarga kecilnya.
“Saya sekeluarga adalah penghayat kepercayaan Marapu yang merupakan agama asli orang Sumba. Saya sangat bangga menjadi seorang Marapu, agama leluhur, yang ada jauh sebelum negara ini ada,” tuturnya sambil tersenyum.
Saya pun penasaran, apa yang membuat dia tetap konsisten sebagai penghayat Marapu, sementara banyak orang telah meninggalkan Marapu.
“Marapu adalah agama asli orang Sumba, semua nilai-nilai kehidupan pada agama modern, juga ada pada Marapu. Prinsip yang diturunkan dari Marapu menjangkau seluruh tatanan kehidupan. Tujuannya untuk menata pola perilaku individu dan masyarakat demi tercapainya ketenteraman dan kesejahteraan dengan semua unsur alam. Nah, kalau ini ada dalam Marapu, kenapa saya harus pindah ke kepercayaan yang lain?”
Ia pun mulai berkisah tentang tentang kesulitan-kesulitan yang ia hadapi sebagai akibat dari keteguhannya memegang keyakinan lelulur. Ketika masih di bangku sekolah, Umbu Remi sulit mendapatkan layanan pendidikan agama di sekolahnya. Ia harus mengikuti mata pelajaran salah satu agama yang mayoritas di sekolahnya. Ia juga menceritakan bagaimana sulitnya memperoleh administrasi kependudukan seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga dan akta kelahiran sehingga sulit mendapatkan berbagai batuan dari pemerintah. Bahkan ia juga mendapatkan stigma kafir dan sesat dari masyarakat yang bukan Marapu.
Sadar Hak
Umbu Remi adalah seorang penganut agama leluhur yang sadar atas hak-haknya sebagai warga negara. Umbu Remi tahu betul bahwa pendidikan merupakan salah satu hak dasar negara yang harus dipenuhi oleh negara sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Dia juga paham bahwa putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 telah memperluas makna agama termasuk di dalamnya Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Itu artinya, Marapu dan penghayat Marapu mendapat pengakuan negara dan memiliki hak-hak yang setara dengan penganut agama lainnya. Dengan demikian maka kolom agama tidak boleh lagi dikosongkan.
Tidak hanya itu, sebagai implementasi dari putusan MK tersebut, pada tahun 2016 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi menerbitkan Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang layanan pendidikan bagi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan Kemendikbud juga telah menyusun Pedoman Implementasi Layanan Pendidikan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan.
Permendikbud tersebut, lanjut Umbu Remi, mengatur hak layanan pendidikan dan pembelajaran bagi penghayat kepercayaan. Di antaranya menyebutkan tenaga pendidik yang berkualifikasi sebagai guru (pamong belajar) sesuai dengan kekhususannya, adanya kurikulum; muatan pendidikan kepercayaan yang memiliki kompetensi inti dan kompetensi dasar, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, buku teks pelajaran.
Agar penyediaan pendidikan kepercayaan ini bisa berjalan, pemerintah maupun pemerintah daerah dan satuan pendidikan (sekolah) dapat bekerja sama dengan organisasi penghayat yang telah terdaftar di daerah tersebut.
Namum demikian, kata Umbu Remi, kebijakan tinggal lah kebijakan, hanya sebatas dokumen kertas yang tak bermanfaat ketika tidak dilaksanakan.
“Sampai saat ini ribuan anak-anak di Sumba Timur dari usia dini hingga menengah, belum menikmati pendidikan sesuai dengan ajaran kepercayaannya. Pola pendidikan masih sama sebelum kebijakan itu ada. Anak-anak Marapu harus mengikuti pendidikan agama yang mayoritas di sekolah tersebut.”
Jika ini tidak segera diatasi maka pengalaman pahit Umbu Remi akan terulang lagi. Negara harus menjalankan kewajibannya dalam memenuhi hak pendidikan terhadap penghayat Marapu, untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaan yang diyakininya.
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Timur, perlu membangun koordinasi dengan pemerintah nasional untuk implementasi layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan Marapu. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur juga harus menyusun regulasi daerah yang mengatur tentang pemenuhan hak-hak sipil penghayat kepercayaan Marapu.
Selain itu, penting juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat umum tentang kepercayaan Marapu, sebagai kepercayaan yang diakui secara sah Indonesia. Pendidikan dan sosialisasi pada masyarakat sangat dibutuhkan agar Marapu dan penghayatnya tidak dilabeli sesat dan kafir.
Marapu adalah jiwa budaya orang Sumba. Semoga Sumba tidak kehilangan identitas sebagai tanah Marapu.
Lanjut baca Tertelan di Antara Pasar: Lansia dan Pengetahuan Lokal
One Reply to “Marapu, Agama Leluhur yang Tersingkir dan Terasing”