Pidato Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, membuat masyarakat Indonesia termangu-mangu. Orang-orang dibuat kagum atas cakrawala yang bernas dan seolah tanpa batas. Indonesia seperti mendapat insentif oksigen pikiran yang berasal dari Negeri Jiran.
Anwar Ibrahim kerap berkunjung ke Indonesia pada waktu lalu. Hal ini membuat dirinya akrab dengan iklim Nusantara yang dianggap sebagai ‘rumah kedua’. Baginya, selain menjadi tempat yang ia sering kunjungi, suasana Indonesia membuatnya belajar banyak tentang apa itu keadilan, kesetaraan, dan sebagainya. Dengan jujur ia mengatakan sosok Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir sebagai the founding person bangsa Indonesia yang mengajarkannya tentang banyak hal.
Pujangga seperti Buya Hamka, Mochtar Lubis, dan Sutan Takdir Alisjahbana turut ikut serta memengaruhi proses kehidupannya hingga membentuk dirinya seperti saat ini. Sebagai warga Indonesia, saya bangga karena mempunyai nenek moyang yang ide dan pikirannya dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat internasional.
Dan pada dasarnya, para pendiri bangsa ini memang diakui kepemimpinannya dalam langgam masyarakat global yang pada masa lalu bergelut dengan kolonialisme. Pengakuan itu jelas relevansinya saat kita membaca karya-karya brilian seperti Di Bawah Bendera Revolusi jilid I dan II, Indonesia Menggugat (1935), Seperti Demokrasi Kita (1955), dan dll.
Sosok Pemimpin Dunia
Sebagai bangsa serumpun, seyogianya kita patut menyadari tantangan global seperti geokonomi dan politik yang cepat atau lambat akan merasakan krisis global multidimensional. Regresi ekonomi, pangsa global yang tak menentu akibat perang Rusia-Ukraina, dan krisis lingkungan yang mendera masyarakat dunia membuat iklim kawasan Asia Tenggara ikut terombang-ambing. Belum lagi persoalan Junta Militer Myanmar yang masih belum menurunkan eskalasi watak otoriter-militeristiknya terhadap masyarakat Myanmar. Ini tentu membuat Indonesia sebagai Presidensi KTT-ASEAN 2023 harus bekerja ekstra keras.
Baca juga:
Ancaman lain seperti perang terbuka di Laut China Selatan antara Amerika dan China dan Pakta Aukus (Agrement of Australia, United Kingdom, United States) menuntut negara-negara di kawasan ASEAN khususnya Indonesia dan Malaysia harus bertindak secara hati-hati. Situasi tersebut membuat perang rentan sekali terjadi. Ini tercermin dari peta geopolitik dunia yang mengalami kemandegan bahkan kemerosotan. Oleh karena itu, kehadiran PM Malaysia ke Indonesia terasa begitu signifikan bila melihat situasi ketegangan tersebut.
Pidato Anwar Ibrahim di hadapan para elite negara laksana hembusan angin segar yang menyekap kotoran di sekitar kawasan ASEAN. Secara fasih Anwar Ibrahim menyadur firman Al-Qur’an maupun hadis-hadis nabi yang amat relevan dengan kondisi mutakhir. Para audiens pun terpukau dan terperengah dibuatnya.
Dalam mimbar CT Corp Leadership Forum, Anwar Ibrahim ingin mengajuk problem yang selama ini masih tertungkus-lumus dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Mulai dari ekonomi global, hak asasi TKI, konflik perbatasan, bahkan budaya bangsa serumpun. Pidato tersebut sangat menggambarkan bahwa sosok Anwar Ibrahim bukan hanya pemimpin di tingkat ASEAN, melainkan tingkat dunia.
Sudah jadi rahasia umum bahwa kehidupan politik Anwar Ibrahim mengalami pasang surut. Ia sudah merasakan sukses-gagal dan timbul-tenggelam pada waktu lalu. Sampai kemudian pada akhir tahun 2022 Yang Dipertuan Agung Malaysia melantiknya sebagai perdana menteri menggantikan Ismail Sabri Yaakob.
Dunia aktivisme lekat dalam tubuh politik Anwar Ibrahim. Ia pernah dipenjara karena kasus politik beberapa waktu dan kemudian menjadi wakil perdana menteri, dan setelah itu ikut berkompetisi dalam elektoral Malaysia walaupun pemilihannya tidak mendapat dukungan penuh di Parlemen Malaysia karena jumlah suara yang kurang. Dan akhirnya Raja Malaysia berembuk untuk musyawarah-mufakat menentukan sosok Perdana Menteri Malaysia.
Setelah mendegar pidato Anwar Ibrahim dalam forum tersebut, saya menganggap kendati Indonesia-Malaysia adalah bangsa jiran, dari segi perpolitikan Indonesia jauh tertinggal. Politik Indonesia yang masih dipenuhi narasi kosong sangat berbanding terbalik jika mendengar secara saksama bernasnya pidato Anwar Ibrahim. Narasi atau ujaran politisi Indonesia amat dangkal bila dibandingkan dengan isi pikiran PM Anwar Ibrahim. Literatur dunia, mulai dari perdaban Barat hingga perdaban Asia Timur amat ketat diartikulasikan. Pikiran-pikiran Samuel P Hutington, Francis Fukuyama (idola para intelektual/aktivis pada 1990-an), para filosof Timur Tengah, bahkan pikiran Sudjatmoko tentang kemanusiaan tidak luput dari ucapannya.
Warna Politik Indonesia
Pemikiran Anwar Ibrahim amat kontras dengan yang terjadi dalam hiruk-pikuk politik Indonesia. Menjelang tahun 2023, seluruh elemen parpol bersiap-siap merambah masyarakat lagi. Tidak mengherankan jika masyarakat mulai bersikap sinis terhadap para parpol. Persepsi sinisme masyarakat begitu beralasan karena ide atau gagasan dari para politikus begitu nihil. Mereka hanya sibuk melontarkan jargon-jargon partainya, bukan pikirannya.
Dalam podcast atau kanal-kanal media yang menjadi ruang para politikus berbicara, tidak terlihat bentuk konkrit dari isi pikiran mereka. Calon pemimpin legislatif maupun eksekutif sama-sama belum atau tidak menunjukkan isi pikiran seperti Anwar Ibrahim dalam pidatonya. Tidak ada gairah literasi, yang ada hanyalah ucapan tentang bagaimana mesin parpol memenangkan pesta demokrasi pada tahun 2024.
Dalam satu dialog, Akbar Tanjung menanyakan apa yang akan diperbuat Anwar Ibrahim untuk Malaysia selaku Perdana Menteri (pertanyaan singkat dan menohok). Anwar Ibrahim menjawabnya dengan singkat dan sarat sukma: ia akan memberikan masyarakat Malaysia makna demokrasi dan keadilan (kesetaraan) sosial, dan juga kegigihan memerantas perilaku rasuah. Jawaban yang fundamental dan membuat para pendengar melihat konteks yang amat relevan dengan isi pikiran PM Malaysia.
Kelancaran Anwar Ibrahim mengucapkan pikiran para pendiri bangsa Indonesia menimbulkan asumsi di pikiran banyak orang: Anwar Ibrahim lebih paham Indonesia dari pada orang Indonesia sendiri. Oleh karena itu, berhubung Pemilu atau Pilkada Serentak 2024 semakin dekat, para politisi wajib menyontoh cara komunikasi Anwar Ibrahim. Mengeluarkan ide-ide brilian dan pemikiran para pendahulu bangsa bahkan pemimpin dunia merupakan langkah awal mengembalikan politik ke dalam perdebatan substansial, bukan politik yang didasari sentimen parokial, apalagi politik populisme.
Editor: Prihandini N