Catatan harian adalah ruang privat tempat orang dapat menjadi dirinya yang paling murni dan bebas. Apa pun dituangkan ke sana, mulai dari dari hal-hal normal, estetik, eksentrik, sampai gugatan-gugatan yang tidak pernah diungkapkan di tempat lain mana pun. Meminjam istilah John Locke (1632-1704), filsuf pionir empirisme modern, catatan harian adalah tabula rasa, ruang putih.
Di samping menerbitkan kumpulan esai satu dekade, Derrida, Muhammad Al-Fayyadl, seorang akademisi filsafat asal Indonesia yang besar di lingkungan pesantren, juga menerbitkan Des Feuilles de Paris, sebuah buku harian kecil dengan tebal tak sampai 50 halaman. Catatan-catatan di dalamnya dipecah menjadi empat bagian. Pertama, berisikan catatan dari tanggal 1-7 September 2012, kemudian pertengahan Oktober, lalu November, dan, terakhir, tanpa keterangan tanggal.
Baca juga:
Des Feuilles bermula dari kisah satu pekan, sejak hari keberangkatan sampai hari-hari awal Al-Fayyadl di Paris. Al-Fayyadl didera gejolak eksistensialis, merasa tercerabut dari asalnya. Tampaknya, perasaan serupa umum terjadi pada mereka yang hendak pergi ke negeri asing. “Sejauh-jauhnya aku belajar ke luar negeri, aku toh tetap santri,” tegasnya. (hlm. 3)
Namun, perasaan itu segera tertangguhkan setelah bertemu teman sekelasnya di CCF yang juga hendak ke Paris, mengobrol panjang dengan WNI yang bekerja di Amsterdam, dan bertemu mahasiswa beasiswa Bappenas di Kuala Lumpur yang juga akan menetap di Paris. Sayangnya, dalam penerbangan Amsterdam-Paris, perasaan itu hinggap lagi. “Andai saja bisa,” pikirnya sewaktu melihat banyak yang tak terisi, “bisa mengajak…” (hlm. 5)
Hari-hari awal di Perancis adalah hari yang penuh dengan persoalan teknis untuk survive. Ia kehilangan 3 euro saat berusaha menelepon, dipalak preman, mengurus dokumen dan asuransi asrama yang cukup melelahkan, pulang dalam keadaan lapar dan kaki bengkak setelah mencari pengisi perut, langganan internet, sampai perasaan syok karena harus membiasakan diri dengan perbedaan waktu.
Selanjutnya, entah tanggal berapa November, ia menulis sebuah ungkapan yang mengingatkan saya pada gambaran Perancis dalam salah satu cerita pendek Leila S. Chudori di antologi Malam Terakhir. “Aku hanya sesosok remeh”. (hlm. 30) Ungkapan itu adalah puisi Jean Nicolas Arthur Rimbaud (1854-1891), sastrawan gigantik Perancis yang pernah singgah di Indonesia sebagai tentara kolonial Hindia Belanda.
Cerita pendek Leila itu menceritakan keterasingan seorang mahasiswi Indonesia di tanah Perancis. Ia dibuat linglung oleh banyak hal, khususnya lukisan-lukisan penis berbagai bentuk yang digantung berderet di sepanjang dinding penginapan dan bagaimana tetangganya yang seorang pelukis eksentrik berhasrat terhadap suara perempuan di radio, lalu berusaha melukisnya dalam kanvas berukuran amat besar. Singkatnya, hal-hal gila.
Al-Fayyadl turut merasakan keterasingan itu. Ia mengamati dan menyaksikan Perancis yang sungguh majemuk—imigran Arab, Afrika, Eropa Timur, dan orang Perancis sendiri berseliweran. Sebagaimana ciri khas orang-orang negara modern, mereka sangat sibuk dan memiliki ketidakacuhan tinggi; dominan individualistik atau indiferentisme. (hlm. 34)
Perasaan hampa itu segera terobati melalui perjumpaan dengan para filsuf, yang sebagian karya-karyanya telah ia baca sebelumnya maupun yang belum sama sekali. Para filsuf itu memberikan kebahagiaan tersendiri bagi Al-Fayyadl—sebuah kebahagiaan yang membuatnya bisa terlepas dari kehampaan itu, yang menghangatkan di tengah dinginnya Paris dan orang-orangnya (Parisian).
Salah satu dari sekian catatan yang menarik bagi saya adalah saat ia menuturkan bagaimana filsuf-filsuf adiluhung tak pernah berpretensi bak orang penting atau terkenal. Mereka benar-benar biasa, bahkan terlalu bukan siapa-siapa meskipun berpengalaman berguru pada filsuf besar seperti Althusser, Lacan, Foucault atau memiliki karya-karya penting dan berpengaruh.
“Mereka hilir mudik bersama mahasiswa seperti bukan siapa-siapa, mengajar dan mungkin menulis seolah tidak ada sejarah di balik mereka.” (hlm. 24) Bahkan, pengalaman pertamanya belajar bersama Peter Hallward, filsuf muda tersohor dan redaktur jurnal filsafat terkenal dari Inggris, tidak menyiratkan bahwa ia sedang belajar pada sosok besar. Gaya tutur Hallward, menurut Al-Fayyadl, sebagai filsuf terkesan terlalu “lugu” dan “halus”.
Tulisan lain oleh Faris Ahmad Toyyib:
Sebelum tuntas membaca buku ini dalam satu kali duduk, saya berasumsi bahwa buku ini akan seperti catatan harian Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, yang meledak-ledak dan penuh kontroversi pada masanya. Kata Wahib, “Apakah Tuhan itu takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri? Saya percaya pada Tuhan, tapi Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran.”
Usai membacanya, asumsi itu salah besar. Mereka tidak sama. Al-Fayyadl tidak menyinggung persoalan fundamental keagamaan sama sekali. Fokus keduanya berbeda. Des Feuilles murni mencatat pengalaman-pengalamannya di Perancis; tentang budaya, sosial, politik, dan subjektivitasnya, yakni aspek emosi dan pikiran. Bukankah catatan harian Wahib juga demikian? Betul, tetapi dalam corak keislaman dan keindonesiaan.
Satu hal lagi, catatan harian Al-Fayyadl tidak menggunakan narasi yang berapi-api seperti Wahib. Ia menulis catatannya dengan bahasa yang ringan, tetapi tetap impresif pada bagian-bagian tertentu. Apabila membaca Pergolakan Pemikiran membawa kita pada nuansa menggebu-gebu seperti dicecar, membaca Des Feuilles membuat kita ikut merasakan salju-salju dingin Perancis dan pergolakan hidup penulis ketika merantau secara ringan.
Saya tidak tahu seperti apa dan bagi siapa nilai kontribusi buku otobiografi yang terlalu ringkas seperti Des Feuilles de Paris. Namun, bagi para penggemar berat karya-karya Al-Fayyadl dan bagi mereka yang menjadikannya pengantar untuk mengenal sedikit tentang Paris dan filsuf-filsufnya, tentu buku ini sangat penting.
Editor: Emma Amelia