Selain di blog bukunya, resensinya juga tersebar di web Koran Jakarta, Magrib.id, Bacapetra.co, dan Omong-Omong Media.

Pertemuan dan Penemuan Diri Aditya Siregar

Launa Rissadia

3 min read

Dalam hidup, Tuhan mempertemukan kita dengan banyak orang. Namun, tidak semua pertemuan itu berujung manis, berumur panjang, atau memberikan kenangan yang menyenangkan. Tidak ubahnya pertemuan Aditya Siregar (Adit) dengan pemilik kedai, afiliasi, dan diri dalam buku Ada Kalanya: Catatan Menemukan Diri dari Kedai Kopi

Pertemuan, penyelesaian, penemuan diri. Tiga kata ini menyatukan enam cangkir dalam karya perdana Adit yang diterbitkan oleh Grasindo pada Juni 2023. Catatan pengalaman Adit membikin saya turut merefleksikan hidup dan melakukan perenungan diri, serta menyadarkan bahwa setiap orang mempunyai momen kebangkitan sendiri.

Singkatnya, buku self improvement ini memuat cerita tentang pertemuan dan percakapan Adit dengan pemilik kedai—yang tidak hanya memunculkan masa lalu, tetapi juga memperoleh penyelesaian yang ia butuhkan hingga membawanya pada penemuan diri. Cerita dilengkapi dengan kata-kata meneduhkan seputar hidup dan diri, alih-alih menyemangati. Sebab, tidak setiap kata-kata yang kita dengar maupun baca mampu menyemangati. Kata-kata itu juga boleh dibilang semacam refleksi Adit yang bisa dijadikan bahan perenungan dan kiat memulai perubahan. Membaca buku Ada Kalanya tak hanya membikin kita melamunkan masa lalu, tetapi juga tercenung.

Penggunaan kata cangkir sebagai pengganti kata bab unik sekali. Setiap mengambil dan menikmati cangkir baru, serasa sedang menyeruput secangkir kopi.

Cangkir pertama dibuka dengan obrolan Adit dan pemilik kedai perihal hidup, pengalaman, dan masa lalu—yang menyisakan kegelisahan dan menjadi pemantik perbaikan diri. Setiap cangkir tidak ada yang tidak mengandung hal-hal pahit. Masa lalu yang tidak menyenangkan jelas pahit, ‘kan? Namun, selayaknya kopi hitam yang dibubuhi gula, ketika diseruput mendatangkan rasa manis yang sedikit mengaburkan pahitnya. Kadang, kita perlu merasakan kepahitan dulu untuk bisa mengecap manisnya hidup.

Saat menikmati cangkir ketiga dan keempat, saya seperti berada di kedai kopi yang sama. Duduk di sebelah meja Adit dan Alina sambil mendengarkan percakapan mereka. Sekonyong-konyong, Adit mengubah saya menjadi penguping yang kepo.

Cerita masa lalunya mengingatkan pula pada salah satu cerpennya yang berjudul Metronome di Medium. Agaknya, sosok Alina juga menjadi inspirasi cerpen tersebut. Kedua ceritanya sama-sama menyinggung perpisahan dan sangat terasa personal. Saya bisa turut merasakan penolakan dan patah hati yang ia alami meskipun tidak memiliki pengalaman yang sama—selaras dengan gaya menulis Adit di Instagram yang mampu membikin kita merasa terhubung dan terkadang larut dalam kata-katanya.

Sayangnya, bagi yang tahu cerita lengkap patah hati dan penolakan maupun pernah membaca cerpen “Metronome”, menyesap cangkir ketiga dan keempat rasanya seperti kopi yang biasa diminum. Tidak menjadikannya kopi spesial karena bagian-bagian paling pahit pada kedua cangkir tidak diceritakan secara gamblang. Boleh jadi, karena bersifat personal sehingga cerita yang disampaikan sengaja tidak utuh; atau Adit sudah berhasil mengikhlaskan sehingga tidak begitu ingat lagi momen itu. Namun, kedua cangkir itu tetap menarik dan enak dinikmati. Sebab, dari ceritanya kita bisa menangkap intisari pengalamannya.

“Ada kalanya, kamu cuma butuh tempat yang aman. Tempat di mana kamu bisa didengarkan dengan tenang.” (Halaman 92)

Tidak mudah memang menceritakan hal-hal yang amat personal kepada orang lain, apalagi seseorang yang belum terlalu akrab. Saya rasa, pemilik sekaligus kedai kopi yang rutin Adit kunjungi selama tiga tahun merupakan salah satu tempat yang aman baginya untuk bercerita dan berkontemplasi. Buktinya, ia sampai mengabadikan ingatan dan hasil percakapannya dalam buku setebal 138 halaman. Buku ini tidak memuat cerita pengalaman akan setiap kunjungannya—hanya berisi salah satu pertemuan yang mendatangkan kembali kenangan masa lalu dan menyadarkannya untuk bangkit. Bisa dibilang pertemuan itu menjadi titik awal dari perubahan hingga penemuan dirinya.

Mengenal, terlebih menemukan diri bukan hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar lantaran kita mesti mampu menerima dan mengalahkan sisi-sisi lain dalam diri yang menolak berubah, bekerja sama, dan berdamai. Malah, kadang-kadang kita memerlukan jembatan yang bisa memantik kesadaran. Entah itu orang asing yang belum lama dikenal, teman, tulisan, sahabat dekat, atau bisa pula buku—seperti yang saya alami. 

Adit menemukan dirinya setelah bertemu dengan pemilik kedai. Kunjungan dan obrolannya membebaskan ia dari kefrustrasian yang lama membebat. Kadang kala, kita benar-benar mesti tersesat dulu biar bisa mengingat lagi tujuan ataupun alasan saat memulai hal yang kita lakukan.

Menariknya, buku Ada Kalanya membikin saya kembali ke tahun 2021 ketika menonton drama Korea The Road: The Tragedy of One. Ji Jin-hee yang berperan sebagai Baek Soo-hyeon menyapa saat saya sampai pada bagian tentang perubahan dan penemuan diri. Terlintas di benak saya kata-katanya dalam salah satu adegan pada episode delapan, “Terkadang, satu momen bisa menentukan seluruh hidup seseorang.”

Kata-kata Baek Soo-hyeon sangat tepat dan saya mengiakan, termasuk beberapa catatan hasil obrolan Adit dalam buku ini. Momen penolakan yang dialami dan pertemuan-pertemuan dengan pemilik kedai, afiliasi, serta diri telah mengubah keseluruhan hidupnya.

Baca juga:

Upaya Memeluk Luka dan Diri
Menuangkan kekalutan dan kegelisahan melalui tulisan adalah salah satu cara memeluk dan memahami diri. Saya memandang buku Ada Kalanya sebagai cara Adit untuk memahami dirinya serta upaya memeluk luka dan diri. Seperti yang dikatakan Primadonna Angela dalam bukunya (Jurnal) Menulis Cara Gue (2013), “Writing is a way to understand yourself.” Terkadang, kita cuma butuh terbuka dan mendekat pada diri untuk mengerti benar akan diri sendiri. Hanya saja, kita kerap merasa sudah mengenal baik sehingga menolak berakrab-akrab dengan diri, dan tanpa sadar berubah menjadi bukan diri kita yang sebenarnya.

Juga, pada suatu waktu, tanpa disadari kita termakan penilaian dan definisi orang lain atas hidup dan diri kita. Hal ini tergambar dalam cerita Adit dan catatannya perihal definisi dan penilaian pada halaman 11 dan 88. Lewat buku ini, ia mengajak kita untuk memeluk luka dan diri, serta menghargai dan memaknai masa lalu dengan berkarya. Sebab, cuma kita yang mampu menyelamatkan diri sendiri sekalipun ada yang menjembatani. Catatan hasil obrolannya menyiratkan sebuah ajakan untuk membangun kesadaran diri dan terutama, “Menyelam, menemukan diri sendiri.” (Halaman 6)

Membaca hasil kontemplasi Adit mengingatkan saya pada buku Garis Waktu karya Fiersa Besari. Topik penyembuhan luka yang diangkat hampir serupa. Bedanya, buku ini hanya memuat satu momen saja, yakni patah hati karena penolakan dan terbagi dalam beberapa cangkir. Lain dengan buku Garis Waktu—yang disampaikan dalam format kumpulan surat yang terangkai menjadi satu dan berfokus pada curahan hati tentang perjumpaan, kasmaran, patah hati, hingga tersisa kenangan, sebagian besar isi buku ini berupa catatan refleksi Adit atas beragam hal yang terjadi dalam hidup dan berfokus pada penyelesaian serta penemuan diri.

Buku Ada Kalanya bukan buku yang bisa dibaca ulang tanpa jeda. Sebab, buku-buku semacam ini akan kehilangan rasa dan kenikmatannya kalau dibaca terus-menerus. Alih-alih meneduhkan, bisa membikin bosan. Ibarat catatan yang sesekali dibuka, buku ini pun berfungsi sama; sebagai teman yang mengingatkan dan menenangkan di saat-saat kita butuh penguatan. Buku Ada Kalanya: Catatan Menemukan Diri dari Kedai Kopi adalah teman yang mampu menemani kita ketika sedang ingin menyendiri dan menjauh dari riuhnya hidup atau sekadar bersantai di tempat teraman tanpa perlu mengindahkan apa pun.

 

Editor: Emma Amelia

Launa Rissadia
Launa Rissadia Selain di blog bukunya, resensinya juga tersebar di web Koran Jakarta, Magrib.id, Bacapetra.co, dan Omong-Omong Media.

One Reply to “Pertemuan dan Penemuan Diri Aditya Siregar”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email